Perkembangan teknologi dan digitalisasi telah membawa perubahan fundamental di bidang media. Manusia harus segera bersikap untuk mengembalikan kendali kehidupan kepada dirinya sendiri.
Oleh
PUTU FAJAR ARCANA
·5 menit baca
Penerbangan pesawat udara pertama tahun 1903 di angkasa California Utara, Amerika Serikat, memungkinkan manusia melipat jarak dan waktu. Perjalanan yang tadinya harus ditempuh selama berhari-hari menggunakan kereta atau mobil sejak itu dilakukan hanya dalam beberapa jam. Penemuan itu seolah menjadi isyarat bahwa pada tahun-tahun berikutnya segala sesuatu akan bergerak lebih cepat, dan manusia menikmatinya sebagai sensasi keberhasilannya dalam menaklukkan ruang dan waktu.
Benar saja ketika teknologi internet ditemukan tahun 1969 oleh Departemen Pertahanan Amerika Serikat atau US Defense Advanced Research Projects Agency (DARPA), yang menghubungkan perangkat komputer, mulailah ruang dan waktu memasuki dunia tak terbatas. Dalam sesaat Anda bisa mengirimkan data kepada orang lain di tempat yang berjarak beribu-ribu kilometer. Di situ, jarak dan waktu yang sudah terlipat ditekuk-tekuk lagi sehingga membuatnya terasa semakin dekat. Seperti kemudian kau pahami, teknologi digital telah mengantarkan kita ke hadirat ruang dan waktu yang seketika.
Peristiwa bukan lagi sekadar gugusan kabar yang samar-samar, tetapi telah menjadi pengalaman bagi semua orang dalam ruang dan waktu seketika. Secara serta-merta ”keseketikaan” bisa kita konsumsi bersama-sama di seluruh pelosok dunia. Tiba-tiba dunia ibarat halaman yang sempit, tak bersekat, apalagi ruang tertutup. Dan dalam dunia yang semakin ringsek itu tak ada rahasia apa pun yang bisa disimpan, bahkan sampai kepada persoalan-persoalan domestik. Aku sungguh khawatir, jangan-jangan suatu kali ”suara hati” pun bisa dikonsumsi dalam suatu ”kekesetikaan” secara bersama-sama di seluruh dunia. Mulai saat ini, hati-hati menjaga hatimu….
Teknologi internet dan digitalisasi dalam berbagai segi kehidupan telah membuat guncangan yang disebut disrupsi digital. Digitalisasi membuat perubahan radikal di dalam tata cara manusia mengonsumsi barang dan jasa. Dunia media termasuk salah satu bidang yang mengalami perubahan fundamental. Kehadiran media sosial telah pula menjadi pesaing paling agresif terhadap keberadaan media-media mainstream. Bahkan media sosial telah menjelma menjadi ujung tombak pemasaran paling utama pada era yang juga disebut sebagai Industri 4.0 ini.
Teknologi media berbasis kertas hanya dalam waktu 20 tahun terakhir rontok satu per satu. Koran-koran yang telah berkabar kepada dunia selama berabad-abad ”terpaksa” tutup usia. Salah satu surat kabar tertua di dunia, Wiener Zeitung, yang berbasis di Vienna, Austria, Jumat (30/6/2023), menyatakan diri tutup. Koran yang telah berusia 320 tahun (berdiri tahun 1703) itu menyatakan diri tidak sanggup lagi terbit dalam bentuk koran. Selanjutnya mereka beralih menuju kabar digital.
Kabar buruk dunia penerbitan koran juga telah disebarkan oleh The Rocky Mountain News, Amerika, yang ”tutup usia” setelah berusia 153 tahun. Disusul The Seattle Post-Intelligencer, yang berusia 146 tahun, mengumumkan diri, daripada terus-menerus merugi, mereka memilih bersalin rupa.
Tentu saja itu kenyataan pahit bagi industri media massa. Teknologi digital seolah-olah sedang berkata kepada umat manusia: inilah risiko yang harus ditanggung bersama, justru ketika manusia berhasil menaklukkan ruang dan waktu!
Tanpa banyak bisa ditolak, ritme kehidupan menjadi semakin cepat. Setiap hari manusia seolah diburu-buru deadline, agar menjadi bagian dari kelas manusia sibuk. Gawai telah mengganti semua perangkat yang dibutuhkan hidup. Bahkan penyair Joko Pinurbo mengibaratkan gawai sebagai kantor bagi seluruh umat manusia. Jauh lebih mudah menemukan alamat seseorang pada sebuah gawai ketimbang harus menyusuri jalanan yang kian hari kian sibuk, berantakan, dan macet.
”Seluruh ingatan manusia yang tadinya bermekaran di kepala kita sepenuhnya harus diserahkan kepada penguasa baru bernama komputer dan itu sekarang ada dalam genggaman tangan kita masing-masing,” kata Joko Pinurbo suatu kali kepadaku. Oleh sebab itulah, ia mencoba membuat ”parodi” dalam antologi puisi Telepon Genggam, yang telah diterbitkan tahun 2003 lalu. Sejak itu, tambah Jokpin, demikian penyair ini disapa, perlahan-lahan ingatan manusia mulai tumpul. Bahkan, tubuh manusia menjadi mekanis, yang bergerak seperti mesin rutinitas di jalan-jalan kota yang kian berantakan dan macet.
Barangkali karena itu pula banyak pandangan menyebutkan bahwa tubuh manusia tidak bisa lagi kita miliki sepenuhnya. Ia telah menjadi bagian dari peradaban baru yang serba cepat dan instan. Kreativitas, yang menjadi ciri dasar eksistensi manusia di dunia untuk membedakannya dengan makhluk yang lain, tiba-tiba dikontrol sepenuhnya oleh mesin. Dalam bahasa penyair Nanoq dan Kansas, tubuh manusia sudah ringsek, dilipat-lipat karena ambisi menaklukkan ruang dan waktu dalam sekali bekap.
Kesadaran itulah, kata Nanoq, yang membuatnya memilih tetap bermukim di desa bernama Moding, Jembrana, Bali. Kesadaran serupa juga dilakukan oleh penulis novel Ahmad Tohari. Ia memilih kembali ke kampung halamannya di Banyumas, Jawa Tengah, setelah bertahun-tahun menjadi jurnalis di Jakarta. ”Saya ingin memberi kesempatan kepada otak dan tubuh saya bergerak lebih pelan saja,” ujar Ahmad Tohari.
Pesan serupa sesungguhnya bisa kita simak dalam komposisi tari berjudul Tanangan karya Kurniadi Ilham, yang dipentaskan dalam rangkaian program Lawatari dari Indonesian Dance Festival (IDF), 6-7 Desember 2023, di ISI Padang Panjang, Sumatera Barat. Tanangan berasal dari bahasa Minang yang artinya ’diamkan untuk sementara waktu’. Ilham mengubah gedung pertunjukan Hoerijah Adam, ISI Padang Panjang, menjadi sebuah instalasi penuh bambu. Kursi-kursi penonton dilangkahi titian bambu yang bersilangan mengimajinasikan pemandangan persawahan.
”Itu memang inspirasinya dari para petani di desa saya yang setiap hari meniti pematang sawah tanpa pernah jatuh sekali pun. Semuanya dilakukan secara benar karena ada pengendalian diri,” kata koreografer kelahiran Solok, Sumatera Barat, itu.
Komposisi yang diciptakan Ilham tampak sederhana. Tujuh aktor, mungkin sebutan ini lebih tepat dibandingkan menyebutnya penari, ”hanya” berjalan hilir- mudik di atas titian bambu. Semula tampak biasa saja, tetapi ketika tubuh aktor diberi beban seperti meja, bahkan kemudian sebatang bambu, maka menegakkan keseimbangan menjadi kunci.
Semua aktor harus benar-benar mampu mengendalikan diri untuk mendapatkan keseimbangan agar tidak terperosok. Dalam praktik gaya hidup hari ini, barangkali inilah yang disebut dengan meditasi, upaya kembali menoleh ke dalam diri, justru untuk memperoleh kesadaran.
Meditasi adalah kesadaran untuk melambatkan waktu. Kecepatan yang sejak awal abad ke-20 telah membuat tubuh manusia ringsek harus segera direm, setidaknya untuk sementara waktu, tanangan. Pengereman waktu yang diekspresikan Ilham lewat komposisi tari menjadi saran paling penting dalam kehidupan kontemporer. Kebergegasan telah terbukti menjadi residu yang bukan tidak mungkin meracuni semua elemen kehidupan manusia.
Tak hanya koran-koran yang mati, tetapi begitu banyak ”penemuan” manusia di masa lalu ”terpaksa” hilang. Dan kehilangan terbesar, seperti kata Jokpin, terjadi justru pada ingatan manusia yang makin pendek dan semakin tidak fokus.
Johann Hari dalam buku Stolen Focus membuat kita terperanjat. Fokus perhatian yang selama ini menjadi kunci aktivitas manusia modern telah dicuri seperangkat alat bernama telepon pintar. Kehilangan fokus itu, kata Johann Hari, tidak semata-mata disebabkan oleh kemerosotan pribadi manusia, tetapi telah dirancang oleh para penemu teknologi modern. Platform seperti media sosial dan mesin pencari telah merancang algoritma agar para pengguna telepon pintar lebih banyak lagi menghabiskan waktu di gawai masing-masing.
Jadi, segala sesuatunya telah menjadi sistemik, bukan sesuatu yang kebetulan belaka. Alasannya sederhana, kata Johann Hari, semakin lama kita menghabiskan waktu bersama telepon pintar, semakin banyak iklan yang bisa ditampilkan dan semakin banyak pula pendapatan yang bisa direbut darinya. Tahun 2013, informasi tentang trending topic di dunia maya bisa bertahan sampai 17, 5 jam. Namun, hanya dalam waktu tiga tahun, angka ini menurun menjadi 11 jam dan seterusnya menjadi kurang dari 10 jam.
Angka-angka ini menunjukkan betapa peristiwa telah menjadi saling tumpuk satu sama lain. Sebagai perbandingan sederhana, sebuah kejadian di suatu tempat sebelum disrupsi digital baru kita dengar kabarnya keesokan hari melalui koran. Hari ini, kabar yang sama secara live bisa kita ”konsumsi” dalam waktu bersamaan dengan kejadiannya. Sekali lagi, ada jarak dan waktu yang dilipat-lipat oleh teknologi.
Sebagai karya seni, apa yang dikerjakan oleh Kurniadi Ilham telah memberi alternatif cara berpikir dan bersikap. Manusia harus segera bersikap untuk mengembalikan kendali kehidupan kepada dirinya sendiri. Manusia tidak lagi menggantungkan seluruh kehidupan dirinya di atas mesin melipat jarak dan waktu. Sebab, realitas itu telah terbukti semakin menjauhkan manusia dari potensi yang selama ini telah melekat pada dirinya sendiri.
Intinya, kita perlu menarik tuas rem dalam-dalam untuk menurunkan kecepatan yang telah telanjur dikendalikan oleh mesin. Salah satu jalannya adalah kembali memasuki diri sendiri dengan cara ”bermeditasi”. Kau bisa meniti kembali ingatan-ingatan masa lalu, yang pergerakannya jauh lebih lambat dibandingkan kenyataan atas diri sendiri hari ini. Sebuah rumusan pentingnya berupa pertanyaan yang kau jawab sendiri.
Mengapa masa kecil atau masa lalu selalu terasa lebih lambat dibandingkan dengan ketika kita sudah dewasa apalagi tua?
Kita boleh sama-sama mencari jawabnya dengan mencoba merunut hal-hal detail di masa kecil, saat dewasa, dan kemudian jadi tua. Jika kau sudah menemukannya, tolong kabarkan kepada orang-orang terdekatmu agar hidup mereka juga sesempurna hidupmu hari ini. Selamat meniti kembali masa lalu, semoga kita sampai pada tujuan yang sama: meraih keseimbangan dalam hidup. Sepenuhnya….