Korupsi bukan hanya soal perbaikan lembaga secara individual, melainkan merupakan jalinan dengan aktor-aktor di organisasi lain. Karena itu, KPK perlu dukungan politik.
Oleh
MEUTHIA GANIE-ROCHMAN
·3 menit baca
Harian Kompas pada 10 Desember 2023 menurunkan artikel berjudul “Penguatan Pemberantasan Korupsi Harus Jadi Fokus”, menggambarkan sangat seriusnya persoalan korupsi di Indonesia. Meski ada masa-masa posisi Indonesia membaik, Indonesia masih selalu berada di posisi kelompok sangat buruk di antara 180 negara yang diukur Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perception Index/CPI).
Indonesia hanya mampu menaikkan skor CPI sebanyak 2 poin dari skor 32 selama satu dekade terakhir sejak 2012. Pada 2022, Indeks malah menurun signifikan tajam menjadi 34. Jelas bahwa Indonesia masih menghadapi persoalan pengelolaan sistem pengelolaan sumber daya publik.
Organisasi pembangunan dan dunia akademisi telah lama mengenal istilah korupsi sistemik, sebagai kontras dari korupsi kecil-kecilan (petty corruption). Korupsi sistemik sering digunakan untuk menggambarkan adanya penggunaan jaringan organisasi untuk mengambil secara tidak sah sumber daya yang besar. Namun, istilah korupsi sistemik tidak cukup menggambarkan karakter korupsi di Indonesia.
Pertama, terdapat jaringan aktor-aktor korup, bukan berasal dari satu dua kelompok, tetapi banyak kelompok yang secara ”independen” mengintepretasikan dan memanfaatkan peluang dari kelemahan sistem. Situasi ini pararel dengan penjelasan istilah “Corrupt Organization” (Jonathan Pinto, 2008), logika korup (ekonomi dan politik) menjadi logika institusional. Hanya ini berkembang dalam skala negara. Kelompok-kelompok ini saling ”bernegosiasi” dengan kelompok lain, dan karena itu saling menyandera.
Dalam banyak kasus, korupsi terjadi di tengah reformasi birokrasi yang sedang dijalankan. Sementara sebagian besar pegawai, atau bahkan pada level lembaga, menjalankan tugasnya dengan cara yang sah, pada level-level pemimpin terdorong melakukan korupsi untuk menghidupi jaringan politiknya yang berada di luar organisasi.
Jadi korupsi bukan hanya soal perbaikan lembaga secara individual, melainkan juga merupakan jalinan dengan aktor-aktor yang berada pada organisasi lain. Artinya, persoalan akuntabilitas ada pada tingkat elite lembaga/organisasi dan pada keterlibatan suatu dalam jaringan aktor yang memanfaatkan wewenang di lembaga masing-masing.
Belakangan, keberadaan organisasi-organisasi seperti ini tidak lagi harus berada pada satu jaringan, melainkan sebagai institusi tersendiri dalam ”pasar korupsi ”.
Kedua, korupsi yang terjadi di Indonesia bersifat multidimensional melibatkan bukan hanya korupsi keuangan negara, tetapi juga korupsi politik dengan memanfaatkan lembaga-lembaga/organisasi negara, dan belakangan menumbuhkan organisasi-organisasi profesional yang di balik klaimnya menjalankan peran operatif. Akibatnya sangat merusak karena kedudukan politik digunakan untuk membelokkan alokasi sumber daya untuk kepentingan sendiri, selanjutnya kekuatan ekonomi yang besar dipakai untuk penguatan posisi di politik.
Selain itu, juga terjadi institusionalisasi pasar pemberi jasa (seperti konsultan hukum, akuntansi) yang keberadaannya untuk menopang jalinan korupsi oleh pejabat publik. Belakangan, keberadaan organisasi-organisasi seperti ini tidak lagi harus berada pada satu jaringan, melainkan sebagai institusi tersendiri dalam ”pasar korupsi”.
Penanganan pelbagai level
Penanganan korupsi di Indonesia, dengan demikian, melibatkan beberapa level.
Level prinsip adalah penegakan kembali prinsip tidak melanggar konflik kepentingan (conflict of interest/ COI). Pikiran dasar dari kontrol COI adalah melindungi pengambilan keputusan pejabat publik yang seharusnya mengambil keputusan berdasarkan obyektivitas dan pertimbangan hak rakyat atas pembangunan.
Sebagai ukuran, prinsip hak rakyat untuk sejahtera harus dihidupkan lagi dengan ditopang oleh pandangan-pandangan ahli. Dengan demikian, dikursus ekonomi bukan hanya menonjolkan keberhasilan investasi, infrastruktur, dan pengentasan rakyat miskin, melainkan kerangka baru tentang kewajiban mengelola sumber daya untuk pembangunan yang inklusif. Ini menjadi dasar prinsip akuntabilitas.
Lembaga ini harus didudukkan pada perannya semula, yaitu lembaga antikorupsi yang primus inter pares (yang utama dari yang sejenis).
Pada level prinsip, COI harus diatur bukan saja tentang aturan pengambilan keputusan. COI meliputi penempatan pejabat publik, proses pembuatan peraturan yang melibatkan pejabat, pelibatan pihak luar dalam pembuatan peraturan. Bahkan, karena COI mempunyai beberapa perspektif, termasuk penempatan pejabat publik sebagai komisaris di beberapa organisasi publik (termasuk BUMN), di mana organisasi-organisasi itu berpotensi menjalankan fungsi sesungguhnya harus saling mengontrol.
Juga, COI harus meliputi penempatan posisi pejabat-pejabat yang memperkuat posisi tawar kepentingan politik tertentu. Sejalan dengan ini adalah COI yang terkait pengaruh yang masih mengikuti pejabat tertentu pada saat pindah ke organisasi lain. Artinya, penunjukan harus melalui penilaian yang absah oleh pihak yang independen. Intinya, COI adalah konsep dasar pengelolaan negara yang harus digunakan.
Level yang kedua adalah perbaikan fungsi lembaga antikorupsi, secara spesifik adalah peran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Lembaga ini harus didudukkan pada perannya semula, yaitu lembaga antikorupsi yang primus inter pares (yang utama dari yang sejenis). Lembaga ini harus menjadi lokomatif reformasi lembaga lain.
Reformasi birokrasi daerah, contohnya, didorong pelibatan KPK saat belum lemah seperti saat ini. Salah satu upaya penguatan yang harus dilakukan terhadap lembaga ini adalah menjaga independensinya. Diperlukan dorongan politik terhadap berbagai organisasi untuk membantu KPK sebagai suatu ranah (field) organisasi-organisasi antikorupsi.
Level ketiga adalah level perbaikan pada tingkat lembaga/organisasi.
Reformasi birokrasi yang mandek belakangan ini diperbaiki melalui beberapa cara. Pertama perbaikan sistem internal yang selama ini mengandalkan instrumen-instrumen administratif. Korupsi dalam konteks saat ini selalu berupa klik antara yang memiliki kekuasaan dalam organisasi. Pengawasan internal harus mampu mendeteksi aspek klik internal, selain instrumen pengawasannya diperbaiki. Sistem whistle blower terbukti tidak begitu efektif, maka perlu mengikuti standar-standar internasional yang disesuaikan dengan konteks organisasi.
Perbaikan akuntabilitas organisasi-organisasi profesi juga harus dilakukan agar tidak berperan memfasilitasi tindak korupsi. Mungkin sekali perlu dilakukan perbaikan perspektif, kerangka kerja, juga instrumen kerja dari organisasi-organisasi ini. Perbaikan di dorong dan ditegakkan pemerintah, tetapi terutama diupayakan oleh asosiasi-asosiasi sendiri.
Terakhir, kembali pada level kerangka besar, adalah penguatan organisasi masyarakat sipil dalam pemberantasan korupsi korupsi. Bukan hanya sebagai watch dog, melainkan juga negara harus memperkuat organisasi ini dalam proses reformasi birokrasi.