Penindasan Pelajaran ”Ini Budi…”
Budi adalah representasi anak ”Indonesia” yang berakhlak baik, berperilaku baik, berhati mulia, dan penurut.
Rasanya satu kesadaran kolektif manusia sedang bekerja di dunia seni dalam beberapa dekade terakhir. Bahwa jika seni masih mempertahankan batasan-batasan yang rigid, antara seni satu dan seni lainnya, antara seni dan cabang-cabang ilmu lainnya, maka ia tidak lagi mampu mewadahi kompleksitas persoalan yang dihadapinya saat ini.
Kegaduhan yang terjadi di jagat media sosial hanya salah satu bentuk dari kompleksitas ”ketrantruman” yang diperlihatkan secara banal. Selain itu, disrupsi digital telah menghancurkan batasan-batasan yang rigid tadi, menjadi ”satu-kesatuan” persoalan manusia modern, yang semakin hari semakin tak mudah diurai.
Sejak tahun 1950-an Augusto Boal telah bekerja membebaskan teater dari keterkungkungan panggung. Ia menulis buku Theatre of the Oppressed (1979), sebuah buku yang membahas teater kaum tertindas. Boal antara lain mengatakan, ”Teater itu tidak revolusioner, maka teater kaum tertindas adalah latihan revolusi.” Kalimat ini seolah menjadi representasi kegerahan Boal terhadap penindasan junta militer di Brasilia.
Ia menghancurkan batas-batas panggung dan keaktoran menjadi ruang yang lebih cair. Alih-alih mendapatkan pencerahan, sebagaimana diidamkan oleh Aristoteles, dalam satu pementasan penonton atau spectator, justru diperlakukan sebagai spec-actor. Dia penonton sekaligus aktor, yang terlibat secara dalam untuk memecahkan persoalan yang sedang dibahas.
Baca juga: Obituari mesin tik tua pembuka cerita
Dalam bentuk teater semacam ini, selalu akan ada seseorang yang bertindak sebagai ”joker” atau fasilitator. Ia akan secara aktif mengomunikasikan antara aktor dan penonton sehingga menemukan pemecahan masalah terhadap isu-isu yang sedang dibicarakan di atas panggung.
Megatruh Banyu Mili, sesungguhnya seorang penari dan koreografer yang aktif berkarya di Yogyakarta sejak tahun 2010. Meski ia penari, yang basis ekspresinya melalui tubuh (dalam pengertian konvensional), karya-karyanya memperlihatkan kolaborasi yang intim antara tari dan teater.
Satu karya terbarunya berjudul ”Budi Bermain Boal” (2022) dikembangkan dan dipentaskan dalam program Lawatari, Sabtu (20/1/2024), di Studio Banjarmili, Yogyakarta. Program ini bagian dari perhelatan Road to Indonesian Dance Festival (IDF) di bawah naungan Yayasan Loka Tari Nusantara.
”Budi Bermain Boal”, (bukan Budi Bermain Bola), semacam repertoar yang mempertanyakan secara kritis proyek pemerintah Orde Baru tentang pengajaran di sekolah dasar pada era tahun 1980-an. Buku pelajaran secara seragam mengajarkan tentang teks ”Ini Budi…”.
Budi seolah-olah menjadi sosok baik yang dikehendaki oleh penguasa. Budi adalah representasi anak ”Indonesia” yang berakhlak baik, berperilaku baik, berhati mulia, dan penurut. Secara seragam akhlak baik ”Budi” tergambarkan dalam atribut berupa busana ”putih-merah”, terdiri dari topi, pakaian, dasi, celana, dan sepatu.
Budi adalah simulacrum dalam terminologi pemikir kebudayaan Jean Baudrillard. Ia adalah simulasi akhlak yang bahkan melebihi kenyataan yang terdapat pada anak-anak Indonesia di masa itu. Saya masih ingat, tahun 1970-an, anak-anak petani di kampung tidak membeli baju seragam. Jangankan sepatu, sekadar alas kaki pun mereka tidak pernah mengenalnya.
Jika bersekolah, para murid mengenakan pakaian semampunya. Syukur-syukur itu bukan pakaian yang dikenakan saat bermain sehari-hari di rumah. Para guru memang tidak menghukum kami karena pakaian.
Namun, kemampuan membaca teks ”Ini Budi…” adalah sebuah keharusan yang tidak bisa ditawar. Siapa pun murid yang tidak mampu dihukum di depan kelas dengan cara berdiri sampai jam pelajaran usai.
Waktu itu, siapa pun yang mencoba berbeda karena berbagai alasan, misalnya tak bisa baca tadi, akan dicap subversif. Tak jarang perbedaan berujung pada pemberian hukuman seperti tadi. Bagi Megatruh, inilah bentuk penindasan kreativitas yang mengunci cara berpikir. Semua anak ”produk” sekolah ”Ini Budi...” akan berpikir dan berperilaku dengan cara seragam. Alih-alih melahirkan kreativitas, kebebasan dalam cara berpikir dan mengambil keputusan saja mereka tidak memilikinya.
Baca juga: Tangan-tangan semesta yang bertumbuh
Bentuk-bentuk ”penindasan” dan ”penyeragaman” itu antara lain diperlihatkan Megatruh lewat para penari (aktor) yang mengenakan pakaian ”putih merah” dan sepatu hitam. Jika ada anak yang menggunakan sepatu berbeda, harus diseragamkan.
Itu, misalnya, disimbolkan dengan menyemprot sepatu putih menjadi hitam di atas panggung. Laku kecil ini tiba-tiba lahir sebagai peristiwa pemberangusan terhadap kebebasan berekspresi. Sesuatu yang ”umum” terjadi pada masa Orde Baru.
Selain itu, pada awal pentas seorang penari (aktor) menggambar di papan tulis. Meski gambarnya stereotype gambar pada masa itu: pemandangan alam dengan gunung, awan, sawah, dan pepohonan. Inilah citraan gambar yang ”diwariskan” sejak zaman mooi indie (Hindia molek), yang diajarkan pada masa penjajahan Belanda.
Dalam adegan itu, meski menggambar dengan cara klise, seorang anak mencoretkan langit dengan warna merah, tidak biru seperti biasanya. Dan dianggap sebagai bentuk ”kesalahan” paling fatal dalam pedoman menggambar pemandangan. Bisa-bisa anak ini dicap sebagai ”anak nakal” karena tidak menjadi penurut.
Sesuatu yang dicap sebagai subversif oleh penguasa itulah dalam terminologi Augusto Boal menjelma menjadi revolusi.
Sesuatu yang dicap sebagai subversif oleh penguasa itulah dalam terminologi Augusto Boal menjelma menjadi revolusi. Sebagaimana dilakukan Boal, Megatruh juga melibatkan penonton untuk mengisi pertanyaan-pertanyaan pilihan serta berdiskusi tentang persoalan sekolah di masa lalu dan kini. Metode ini menginginkan ruang-ruang diskursif, di mana penonton diperlakukan sebagai spec-actor. Tidak sekadar datang, menonton, dan bertepuk tangan.
Pertanyaan pentingnya, masih relevankah ”Budi Bermain Boal” diberi predikat sebuah pementasan tari?
Pertanyaan serupa bisa diajukan terhadap karya lain berjudul ”Suun” dari Putu Arista Dewi. Putu memang tidak merujuk pada metode teater sebagaimana diperkenalkan oleh Augusto Boal. Ia bahkan ”cuma” berupaya merekonstruksi kebiasaan menyunggi benda-benda berat yang dilakukan oleh ibunya di kampung halaman.
Jika pada beberapa bagian kita masih menemukan unsur gerak (jika tak bisa disebut sebagai tari), dalam karya Megatruh, ”Suun” lebih dekat kepada performance art. Di pentas (mungkin lebih cocok disebut kalangan), Arista ”hanya” memindahkan beberapa kursi dengan cara menyunggi (suun) dan menyeretnya. Pada sudut lain dari kalangan, kursi-kursi itu kemudian ia susun bertumpuk-tumpuk, menyerupai kerangka sebuah bangunan.
Dalam konsepnya, Arista ingin merasakan respons tubuh terhadap beban di kepala dan tangannya, pada saat ia melakukan aktivitas berjalan dan naik ke atas kursi bersusun tadi. Tentu saja respons pertama-tamanya, tubuh bergerak mencari kesetimbangan agar kursi tidak jatuh, dan kedua mencari keseimbangan agar tidak terjerembab pada saat naik ke atas kursi.
Nah, (lagi-lagi) masih relevankah karya ini disebut sebagai pementasan tari?
Salah satu kurator IDF Linda Mayasari menyebut, karya seni, termasuk tari, sudah tidak relevan lagi mempersoalkan ekspresi tari ”harus” sepenuhnya menggunakan tubuh. Tubuh, katanya, hanyalah salah satu ”alat” ekspresi yang penggunaannya tak dimonopoli oleh tari, tetapi juga teater, seni rupa, seni sastra, dan seni musik.
Terhadap karya-karya seperti ”Suun” dan ”Budi Bermain Boal”, Linda memunculkan istilah ”tari yang melampaui batas-batas ketubuhan”. Tari telah jauh memasuki ruang-ruang sosial, politik, dan ekonomi sehingga ia senantiasa kontekstual dengan kondisi di sekitarnya.
Kecenderungan demikian sebagian juga tampak pada komposisi berjudul ”Ganda” dari Valentina Ambarwati, serta ”Atandang” karya Sri Cicik Handayani. Satu karya lain berjudul ”In Cycle” dari Siti Alisa, meski berbicara tentang fase-fase yang dijalani perempuan, karya ini dibungkus dengan komposisi ”keurbanan” yang berbasis pada tari balet. Artinya, keindahan gerak masih menjadi tumpuan eksplorasi Siti dalam membangun komposisi tariannya.
Karya ”Ganda” dari Valentina mencoba memahami siklus kerja dan keseharian para buruh gendong di Pasar Beringharjo, Yogyakarta. Ia juga mencoba melibatkan penonton dengan menggendongnya berkeliling pentas.
Meski tidak sepekat seperti pada karya Megatruh, setidaknya itu cukup memberi indikasi bahwa karya-karya dalam Lawatari di Yogyakarta ini menunjukkan gejala post-body. Bahwa tubuh tidak lagi ”dibebani” keharusan untuk bergerak mengikuti instruksi komposisi. Tubuh diberi kemerdekaan untuk merespons segala sesuatu yang bisa terjadi pada saat pementasan berlangsung.
Saya belum bisa membayangkan, apa yang akan terjadi seandainya upaya Arista Dewi menyunggi kursi di atas kepalanya gagal? Misalnya, tiba-tiba kursinya jatuh atau ia terpeleset pada saat naik ke atas kursi. Apa yang akan ia lakukan?
Bisa jadi ”kejatuhan” atau ”keterpelesetan” itulah pertunjukan sesungguhnya. Meski dibaluri pesan-pesan politik yang kuat, sebagaimana dalam karya ”Budi Bermain Boal”, memperlakukan tubuh secara manusiawi adalah pembebasan paling hakiki. Tubuh tidak boleh menjalani ”hukuman” sebagaimana ditunjukkan lewat komposisi terinjak atau digendongi. Tubuh tidak boleh ”terhegemoni” oleh kekuasaan, sebagaimana diperjuangkan oleh Augusto Boal lewat teater kaum tertindas.
Jadi, pada karya ”Suun” dan ”Budi Bermain Boal”, tubuh (jika masih mau dilihat sebagai elemen utama tari) adalah tubuh manusiawi. Ia bukan superhero yang mewadahi dan menerjemahkan ide-ide besar dari seorang koreografer. Tubuh memiliki batas-batas kemampuan sebagaimana juga penjelajahan ide seorang seniman.
Baca juga: Meditasi di atas titian bambu
Rasanya, belakangan ini mereka yang memersepsi seni berdasarkan batasan-batasan yang rigid akan kecewa berat. Kita sedang memasuki era di mana kolaborasi menjadi spirit paling tenar dewasa ini. Masih ingat, pada awal munculnya platform media sosial pada komputer dan gawai kita masing-masing? Banyak dari kita, termasuk saya sebagai jurnalis, menganggap tayangan media sosial sebagai permainan belaka. Dia bukan platform yang penting dan dominan untuk mencari kebenaran faktual lantaran sifatnya yang manipulatif.
Cobalah perhatikan hari ini, hampir semua media mainstream, termasuk televisi kita, memiliki akun di media sosial. Bahkan live report sebuah peristiwa terkini dirasa jauh lebih efektif menggunakan jaringan media sosial. Perhatikan pula, pertempuran paling seru antara para pendukung (netizen) capres menjelang Pemilu 14 Februari 2024 justru terjadi di media sosial. Banyak netizen bahkan sudah menganggap media sosial adalah kebenaran, karena ia datang lebih awal dibandingkan dengan media-media berbasis lainnya.
Harap dicatat, demokratisasi di segala bidang, termasuk kehadiran media sosial, tetap akan meninggalkan residu. Media sosial bisa menjelma sebagai rezim baru yang menindas. Kebenaran disederhanakan menjadi sebatas ”viral”. Bukankah itu juga sebentuk proyek ”Ini Budi...” dalam versi yang berbeda?
Rasa-rasanya di situlah kesenian, termasuk seluruh repertoar tari yang dipentaskan dalam Lawatari tadi, harus selalu mengambil posisi kritis. Tidak perlu memang melakukan apa yang dianjurkan oleh Augusto Boal sebagaimana terjadi di Brasilia, tetapi pementasan keindahan di atas panggung setidaknya selalu mencerminkan pengkritisan terhadap kondisi kemanusiaan di sekitar kita, hari ini, dan mungkin juga nanti….
Putu Fajar Arcana, jurnalis Kompas 1994-2022, penyair, sutradara teater, dosen creative writing London School of Public Relations (LSPR) Jakarta