Krisis Biaya Hidup Merupakan Risiko Terbesar Dunia
Forum Ekonomi Dunia (WEF) mengingatkan risiko terbesar dunia dalam dua tahun ke depan adalah krisis biaya hidup. Untuk RI, sejumlah risiko besar yang harus dihadapi adalah krisis utang, konflik kepentingan, dan inflasi.
JAKARTA, KOMPAS – Krisis biaya hidup merupakan risiko terbesar dunia yang akan mendominasi selama dua tahun ke depan. Krisis tersebut dipicu peningkatan pengeluaran rumah tangga akibat kenaikan harga pangan dan energi, serta belum pulihnya daya beli masyarakat selama pandemi Covid-19.
Risiko krisis biaya hidup itu tak hanya terjadi di beberapa negara maju, tetapi juga di sejumlah negara berpenghasilan menengah dan rendah. Negara-negara itu antara lain Kanada, Inggris, Uni Emirat Arab, Saudi Arabia, Qatar, Bostwana, Pantai Gading, Kamerun, Kostarika, Yunani, Israel, dan Malaysia.
Adapun Indonesia, lima besar risiko yang harus dihadapi adalah krisis utang, konflik kepentingan, kenaikan tingkat inflasi, ketimpangan digital, dan kontestasi geopolitik. Poin-poin itu mengemuka dalam Laporan Risiko Global Forum Ekonomi Dunia (WEF) 2023 yang dirilis di Geneva, Swiss, pada 11 Januari 2023.
Dalam laporan itu, WEF menyebutkan, risiko global itu muncul lantaran pandemi Covid-19 masih berlanjut di beberapa negara, perang Rusia-Ukraina, dan ketegangan ekonomi sejumlah negara. Konflik geopolitik dan ketegangan ekonomi tersebut telah memicu krisis rantai pasok pangan dan energi, inflasi, dan keamanan. Hal itu menciptakan risiko lanjutan yang akan mendominasi dua tahun ke depan, seperti resesi, utang, dan krisis biaya hidup.
Risiko krisis biaya hidup itu tak hanya terjadi di beberapa negara maju, tetapi juga di sejumlah negara berpenghasilan menengah dan rendah.
Baca juga: Krisis Dompet dan ”Frugal Living”
Situasi itu menunjukkan pandemi dan konflik geopolitik menyebabkan serangkaian risiko global yang saling berhubungan. Krisis tersebut berpotensi merusak upaya mengatasi risiko jangka panjang terkait dengan perubahan iklim, keanekaragaman hayati, dan sumber daya manusia.
“Dalam menghadapi krisis itu, masyarakat paling rentan sedang menderita. Masyarakat yang masuk kategori rentan juga bertambah banyak, baik di negara maju maupun miskin. Setiap negara diharapkan meningkatkan daya tahan terhadap berbagai guncangan di sejumlah sektor ekonomi dan kehidupan tersebut,” kata Managing Director WEF Saadia Zahidi melalui siaran pers.
Dalam menghadapi krisis itu, masyarakat paling rentan sedang menderita. Masyarakat yang masuk kategori rentan juga bertambah banyak, baik di negara maju maupun miskin.
Baca juga: Kelas Menengah Didera Inflasi dan Cicilan Pinjaman
WEF juga menyerukan agar para pemimpin negara bertindak secara kolektif dan tegas untuk menyeimbangkan pandangan dan rencana jangka pendek dan jangka panjang. Kerja sama antarnegara dan kawasan memperkuat stabilitas keuangan, tata kelola teknologi, pembangunan ekonomi dan investasi juga diperlukan. Setiap negara juga perlu mengelola utang dengan lebih hati-hati.
Kementerian Keuangan RI mencatat, total utang pemerintah per 30 November 2022 sebesar Rp 7.554,25 triliun. Jumlah itu naik Rp 57,55 triliun secara bulanan. Rasio utang tersebut sebesar 38,65 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Rasio utang itu masih di bawah batas maksimal 60 persen terhadap PDB yang ditentukan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Sementara itu, ASEAN+3 Macroeconomic Research Office (AMRO) memproyeksikan ketahanan ekonomi Indonesia masih cukup kuat untuk menahan rembetan dampak krisis ekonomi global. Kendati begitu, pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan akan melambat dari 5,3 persen pada 2022 menjadi 5 persen pada 2023.
“Permintaan domestik akan menjadi penopang utama ekonomi Indonesia di saat permintaan dunia melemah. Implementasi bauran kebijakan untuk menjaga stabilitas harga di dalam negeri dan dampak eksternal akan membantu menjaga momentum pemulihan,” kata Kepala Ekonom AMRO Sumio Ishikawa melalui siaran pers, Kamis (12/1/2023).
AMRO juga menyebutkan, ekspor masih akan memberikan keuntungan bagi Indonesia, karena harga komoditas masih relatif tinggi. Kinerja ekspor tersebut juga akan terbantu oleh produk-produk bernilai tambah tinggi hasil hilirisasi sumber daya alam.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, sepanjang Januari-November 2022, nilai ekspor RI meningkat, didorong tingginya harga komoditas. Neraca perdagangannya surplus 31 bulan berturut-turut sejak Mei 2020. Sepanjang Januari-November 2022, neraca perdagangan RI surplus 50,59 miliar dollar AS, melampaui rekor tertinggi pada 2006 yang sebesar 39,73 miliar dollar AS.
Baca juga: Pertumbuhan Ekspor Kian Menyusut
Inflasi dan bansos
Meskipun begitu, dalam jangka menengah, Indonesia tetap perlu mewaspadai pelemahan permintaan global dari sejumlah negara mitra dagang yang akan mengalami resesi pada tahun ini. Indonesia juga perlu mengantisipasi kenaikan inflasi akibat harga pangan dan energi yang masih begejolak, kenaikan suku bunga acuan The Fed (Bank Sentral Amerika Serikat), dan ketidakpastian pasar keuangan global.
“Inflasi setidaknya perlu dikendalikan agar bisa tumbuh moderat di kisaran target bank sentral. Stabilitas nilai tukar juga perlu dijaga di tengah meningkatnya ketidakpastian pasar keuangan global,” kata Ishikawa.
Inflasi setidaknya perlu dikendalikan agar bisa tumbuh moderat di kisaran target bank sentral. Stabilitas nilai tukar juga perlu dijaga di tengah meningkatnya ketidakpastian pasar keuangan global.
Pada tahun ini, BI menargetkan inflasi tahunan dapat dikendalikan di kisaran 2-4 persen. Target inflasi tersebut sama dengan target inflasi pada 2022. Pada 2022, tingkat inflasi tahunan Indonesia sebesar 5,51 persen, jauh di atas target BI dan pemerintah. Inflasi itu terutama disebabkan oleh kenaikan harga sejumlah pangan dan bahan bakar minyak.
Baca juga: Fenomena ”Lunchflation”
Sementara itu, dalam seminar nasional “Strategi Menjaga Inflasi dan Ketahanan Ekonomi Daerah 2023” yang digelar Institute for Development of Economics and Finance (Indef) yang digelar secara hibrida, Kamis, mengemuka, pengendalian inflasi tidak hanya bertumpu pada pemerintah pusat, tetapi juga perlu dilakukan pemerintah daerah. Jaring pengaman sosial juga masih diperlukan dan harus tepat sasaran.
Direktur Ketahanan Ekonomi, Sosial, dan Budaya Direktorat Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri, La Ode Ahmad P Bolombo, pengendalian inflasi pada tahun ini merupakan isu prioritas pemerintah. Oleh karena itu, pemerintah daerah juga harus memrioritaskannya.
Beberapa langkah yang dilakukan adalah berbagi dan koordinasi data pangan, kerja sama antara daerah produsen pangan dengan daerah defisit pangan, serta menggulirkan gerakan menghemat energi dan menanam tanaman pangan. Selain itu, Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) dan Satuan Tugas Pangan akan dioptimalkan.
“Untuk memperkuat daya beli masyarakat rentan, pemerintah akan mengintensifkan jaring pengaman sosial, terutama bantuan sosial, dan memastikan penyalurannya tepat sasaran. Selain itu pemerintah daerah perlu mengoptimalkan pemanfaatan belanja tidak terduga, dana desa, dan dana alokasi umum untuk mengendalikan inflasi,” katanya.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, pemerintah akan menggulirkan dana jaring pengaman sosial sebesar Rp 476 triliun pada tahun ini. Dana itu berasal dari anggaran belanja pemerintah pusat sebesar Rp 454,7 triliun, transfer ke daerah Rp 17 triliun, dan pembiayaan Rp 4,3 triliun.
Dana itu antara lain akan digulirkan untuk program Keluarga Harapan bagi 10 juta keluarga penerima manfaat (KPM) dan Kartu Sembako bagi 18,8 juta KPM, dan Kartu Prakerja bagi 500.000 perserta. Selain itu, dana itu akan digunakan untuk program Indonesia Pintar dan Kartu Indonesia Sehat.