Kedaulatan tertinggi masih jauh dari tangan rakyat. Masih tersandera negara, yakni negara pasca-Orde Baru.
Oleh
ARIEL HERYANTO
·3 menit baca
Kedaulatan tertinggi di tangan rakyat, kata UUD 45. Juga di banyak negara lain. Namun, di negara mana pun yang mengaku menganut azas demokrasi, rakyat hampir tak pernah dimuliakan. Yang lazim terjadi, rakyat menjadi korban kekerasan aparat negara atau tumbal proyek negara.
Pemilihan umum (pemilu) dimaksudkan sebagai salah satu perwujudan kedaulatan rakyat. Akan tetapi, tengok yang terjadi di negara tetangga. Pada pemilu awal tahun 2023, rakyat Thailand memberikan suara terbanyak kepada partai progresif Move Forward Party (MFP) pimpinan Pita Limjaroenrat. Namun, Pita gagal menjadi perdana menteri. Kariernya dijegal Dewan Nasional yang berwenang memilih perdana menteri. Dewan itu dikuasai ratusan anggota militer yang mendapat kursi gratis di Senat, tanpa dipilih rakyat. Pita malah diseret ke pengadilan dengan tuduhan pidana.
Di Myanmar, partai Liga Nasional untuk Demokrasi (LND) pimpinan Aung San Suu Kyi unggul mutlak dalam pemilu 2020. Hasil pemilu dicampakkan kudeta militer. Pimpinan LND dan lebih dari 1.000 anggota partai itu dipenjara. Puluhan dari mereka mati di penjara. Selanjutnya, terjadi perang bersenjata antara tentara dan rakyat yang antikudeta.
Indonesia beda. Namun, bedanya baru belakangan. Seusai pembantaian nasional 1965-1966, Orde Baru mengadakan enam kali pemilu (1971-1997). Pemenangnya selalu sama: Golkar, yang dibina Presiden Soeharto. Golkar menguasai kursi di MPR bersama sejumlah warga sipil dan militer yang diangkat Seharto tanpa dipilih rakyat. MPR berwenang memilih presiden. Yang berkali-kali dipilih hanya orang yang memilih mereka, yakni Soeharto.
Sekarang sudah beda. Akan tetapi, sejauh mana perbedaan itu menukik ke dasar masalah, yakni asas kedaulatan rakyat? Kini, tidak ada kursi gratis untuk TNI di MPR. Kini presiden dipilih langsung. Namun, arwah Orde Baru masih gentayangan di dalam dan di luar pemilu. Sesudah Orde Baru runtuh (1998), pemilu seakan-akan berfungsi sebagai reproduksi politik Orde Baru. Bukan replika yang dijiplak persis, melainkan reproduksi kerangka besar politik Orde Baru yang antidemokrasi.
Dalam aturan resmi pelaksanaan pemilu dan pencalonan RI-1/RI-2, kesetiaan kepada ”Pancasila” diulang-ulang menjadi kata kunci. Juga, menjadi acuan utama diskusi publik tentang berbagai topik. Dalam sejarah republik ini ”demam Pancasila” begini baru terjadi sejak bangkitnya Orde Baru, yakni sejak Pancasila dibajak penguasa Orde Baru sehingga makna dan fungsinya bertolak belakang dari yang dirumuskan pada 1945.
Awalnya Pancasila disusun untuk merangkul semua unsur progresif dalam upaya kebangkitan nasional. Dalam versi Orde Baru, Pancasila memusuhi berbagai golongan dan ideologi tersebut.
Awalnya, Pancasila disusun untuk merangkul semua unsur progresif dalam upaya kebangkitan nasional. Dalam versi Orde Baru, Pancasila memusuhi berbagai golongan dan ideologi tersebut. Pancasila awalnya disusun untuk mempersatukan bangsa yang majemuk. Sejak Orde Baru, ia menjadi senjata penguasa untuk menghancurkan lawan politik. Pancasila kini jadi anti-Pancasila!
UU pemilu menyangkal hak sebagian warga negara, yakni mereka yang dituduh ”bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya” atau pernah terlibat dalam G3OS/PKI. Masihkah slogan Orde Baru yang mengawali banjir darah 1965-1966 itu layak dipertahankan? Bahkan, Pemerintah RI sendiri sudah menyebut peristiwa itu paling atas dalam daftar 12 pelanggaran HAM berat di Indonesia.
Pada masa itu, selain ratusan ribu yang dibunuh, puluhan ribu lainnya dipenjara, disiksa, diperkosa lalu dilucuti hak-hak sipilnya berpuluh tahun tanpa diadili dan dibuktikan bersalah. Sebagian dari mereka pernah menjadi anggota organisasi semasa organisasi itu legal. Sebagian lain ikut dihukum hanya karena pernah ikut kegiatan menggambar, menyanyi, atau menari dalam acara yang diselenggarakan organisasi massa itu.
Pantaskah kekerasan oleh negara terhadap mereka dilanjutkan setelah lebih dari seperempat abad Orde Baru runtuh? Setelah kekerasan itu dinyatakan sebagai pelanggaran berat HAM oleh negara yang sama? Karena Orde Baru masih gentayangan? Golkar masih berjaya, sampai-sampai Presiden Jokowi merasa nyaman dengan partai ini. Banyak mantan pejabat tinggi Orde Baru (sipil ataupun militer) hingga hari ini menikmati posisi penting dalam berbagai pemerintahan pasca-Orde Baru yang sudah silih berganti.
Setia pada Pancasila dalam versi Orde Baru artinya setia pada ideologi Orde Baru yang bercorak fasisme. Bukan hanya komunis yang dimusuhi Orde Baru, melainkan juga berbagai gagasan progresif lain, termasuk liberalisme, sosialisme, feminisme, dan pan-Islamisme. Tanpa larangan resmi pun akan sulit bagi mereka bertumbuh dan berjaya sebagai organisasi massa atau partai politik. Sudah setengah abad masyarakat terbina memusuhi mereka lewat cuci otak Orde Baru dan dilanjutkan pasca-Orde Baru. Sikap itu terbentuk tanpa disadari. Ibarat ikan dalam kolam tidak paham artinya basah.
Pemilu tidak memberi hak setara, apalagi kedaulatan, bagi seluruh warga. Pemilu hanya dinikmati mereka yang mewarisi semangat Orde Baru secara sadar atau tidak. Bersaudara dalam keluarga besar Orde Baru, mereka bersaing dalam satu pemilu, tetapi bersekutu dalam pemilu sebelum atau sesudahnya. Pemilu menjadi semacam reproduksi kepemimpinan nasional ala Orde Baru. Ironis jika Pemilu 2024 dipenuhi kampanye tentang kesejahteraan atau kesetaraan bagi seluruh rakyat.
Betapa konyol kampanye capres tentang perubahan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat, sambil mengikrarkan kebencian terhadap warga yang sudah berpuluh tahun menjadi korban diskriminasi negara. Atau, capres yang berjanji menjadi pemimpin untuk semua, tetapi rekam jejaknya sebagai politikus senior bertahun-tahun tidak mendukung. Capres lain menyatakan perjuangan demi demokrasi yang inklusif, terbuka untuk seluruh rakyat. Bagaimana pemilu eksklusif membuahkan demokrasi inklusif? Ajaib.
Seandainya berbagai pesan kampanye pemilu itu dilaksanakan, mereka berkhianat pada aturan resmi. Resminya, pemilu menuntut kesetiaan tunggal pada semangat reproduksi Orde Baru dan diskriminasi pada sejumlah kelompok warga bangsa. Kedaulatan tertinggi masih jauh dari tangan rakyat. Masih tersandera negara, yakni negara pasca-Orde Baru.