Penetapan ketua Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai tersangka bukan baru pertama kali ini terjadi. Sebelum Firli Bahuri sekarang ini, Abraham Samad dan Bambang Widjojanto juga diberhentikan dari jabatan pimpinan KPK karena tersandung perkara pidana. Hal yang sama terjadi pada Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah.
Terlepas dari kesalahan mereka di masa lampau dan juga Firli saat ini, tetap saja yang menjadi cemoohan dan sorotan publik adalah keberadaan lembaga KPK itu sendiri, tidak hanya satu-dua unsur pimpinannya. Apalagi dengan ditemukannya indikasi pungutan liar di rumah tahanan KPK oleh Dewan Pengawas KPK baru-baru ini.
Peristiwa dikeluarkannya mantan pimpinan KPK dan penyidik/pegawai KPK karena gagal lolos tes wawasan kebangsaan pasca-revisi Undang-Undang KPK tahun 2002 dan reaksi mereka terhadap kepemimpinan Firli sebenarnya sudah menunjukkan adanya gejolak ketidakpuasan, baik di internal maupun eksternal KPK.
Ketidakpuasan yang dimotori oleh mantan pimpinan KPK dan penyidik yang tergabung dalam IM57 ini menambah parah tergerusnya marwah KPK sebagai lembaga antikorupsi yang selalu dibanggakan masyarakat luas sejak awal reformasi.
Informasi mengenai ketidakharmonisan antara pimpinan dan para pegawai/penyelidik/penyidik KPK telah menjadi rahasia umum dan ini dibuktikan antara lain oleh terjadinya kebocoran dokumen penyelidikan KPK yang tersebar di luar.
Peristiwa-peristiwa di atas menunjukkan bahwa KPK sesungguhnya lemah, baik dari aspek internal organisasinya maupun kepercayaan publik.
Misal, dokumen penyidikan kasus korupsi di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dan temuan KPK dalam penggeledahan rumah dinas Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL).
Pertemuan Firli dan SYL serta penggunaan pesawat helikopter pihak swasta oleh Firli pun mengemuka. Ini diperparah lagi oleh penetapan Wakil Menteri Hukum dan HAM sebagai tersangka dalam kasus gratifikasi.
Di sini terungkap telah terjadi inkoordinasi di antara kelima unsur pimpinan KPK tentang hasil gelar perkara dan mengapa pengumuman penetapan tersangka Wakil Menteri Hukum dan HAM dan SYL tertunda.
Menyelamatkan KPK
Peristiwa-peristiwa di atas menunjukkan bahwa KPK sesungguhnya lemah, baik dari aspek internal organisasinya maupun kepercayaan publik. Indeks Persepsi Korupsi (IPK) pada tahun 2022, Indonesia hanya memperoleh skor 34 dengan peringkat 110 dari 180 negara.
Dari sini dapat dinyatakan, bunyi bagian menimbang mengapa lembaga KPK perlu dibentuk (Huruf c Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002) tidak dapat dipertahankan lagi karena realitasnya kiprah KPK sudah sangat jauh menyimpang dari tujuan KPK, terutama sejak KPK jilid III.
Melihat keberadaan KPK di Hong Kong, Malaysia, dan Singapura, yang tidak memiliki status hukum yang kuat dengan wewenang luar biasa seperti KPK Indonesia, seharusnya KPK Indonesia dapat menunjukkan prestasi yang lebih baik, efisien dan efektif, serta berhasil. Namun, kenyataannya, KPK kita selama ini selalu diliputi masalah-masalah serius.
Baca juga: Menjaga Integritas Pimpinan KPK
Kasus korupsi oleh pimpinan KPK adalah hal langka di dunia. Selain terjadi di Indonesia, hal itu hanya pernah terjadi satu kali di Malaysia, yakni saat ketua Badan Pencegah Rasuah mereka terlibat dalam kasus suap.
Mengikuti perkembangan KPK sampai saat ini, benar pernyataan Lord Acton: kekuasaan itu cenderung korup dan kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut. Tidak ada sistem checks and balances di KPK.
Dibentuknya Dewan Pengawas KPK di era Firli juga tak menyelesaikan masalah karena wewenang dewan ini sebatas masalah etik tanpa ada langkah korektif dan penjeraan.
Melihat perkembangan KPK yang tidak lagi sejalan dengan maksud dan tujuan pembentukannya sejak awal berdasarkan UU No 30/2002—sekalipun telah direvisi dengan UU No 19/2019—maka diperlukan solusi konkret untuk dipertimbangkan oleh pemerintah dan DPR.
Salah satu solusi untuk menyelamatkan lembaga antikorupsi ini mungkin adalah dengan membubarkan KPK atau membentuk lembaga antikorupsi baru yang fokus pada pencegahan-penindakan (preventive-detention). Tak lagi fokus pada penuntutan, tetapi terbatas pada penyelidikan dengan wewenang korektif, bekerja sama dengan kejaksaan.
Lembaga baru dalam bentuk badan antikorupsi ini memiliki wewenang pencegahan disertai dengan wewenang korektif. Upaya paksa untuk tahap penyidikan dan penuntutan dilanjutkan oleh kejaksaan.
Salah satu solusi untuk menyelamatkan lembaga antikorupsi ini mungkin adalah dengan membubarkan KPK atau membentuk lembaga anti-korupsi baru yang fokus pada pencegahan-penindakan ( preventive-detention).
Koordinasi antara badan ini dan kejaksaan tersebut diharapkan lebih efisien dan efektif, serta tidak terjadi tumpang tindih dalam proses penyelidikan dan penyidikan serta penuntutan.
Langkah ini, jika ditempuh, sekaligus akan mengembalikan marwah Kejaksaan Agung selaku penuntut tertinggi dan bersifat tunggal dalam sistem peradilan pidana sebagaimana halnya terjadi di negara lain, baik dalam sistem hukum civil law maupun sistem hukum common law.
Romli Atmasasmita,Guru Besar Universitas Padjadjaran