Laporan PPATK tentang transaksi mencurigakan di rekening bendahara partai politik yang mencapai lebih dari setengah triliun rupiah menjadi seperti secercah cahaya di lorong gelap dana kampanye.
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
Temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan mengonfirmasi dugaan selama ini tentang adanya upaya menyiasati laporan dana kampanye.
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) melaporkan adanya transaksi mencurigakan di rekening bendahara partaipolitik yang mencapai lebih dari setengah triliun rupiah.
Seperti disampaikan Kepala PPATK Ivan Yustiavandana, indikasi transaksi mencurigakan itu muncul karena aktivitas di rekening khusus dana kampanye (RKDK) saat ini cenderung tidak bergerak. Padahal, seharusnya ada peningkatan karena dana yang tersimpan di RKDK digunakan untuk membiayai kampanye yang kini berjalan. Pergerakan uang diduga justru terjadi pada rekening lain (Kompas, 18/12/2023).
Pernyataan Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Rahmat Bagja bahwa informasi PPATK itu bersifat rahasia dapat dipahami karena ketentuannya memang demikian. Kini, yang ditunggu adalah langkah Bawaslu selanjutnya terkait laporan PPATK itu. Apakah Bawaslu akan membawa ke aparat penegak hukum karena menemukan pelanggaran? Atau Bawaslu akan menyatakan tak menemukan pelanggaran?
Terlepas dari langkah yang kelak diambil Bawaslu, laporan PPATK itu seperti menginformasikan dugaan selama ini bahwa sebagian (besar) biaya kampanye sengaja tak dicatat atau melewati RKDK yang dilaporkan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU). Dugaan ini muncul karena pemasukan atau pengeluaran yang tercatat di RKDK cenderung tak sebanding dengan aktivitas kampanye yang tampak di lapangan. Misalnya jika dibandingkan dengan alat peraga yang dipasang.
Pemasukan atau pengeluaran yang tercatat di RKDK cenderung tak sebanding dengan aktivitas kampanye yang tampak di lapangan.
Hal ini terjadi, antara lain, karena ada penyumbang dana yang tak ingin diketahui banyak orang dengan sejumlah alasan, seperti keamanan. Mereka diduga penyumbang yang nilainya lebih besar dari ketentuan di Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Dalam undang-undang disebutkan, sumbangan dari perseorangan maksimal Rp 2,5 miliar, kelompok maksimal Rp 25 miliar, dan perusahaan atau badan usaha nonpemerintah maksimal Rp 25 miliar. Pada saat yang sama ada peserta pemilu yang enggan menyebutkan secara jelas sumber dana kampanyenya.
Relatif gelapnya sumber pembiayaan kampanye ini menjadi bagian dari persoalan yang belum terpecahkan di pemilu. Bahkan, cenderung belum ada kehendak politik kuat untuk membuat terang persoalan tersebut. Hal ini terlihat, misalnya, dari ketentuan bahwa yang wajib dilaporkan ke KPU adalah RKDK hingga belum jelasnya pembahasan RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal.
Padahal, orientasi kepemimpinan seorang kandidat jika kelak terpilih bisa diperkirakan dari aliran dana kampanyenya. Pasalnya, dalam pemberian sumbangan itu tentunya berlaku prinsip ”tidak ada makan siang gratis”.
Laporan PPATK menjadi seperti secercah cahaya di lorong gelap dana kampanye. Semoga cahaya ini bisa dimanfaatkan secara optimal demi terus terjaganya harapan akan pemilu yang semakin bersih dan transparan. Semoga harapan ini bukan sesuatu yang berlebihan.