logo Kompas.id
OpiniHilirisasi Keprihatinan Bangsa
Iklan

Hilirisasi Keprihatinan Bangsa

Dibutuhkan hilirisasi politik agar kegelisahan elite kampus berdampak ke bawah yang sebagian menerima bantuan sosial.

Oleh
BUDIMAN TANUREDJO
· 5 menit baca
Budiman Tanuredjo
SALOMO

Budiman Tanuredjo

”… Tugas Nahdlatul Ulama (NU) itu memperbaiki kinerja untuk memenangkan Indonesia, bukan memenangkan calon presiden…”.

Mustasyar PBNU KH Mustofa Bisri di Yogyakarta

Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Kunjungi Halaman Pemilu

Pandangan yang disampaikan Mustofa Bisri (Gus Mus) di Yogyakarta, 29 Januari 2024, itu terasa adem. Bersyukur masih ada sosok Gus Mus dan sejumlah tokoh yang punya perhatian untuk memperbaiki negeri ini. Mencintai negeri dalam arti mau memberikan masukan, bukan malah menjerumuskan negeri ke dalam kuburan demokrasi. Mencintai negeri termasuk mengkritik elite negeri yang melakukan praktik tercela dan korupsi. Mencintai negeri untuk mengingatkan agar hati-hati dalam bertindak dan berkata-kata, berhati-hati dalam menyelenggarakan kekuasaan.

Mencintai negeri jangan selalu diwajibkan untuk hanya melihat sisi-sisi baik dari republik (dan itu tentunya banyak seperti pembangunan infrastruktur), tetapi keseimbangan dalam melihat perkembangan negeri ini.

Baca juga: Seruan UII: Setiap Pejabat Negara yang Ikut Kampanye Harus Mundur

Harian Kompas menuliskan esai refleksi dari ”muazin” bangsa yang resah dan gelisah melihat tren matinya demokrasi Indonesia. Refleksi itu dimulai dari Yudi Latif, Sulistyowati Irianto, Haryatmoko, Vedi Hadiz, Karlina Supelli, William Lidlle, dan Mustofa Bisri. Ada juga esai yang ditulis Yanuar Nugroho (Kesetiaan pada Gagasan) dan Sukidi yang menulis esai berjudul, ”Menyelamatkan Republik”, (Kompas, 1 Februari 2024). Media adalah penyuara nurani bangsanya.

Litani keprihatinan atas kondisi negeri mengalir dari sejumlah kampus. Ada gejala menarik. Litani keprihatinan dari sejumlah pengajar di universitas, tanpa menggunakan atribusi resmi universitas, kecuali Universitas Islam Indonesia Yogyakarta yang pernyataannya justru dibacakan langsung Rektor UII Yogyakarta Fathul Wahid. Universitas secara organisasi bersikap pasif. Begitu juga pernyataan dari elite pengurus organisasi, kerap diklarifikasi sebagai pernyataan individual, bukan pernyataan resmi organisasi. Politik klarifikasi menjadi tren.

Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada Koentjoro (tengah) membacakan Petisi Bulaksumur di Balairung UGM, Yogyakarta, Rabu (31/1/2024).
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada Koentjoro (tengah) membacakan Petisi Bulaksumur di Balairung UGM, Yogyakarta, Rabu (31/1/2024).

Sejumlah dosen Universitas Gadjah Mada Yogyakarta mengeluarkan ”Petisi Bulaksumur, kemudian sivitas akademika Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, dan menyusul sejumlah kelompok masyarakat sipil di sejumlah kampus. Petisi Bulaksumur, antara lain, mengingatkan Presiden Jokowi yang juga lulusan Fakultas Kehutanan UGM, telah melakukan tindakan menyimpang dalam penyelenggaraan negara. Sementara Rektor UII Yogyakarta Fathul Wahid menyebutkan Indonesia darurat kenegarawanan.

Ada pesan sentral dan senada yakni keprihatinan sebagian kampus atas kondisi perpolitikan negara. Dunia kampus prihatin dengan kondisi perpolitikan negeri ini menuju Pemilu Presiden 2024. Ada krisis keteladanan, krisis etika bernegara, krisis moralitas bangsa, krisis terhadap konstitusi. Ada isu soal keberpihakan Presiden Jokowi terhadap pasangan calon tertentu. Sementara pada sisi lain, peringkat korupsi Indonesia anjlok cukup dalam. Hampir tidak ada yang peduli dengan kondisi negeri ini. DPR diam. Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sami mawon. Kementerian pun sibuk mengklarifikasi. Presiden Jokowi memberikan respons pendek. ”Kita hormati itu. Itu hak demokrasi.”

Krisis keteladanan, antara lain, dipertontonkan oleh Hakim Konstitusi Anwar Usman. Paman dari Gibran Rakabuming Raka ini menggugat ke PTUN Jakarta dan meminta posisinya sebagai Ketua MK dipulihkan. Padahal, Anwar telah divonis Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) melanggar etik berat. Anwar dicopot sebagai Ketua MK dan dijadikan hakim nonpalu. Ia bertahan dan melawan.

Baca juga: Kampus Serukan Keprihatinan atas Kontestasi Pemilu 2024

Iklan

Anwar dinilai melanggar etik berat karena tidak mundur sebagai hakim konstitusi saat menyidangkan perkara uji materi pasal dalam undang-undang yang terkait dengan kepentingan keponakannnya Gibran untuk menjadi calon wapres. Anwar ikut membukakan jalan mengubah undang-undang sehingga Gibran memenuhi syarat sebagai calon wapres. Laporan, majalah Tempo, disebutkan ada lobi-lobi atau ”intervensi” pihak di luar MK untuk meloloskan pasal tersebut.

Budaya malu atau budaya mundur yang ditorehkan Ketetapan MPR soal Etika Berbangsa dan Bernegara sekarang tak punya gigi lagi. Penyelenggaraan negara seakan hanya didasarkan pada pasal dalam undang-undang. Benar atau salah. Jika pasal dalam undang-undang mengganggu atau menghambat upaya mencapai tujuan, pasal itu bisa diubah melalui instrumen yang seakan-akan demokratis, seperti melalui Mahkamah Konstitusi. Padahal, di balik layar ada fenomena vetocracy, tangan tak kelihatan yang mewujud dalam autocratic legalism dan yudisialisasi politik.

https://cdn-assetd.kompas.id/7WvEnL74-1fsGjyupZmRrRJN_Ao=/1024x768/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F02%2F01%2F532d155b-117d-41d8-a9c4-51c9244e2820_jpg.jpg

Sivitas akademika Universitas Islam Indonesia (UII) bersama-sama menyerukan kritik terhadap perilaku dan tindakan Presiden Jokowi yang saat ini cenderung menunjukkan keberpihakkannya pada kelompok tertentu, Kamis (1/2/2024).

Dalam perjalanan di atas kapal Tera Sancta yang membawa saya berlayar dari Luwuk Banggai menuju Salakan di Banggai Kepulauan, Kamis sore, saya merenungkan pikiran besar Gus Mus untuk memenangkan Indonesia serta pesan yang kerap disampaikan Pendiri Kompas, Pak Jakob Oetama, kepada saya, ”Mas hati-hati nek mrucut.” Mrucut dalam arti pecah atau terbelah. Keterbelahan masyarakat sudah terjadi. Kegelisahan elite kampus atau masyarakat sipil belum berdampak ke bawah yang sebagian menerima bantuan sosial.

Perlu ada hilirisasi politik atas keprihatinan kelompok masyarakat sipil terhadap kondisi negeri. Hilirisasi politik atas praktik penyalahgunaan kekuasaan, hilirisasi atas tudingan personalisasi bansos, hilirisasi atas dirobohkannya standar etika dan moralitas berbangsa dan bernegara. Hilirisasi politik harus bermuara di DPR. Namun, DPR saat ini seperti menjadi bangunan fisik tanpa jiwa. Anggota DPR yang seharusnya parle atau berbicara masih sibuk dengan pengamanan suara. DPR hanyalah menjadi juru bicara atau tim sukses. MPR juga belum terlalu jelas perannya.

Baca juga: Sivitas Akademika UGM Sampaikan Petisi, Minta Presiden Kembali ke Koridor Demokrasi

Hilirisasi politik harusnya bisa mewujud dalam tindakan politik di DPR. Sejumlah hak telah diberikan konsitusi kepada DPR dan MPR. Mungkin DPR masih menunggu momentum.

Tanpa hilirisasi politik, saya khawatir bakal terjadi kefrustrasian sosial. Dalam alam pemikiran Jawa ada tahapan untuk merespons keadaan. Ngalah atau mengalah. Ngalih atau mengalihkan arah dukungan atau ”ngamuk” atau marah karena memuncaknya frustrasi sosial.

Di tengah litani keprihatinan, langkah Mahfud MD mundur sebagai Menko Polhukam menjadi sangat berarti. Meski ada yang bilang terlambat, atau punya motif elektoral, langkah mundur Mahfud sebagai menteri adalah kompas moral bangsa ini. Mahfud adalah calon wapres. Langkah mundur kemudian diikuti Jaleswari Pramodhawardani, Deputi V KSP, yang menjadi tim pemenang Ganjar. Hukum tidak mengharuskan Mahfud mundur. Namun, pertimbangan etika dan moralitas, Mahfud memilih mundur. Sebelumnya ada juga Andi Wijayanto, Gubernur Lemhannas yang mundur. Abdee yang mundur sebagai komisaris Telkom.

Mahfud MD Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Kabinet Indonesia Maju.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Mahfud MD Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Kabinet Indonesia Maju.

Integritas Mahfud tak perlu diragukan. Saya mengenalnya sudah lama saat dia masih menjadi dosen di UII Yogyakarta. Saat memimpin MK, Mahfud bisa menggunakan lembaganya sebagai penyelesaian problem konstitusional. Saatnya, banyak warga tak bisa mencoblos karena tak punya undangan mencoblos, Mahfud lewat putusan MK, berani mengeluarkan putusan bahwa KTP sebagai ganti surat undangan. Saat menjadi Ketua MK, Mahfud-lah yang membuka rekaman hasil sadapan sejumlah pihak yang berujung dengan terbongkarnya kriminalisasi Pimpinan KPK. Saat kasus Ferdy Sambo mencuat, Mahfud juga yang menjadi pemberi arah ke mana penyelidikan harus diarahkan.

Baca juga: Tanpa Ketegangan, Mahfud Serahkan Surat Mundur kepada Presiden

Memenangkan Indonesia dan bukan malah membeli Indonesia, selayaknya diperjuangkan. Bangsa ini harus terus berjuang untuk memenangkan Indonesia. Saya menafsirkan sendiri frasa ”memenangkan Indonesia” yang disampaikan Gus Mus. ”Memenangkan Indonesia” dari komorbid korupsi yang terus merasuki semua institusi negara. Memenangkan Indonesia dalam ikhtiarnya untuk tetap menjadi negara hukum dan bukan negara kekuasaan. Memenangkan Indonesia untuk tetap berpegang pada jati dirinya yang menempatkan etika dan moralitas berbangsa sebagai kompas. Memenangkan Indonesia dari nafsu elite bangsa yang menggunakan segala acara untuk mencapai ambisi politiknya.

Saya masih ingat pemahaman demokrasi yang pernah disampaikan Presiden Jokowi saat debat capres tahun 2014, ”Demokrasi adalah mendengarkan suara rakyat dan melaksanakannya.” Itulah demokrasi orisinal yang pernah disampaikan calon Presiden Jokowi saat mencoba ikut Pilpres 2014. Apakah Presiden Jokowi berubah? Sejumlah teman dekatnya minggir karena berpisah jalan politik, seperti Andi Widjayanto, Eko Sulistyo, Jaleswari Pramodhawardhani….

Editor:
MADINA NUSRAT
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000