Jika KPK lemah, negara dan seluruh imajinasi publik tentang pemberantasan korupsi akan terkikis dan kopong.
Oleh
UMBU TW PARIANGU
·4 menit baca
Polda Metro Jaya menetapkan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Firli Bahuri sebagai tersangka dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi berupa pemerasan atau penerimaan gratifikasi terkait penanganan permasalahan hukum di Kementerian Pertanian pada 2020-2023. Penyidik menyita sejumlah barang bukti, salah satunya dokumen penukaran valuta asing dalam pecahan mata uang Singapura dan dollar Amerika Serikat sekitar Rp 7 miliar (Kompas.id, 23/11/2023).
Firli juga dikaitkan dengan dugaan penyewaan rumah di Jalan Kertanegara, Jakarta Selatan, senilai Rp 650 juta per tahun oleh Ketua Harian PBSI Alex Tirta yang diperuntukkan bagi kepentingan Firli. Patut diduga ada potensi kesepakatan yang terjalin antara Firli dan pemberi sewa rumah tersebut.
Sebelumnya, batin publik diguncangkan oleh kabar penetapan tersangka kepada Edward OS Hiariej alias Eddy Hiariej oleh KPK. Guru besar bidang hukum itu terjerat kasus suap dan gratifikasi dengan memanfaatkan jabatannya sebagai Wakil Menteri Hukum dan HAM. Ia disangkakan menerima suap dalam sengketa kepemilikan saham PT Citra Lampia Mandiri, perusahaan tambang nikel Luwu Timur, Sulawesi Selatan.
Kasus yang menjerat Firli dan Eddy bukan sesederhana skandal personal sebagai seorang tokoh publik. Namun, ini cerita muram soal bangunan megah pemberantasan korupsi kita yang berpotensi ambruk dihantam gempa tektonik amoral dan keserakahan elite hukumnya sendiri.
Ini soal sendi negara yang mengeropos dari dalam karena mengeraknya habitus korupsi elite hukum. Ini juga perihal tercabutnya napas Reformasi 1998 yang menyuarakan antikorupsi dan demokrasi di atas mesin treadmill pemberantasan korupsi dan konsolidasi elite pascareformasi yang gagal dan pragmatis.
Lingkaran setan
Dalam risetnya di beberapa negara demokrasi di Asia, Thomas Pepinsky dkk (dalam Corruption and Democracy in Asia, 2022) menemukan indikasi harapan terbalik antara korupsi dan demokrasi. Demokrasi sejatinya membuka peluang seseorang dipilih rakyat lewat pemilu menjadi pemimpin. Merekalah yang dibayangkan sebagai orang bersih yang bakal menegakkan hukum, termasuk menyikat tuntas noktah dan patologi korupsi.
Kenyataannya, pemimpin yang terpilih itu perlahan-lahan justru menggunakan privilese dan kas negara untuk secara favoritisme politik merekrut orang-orang berkomitmen medioker dalam eliminasi korupsi sebagai pemimpin lembaga-lembaga negara. Keberadaan mereka tak lain dipatok dengan misi membentengi agenda politik-ekonomi pemimpin tersebut.
Perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK di tengah jatuh pailitnya kinerjanya dan tingkat kepercayaan publik terhadap KPK yang mandul sejak 2020 membuat kita sulit untuk memahami dengan menggunakan teori rasionalitas organisasi mana pun untuk melihat fenomena tersebut.
Komitmen awal untuk memenuhi janji-janji demokrasi dan pemberantasan korupsi bagi publik pun digadaikan dengan fulus dan kenikmatan sesaat.
Institusi yang kapabel mestinya tetap tunduk kepada tata tertib moral eksternal, di mana capaian promosi dan penghargaan harus sejalan dengan peningkatan kinerja dan kepercayaan sosial. Itulah yang disebut sebagai etika organisasi (Harmon & Meyer, 2014).
Sayangnya, cahaya etika organisasi ataupun institusi kepolitikan di republik ini kerap tersandera oleh tukar tambah kepentingan dan politik saling sandera antarelite. Selain itu, para elite pun dengan mudah menggunakan akses kekuasaan untuk melayani nafsu kekuasaannya, termasuk mengimunisasi diri dari hukum, di mana mereka dapat tidur pulas dalam pelukan dan beking penguasa dan kroni-kroninya.
Akibatnya, institusi antikorupsi bekerja dalam bayang kepentingan politik dan kapital kekuasaan. Komitmen awal untuk memenuhi janji-janji demokrasi dan pemberantasan korupsi bagi publik pun digadaikan dengan fulus dan kenikmatan sesaat.
Penetapan tersangka anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Achsanul Kosasih, terkait dugaan korupsi pengadaan menara base transceiver station (BTS) 4G Kementerian Komunikasi dan Informatika, selain skandal etik dan hukum yang menimpa KPK, adalah bukti harapan sungsang dimaksud. Bahkan, menurut catatan KPK, dalam periode 2004-2020, pelaku politik korup didominasi oleh orang-orang yang memegang posisi elite, termasuk institusi penegak hukum.
Menurut Morris & Klesner (Corruption and Trust: Theoretical Considerations and Evidence from Mexico, 2010), kondisi itulah yang kemudian melahirkan lingkaran setan korupsi di beberapa negara demokrasi. Korupsi melahirkan ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah, kepercayaan publik yang rendah itu membuat penegakan hukum terhadap kasus korupsi dianggap basa-basi.
Anggapan tersebut lalu mendorong masyarakat apatis terhadap agenda politik dan hukum dengan partisipasi terhadap pemberantasan korupsi yang makin rendah sehingga pada ujungnya semakin membelukarnya praktik korupsi.
Rakyat kian terbeban
Parahnya lagi, merosotnya kinerja KPK justru kian menambah berat beban moral yang dihadapi masyarakat dalam hal tanggung jawab pemberantasan korupsi, yang oleh Smulovitz dan Peruzzotti (2000) disebut sebagai ”politik baru akuntabilitas masyarakat”. Di tengah pergumulan sosial-ekonomi yang makin berat, rakyat pun ”dipaksa” memikul tanggung jawab untuk berpartisipasi melaporkan berbagai indikasi korupsi yang terjadi di sekitarnya atas nama partisipasi, penegakan hukum, dan demokrasi.
Ujung tombak keberhasilan pemberantasan korupsi seolah digeser dari negara (KPK dan institusi penegak hukum lainnya) ke rakyat.
Kondisi tersebut tercipta justru di saat kanalisasi pendapat rakyat (popular control) dibatasi. Belakangan publik merasakan betapa kebebasannya dalam berekspresi dan menyampaikan pendapat terus direduksi atas nama pencemaran nama baik dan tuduhan penghinaan terhadap pejabat publik. Hasil survei Indikator Politik (16-24 Juni 2022) menunjukkan ada 60 persen responden yang takut untuk menyatakan pendapat.
Institusi penegak hukum, khususnya KPK, terkesan tidak berbuat apa-apa terhadap pemberantasan korupsi—yang ditunjukkan oleh penurunan indeks persepsi korupsi secara konsisten—selain terus melegitimasi habitus korup melalui kapitalisasi pengaruh atau kuasa yang dimiliki elitenya untuk mengeksploitasi dan memeras pelaku korupsi sebagaimana kajian lawas Daniel Lev (2007) dalam The State and Law Reform in Indonesia.
Kewarasan dan akal sehat berbangsa dan bernegara perlu diselamatkan dari perilaku banal korupsi. Integritas KPK adalah simbol nalar bernegara. Jika KPK lemah, negara dan seluruh imajinasi publik tentang pemberantasan korupsi akan terkikis dan kopong.
Kita mengapresiasi terobosan Polda Metro Jaya menetapkan Firli sebagai tersangka. Semoga ini menjadi langkah awal memupuk kembali kepercayaan publik terhadap penegakan hukum dan antikorupsi di Indonesia.
Umbu TW Pariangu, Dosen FISIP Universitas Nusa Cendana Kupang