logo Kompas.id
OpiniMelacak Dana Kampanye Ilegal
Iklan

Melacak Dana Kampanye Ilegal

Tingginya biaya memaksa politisi mencari pendanaan dari oligarki bisnis dan memicu politik balas budi dan klientisme.

Oleh
KAHFI ADLAN HAFIZ
· 4 menit baca
Ilustrasi/Heryunanto
HERYUNANTO

Ilustrasi/Heryunanto

Telah lumrah dipahami bahwa kekuatan akses finansial menjadi prasyarat utama mengikuti kontestasi elektoral di tengah tingginya ongkos politik. Beberapa penyebabnya adalah profesionalisasi aktivitas politik seperti kampanye sukarelawan dan iklan di media sosial (Falguera et al, 2014). Di sisi lain, relasi klientelistik antara politisi dan masyarakat yang berujung pada politik uang turut membengkakkan biaya politik.

Sumber pendanaan juga jadi masalah serius. Tingginya biaya memaksa politisi mencari pendanaan dari oligarki bisnis dan memicu politik balas budi serta fenomena klientelisme antara politisi dan donatur. Bagi para pendonasi, pendanaan ini penting untuk membangun relasi baik dengan pejabat politik agar dapat memudahkan usahanya (Muller et al, 2009).

Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Kunjungi Halaman Pemilu

Masalah lanjutannya, ke mana sumbangan politik itu mengalir? Realitas model candidate-centered membuat kerja-kerja politik lebih banyak dibebankan pada kandidat. Jejaring informal lebih banyak dimanfaatkan ketimbang jejaring formal parpol (Aspinal dan Berenschot, 2019). Akibatnya, aktivitas politik, termasuk pendanaan kampanye, juga mengalir ke jejaring informal seperti sukarelawan.

Sayangnya, UU Pemilu tak memberikan tanggung jawab pada kelompok-kelompok sukarelawan untuk melaporkan penggunaan dana kampanye. Pasangan capres-cawapres pun tak melaporkan aktivitas kampanye sukarelawan sebagai sumbangan.

Perludem dan ICW (2023) menemukan tak satu pun pasangan calon memperlihatkan penerimaan dari sumbangan pihak ketiga dalam laporan awal dana kampanye (LADK). Padahal, baliho dan billboard kampanye presiden telah bertebaran di lokasi strategis dengan biaya yang sangat tinggi.

Perludem dan ICW (2023) menemukan tak satu pun pasangan calon memperlihatkan penerimaan dari sumbangan pihak ketiga dalam laporan awal dana kampanye.

Selain itu, ditemukan pula iklan kampanye di media sosial Meta yang diduga didanai pendukung. Hal ini terlihat dari akun pengiklan (disclaimer) yang merupakan akun pendukung. Jumlah biaya iklan kampanye di Meta dalam kurun 16 November-15 Desember 2023 juga mencapai ratusan juta rupiah (Perludem dan ICW, 2023).

Dari data Perludem dan ICW (2023), iklan kampanye Anies-Muhaimin diiklankan oleh setidaknya 15 akun dengan total belanja iklan Rp 444.345.531. Sementara Prabowo-Gibran diiklankan oleh 33 akun dengan besaran biaya Rp 778.930.409. Pasangan Ganjar-Mahfud diiklankan oleh 87 akun, dengan biaya tertinggi Rp 829.163.419.

Pengeluaran ratusan juta rupiah untuk biaya iklan kampanye dari akun pendukung juga tak tercatat di LADK. Eksesnya, publik tak mendapat informasi, apakah biaya iklan fantastis itu secara organik berasal dari pendukung, pengeluaran pasangan calon dan partai, atau malah dana hasil perbuatan ilegal seperti temuan Pusat Pelaporan dan Transaksi Keuangan (PPATK).

Mengubah perspektif

Temuan PPATK tentang aliran dana ilegal untuk kampanye adalah persoalan serius apabila merujuk UU Pemilu. Jika peserta pilpres atau tim kampanye menggunakan dana ilegal, konsekuensinya bukan lagi sanksi administratif, melainkan pidana.

Namun, keseriusan itu tak tecermin dalam kerangka dan penegakan hukum dana kampanye yang hanya terbatas pada jejaring formal. Penerimaan dan pemasukan dana kampanye hanya terlihat dari transaksi pada rekening khusus dana kampanye (RKDK) yang didaftarkan ke KPU dan laporan dana kampanye berjangka (LADK, LPSDK, dan LPPDK).

https://cdn-assetd.kompas.id/Hnq8vVlR1NMm6QHXGTb32J-SPFo=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F01%2F24%2F5498d805-e302-47f3-aff8-89df4fe74776_jpg.jpg
Iklan

Karena itu, mengubah perspektif pengawasan dan pelaporan menjadi penting untuk menangkap setiap rupiah yang digunakan untuk kampanye.

Setidaknya ada dua alternatif penting. Pertama, setiap kelompok yang menahbiskan diri sebagai sukarelawan pendukung harus terdaftar dan membuat laporan dana kampanye. Model ini dapat merujuk pada regulasi dana kampanye di Korea Selatan.

Dalam Political Fund Act, Korea Selatan memberikan peluang bagi asosiasi sukarelawan terdaftar untuk mengumpulkan dana kampanye. Konsekuensinya, sumbangan dana kampanye dari kelompok yang tidak terdaftar tidak boleh diterima.

Pengelolaan dana kampanye dari asosiasi sukarelawan juga harus dilaporkan sehingga transaksi dana kampanye tidak berada di luar entitas resmi yang terdaftar. Namun, model pertama hanya bisa dilakukan dengan mengubah UU Pemilu.

Alternatif kedua, aktivitas kampanye yang merupakan inisiatif organik dari kelompok atau individu sukarelawan harus dilihat sebagai penerimaan dana kampanye (Perludem dan ICW, 2023). Artinya, segala bentuk pengeluaran sukarelawan, seperti pemasangan billboard, baliho, dan iklan kampanye media sosial, harus dicatat sebagai penerimaan dan ditampilkan dalam laporan dana kampanye.

Perspektif ini bisa diimplementasikan tanpa mengubah undang-undang karena UU Pemilu telah memungkinkan penerimaan sumbangan tidak hanya berbentuk uang, tetapi juga barang dan jasa (in-kind donation).

Pengelolaan dana kampanye dari asosiasi sukarelawan juga harus dilaporkan sehingga transaksi dana kampanye tidak berada di luar entitas resmi yang terdaftar.

Peran lembaga

Alternatif kedua dapat memperkuat penindakan pelanggaran dana kampanye dari sumber ilegal. Sebab, aktivitas pendanaan kampanye sukarelawan dapat tampak dari laporan dana kampanye tiap pasangan. Apabila ada dugaan aliran dana hasil tindak pidana dari PPATK, KPU dan Bawaslu bisa langsung merujuk pada laporan dana kampanye untuk melakukan penindakan.

Implementasi perspektif ini juga akan lebih kuat apabila PPATK tidak bekerja sendirian. KPU dan Bawaslu harus berinisiatif menggandeng PPATK untuk melakukan koordinasi pengawasan dana kampanye. Hasil pelacakan PPATK harus dianggap serius oleh penyelenggara pemilu dengan tidak membatasi pengawasan pada RKDK saja.

Di samping itu, KPU dan Bawaslu juga bisa mencatat aktivitas kampanye dalam bentuk forum tatap muka, pemasangan baliho dan billboard, dan iklan kampanye di medsos. Data ini dipakai untuk alat verifikasi dan pembanding untuk melihat kesesuaian laporan dana kampanye dan realitas di lapangan (Perludem dan ICW, 2023).

Karena itu, mengubah perspektif pengawasan dan pelaporan dana kampanye secara progresif penting untuk dilakukan. Sebab, dana ilegal yang mencemari aktivitas kampanye hanya akan menyandera peserta pemilu dalam relasi transaksional yang tak berujung.

Baca juga: Laporan Dana Kampanye Capres-Cawapres Belum Sesuai Realitas

Kahfi Adlan Hafiz, Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)

Kahfi Adlan Hafiz
KOMPAS/PRAYOGI DWI SULISTYO

Kahfi Adlan Hafiz

Editor:
SRI HARTATI SAMHADI, YOHANES KRISNAWAN
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000