Ekonomi ”Sak Madya”
Dalam fase ekonomi sak madya, mereka makin mengencangkan ikat pinggang, menentukan prioritas belanja sesuai pendapatan.
Biaya hidup di Indonesia kian tinggi. Upah, gaji, atau penghasilan seakan tak mengejar lagi. Kondisi ini akan menempatkan kehidupan sebagian besar masyarakat Indonesia pada fase ekonomi cukup atau sak madya.
Saat ini kecemasan masyarakat Indonesia, terutama yang berpenghasilan menengah dan rendah, tengah bergeser dari pandemi Covid-19 ke biaya hidup. Biaya hidup di Indonesia semakin tinggi seiring dengan kenaikan harga komoditas pangan dan nonpangan.
Dalam empat tahun terakhir (2018-2022), biaya hidup per bulan di 10 kota dengan biaya hidup tertinggi di Indonesia naik berkisar Rp 1 juta-Rp 1,5 juta. Sepuluh kota itu adalah DKI Jakarta, Bekasi, Surabaya, Depok, Makassar, Tangerang, Bogor, Kendari, Batam, dan Balikpapan.
Di Jakarta, misalnya. Hasil survei biaya hidup (SBH) 2022 menunjukkan, nilai konsumsi rata-rata atau biaya hidup rumah tangga per bulan di ibu kota Indonesia itu Rp 14,88 juta per bulan. Biaya hidup per bulan itu naik Rp 1,43 juta dibandingkan SBH 2018 yang sebesar Rp 13,45 juta per bulan. BPS menghitung besaran biaya hidup berdasarkan pengeluaran konsumsi komoditas makanan dan nonmakanan pada setiap rumah tangga dengan jumlah anggota keluarga 2-6 orang.
Lima komoditas barang/jasa di Jakarta yang bobot nilai konsumsinya terbesar adalah tarif listrik (6,58 persen), kontrak rumah (5,56 persen), bensin (4,86 persen), sewa rumah (4,34 persen), dan nasi dengan lauk (2,67 persen). Dibandingkan SBH 2018, perubahan bobot nilai terbesar terjadi pada tarif listrik yang naik 2,6 basis poin, bensin 1,54 basis poin, dan nasi dengan lauk 0,98 basis poin.
Biaya hidup rumah tangga per bulan di DKI Jakarta itu Rp 14,88 juta per bulan. Biaya hidup per bulan itu naik Rp 1,43 juta dibandingkan SBH 2018 yang sebesar Rp 13,45 juta per bulan.
Baca juga: Biaya Hidup Naik, Rp 14,88 Juta Per Bulan di Jakarta
Jika biaya hidup itu ditakar dengan upah minimum dan rata-rata upah/gaji pekerja formal di Jakarta saja, jelas besar pasak daripada tiang. Apalagi jika ditimbang dengan penghasilan pekerja di sektor informal. Per Agustus 2022, jumlah pekerja formal dan informal di DKI Jakarta masing-masing sebanyak 3,07 juta orang dan 1,79 juta orang.
Pada 2022, upah minimum dan rata-rata per bulan upah/gaji pekerja formal di DKI Jakarta masing-masing Rp 4,57 juta dan Rp 5,91 juta. Dalam empat tahun terakhir (2018-2022), upah minimum di Jakarta tersebut naik Rp 930.000 dan rerata bulanan upah/gaji pekerja formal naik Rp 1,79 juta.
Memang terdapat jurang yang sangat lebar dari besaran biaya hidup dengan upah minimum dan rerata bulanan upah/gaji pekerja formal. Hal itu bisa disebabkan oleh sampel yang diambil BPS dalam SBH 2022. BPS memilih sampel rumah tangga dengan berbagai penghasilan atau tidak hanya dibatasi pada kedua jenis upah tersebut.
Terlepas dari itu, pada tahun lalu, daya beli masyarakat yang belum benar-benar pulih tertekan kenaikan biaya hidup. Kenaikan biaya hidup itu terus berlanjut dan menghantui pemulihan daya beli masyarakat pada tahun ini.
Kenaikan harga sejumlah pangan pokok, seperti beras, gula pasir, cabai merah, dan cabai rawit masih terjadi. Harga BBM bersubsidi yang sudah telanjur naik pada tahun lalu juga masih membebani pengeluaran transportasi masyarakat kendati kenaikan harganya sudah tidak terlalu tecermin dalam inflasi.
Baca juga: Nasib Isi Dompet
”Sak madya”
Sejumlah beban pengeluaran masyarakat itu terindikasi dari pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang melambat dan tergerusnya tabungan. BPS mencatat, pada triwulan III-2023, konsumsi rumah tangga tumbuh 5,06 persen secara tahunan. Pertumbuhan itu melemah dibandingkan triwulan III-2022 dan triwulan II-2023 yang masing-masing tumbuh 5,39 persen dan 5,22 persen.
Tabungan masyarakat menengah-bawah dengan saldo di bawah Rp 1 juta terus tergerus pada tahun ini, terutama sejak Lebaran dan tahun ajaran baru. Berdasarkan data Mandiri Spending Index (MSI), per November 2023, indeks tabungan masyarakat menengah-bawah sebesar 47,4, anjlok dari Juli 2023 yang sebesar 83. Indeks belanja mereka juga melambat meski masih tumbuh di level 269,2.
Baca juga: Balada Masyarakat ”Mantab”, Makan Tabungan untuk Hidup Sehari-hari
Kondisi tersebut membuat masyarakat, terutama kelas menengah dan bawah, memasuki fase ekonomi cukup atau sak madya. Mendiang budayawan Radhar Panca Dahana dalam bukunya Ekonomi Cukup: Kritik Budaya pada Kapitalisme (2015), menggambarkan ekonomi cukup sebagai bentuk kearifan lokal untuk melawan kapitalisme dan konsumerisme.
Ekonomi cukup ini disandingkan sebagai lawan ekonomi rakus. Cukup atau dalam bahasa Jawa sak madya berarti tidak rakus atau berlebihan. Dalam konteks ekonomi, pengeluaran perorangan atau rumah tangga harus secukupnya sesuai kebutuhan. Tidak berkekurangan dan tidak berlebihan.
Ekonomi cukup ini disandingkan sebagai lawan ekonomi rakus. Cukup atau dalam bahasa Jawa sak madya berarti tidak rakus atau berlebihan.
Dalam fase ekonomi cukup itu, masyarakat akan semakin mengencangkan ikat pinggang, menentukan prioritas berbelanja berdasarkan pendapatan. Beberapa upaya meretas pembengkakan biaya hidup juga dilakukan dengan berbagai strategi, praktik, dan tips hidup lebih efisien (life hacks).
Dalam fase ekonomi cukup itu, masyarakat akan semakin mengencangkan ikat pinggang, menentukan prioritas berbelanja berdasarkan pendapatan.
Meski begitu, di antara mereka masih ada yang gali lubang tutup lubang untuk memenuhi biaya hidup sehari-hari. Biaya-biaya tak terduga yang kerap kali muncul juga mau tidak mau diatasi dengan cara ”pinjam seratus” atau menggadaikan barang.
Potret ekonomi masyarakat ini akan terus berlanjut apabila kenaikan harga barang dan jasa pokok tak kunjung dijinakkan dan pendapatan masih tidak berubah signifikan. Lagi-lagi, Indonesia akan terus terjebak pada pertumbuhan ekonomi dan konsumsi rumah tangga di kisaran 5 persen. Bank Indonesia memperkirakan ekonomi dan konsumsi rumah tangga Indonesia pada 2024 akan tumbuh 4,7 persen-5,5 persen secara tahunan.
Baca juga: