Kematian Empat Anak di Jagakarsa, Alarm Kekerasan dalam Rumah Tangga
Kekerasan di ranah domestik kembali terjadi. Publik tersentak peristiwa kematian empat anak yang diduga dibunuh ayahnya.
Oleh
REDAKSI
·3 menit baca
Kematian empat anak di Jagakarsa, Jakarta Selatan, pekan lalu, menambah panjang daftar kasus kekerasan di ranah domestik di Tanah Air. Hal ini merupakan fenomena gunung es persoalan kekerasan dalam rumah tangga yang terus terjadi di berbagai daerah, bahkan hingga merenggut nyawa korban.
Polisi telah menetapkan sang ayah sebagai tersangka pembunuhan empat anak berusia 6 tahun, 4 tahun, 3 tahun, dan 1 tahun itu. Sebelum kejadian, ibu korban diduga juga dianiaya hingga luka parah dan dirawat di rumah sakit setelah bertengkar yang diduga dipicu oleh faktor ekonomi.
Dari alat bukti, pelaku merekam pembunuhan keempat anaknya. Pelaku dikenai Pasal 338 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) juncto Pasal 340 KUHP dan Undang-Undang Perlindungan anak dengan ancaman sanksi maksimal hukuman seumur hidup atau hukuman mati (Kompas, 10/12/2023).
Tindakan orangtua yang menghilangkan nyawa empat anak itu sungguh memprihatinkan. Memuncaknya konflik suami istri hingga terjadi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), antara lain, akibat relasi kuasa timpang. Suami merasa lebih kuat dan berhak melakukan apa saja terhadap istri dan anaknya.
KDRT tersebut diduga sebagai kasus femisida atau pembunuhan perempuan dan anak dipicu, antara lain, faktor kebencian serta dendam. Dari pantauan Komisi Nasional Antikekerasan pada Perempuan (Komnas Perempuan) atas pemberitaan daring pada 2023, dari 159 kasus yang diberitakan, ada 162 jenis femisida (satu kasus memuat dua jenis femisida), seperti pembunuhan terhadap ibu dan anaknya (Kompas, 8/12).
Dekat dengan korban
Adapun KDRT adalah kekerasan berbasis jender di ranah personal, serta banyak terjadi dalam relasi personal yang menunjukkan pelaku kenal baik ataupun dekat dengan korban, misalnya tindak kekerasan terhadap istri dan anak. Tindakan itu menimbulkan penderitaan fisik, seksual, psikologis, atau penelantaran rumah tangga.
Catatan Komnas Perempuan 2023 menunjukkan, dari pengaduan di lembaga itu, kasus di ranah personal 61 persen atau 2.093 kasus, antara lain kekerasan terhadap istri. Lembaga layanan dan Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung 2022 menerima pengaduan 457.895 kasus, dengan 339.782 kasus di antaranya merupakan kekerasan berbasis jender.
Peristiwa kematian empat anak di Jagakarsa menjadi alarm bagi semua pihak untuk lebih dini mencegahnya dengan meningkatkan perhatian dan perlindungan terhadap perempuan dan anak.
Tingginya kasus kekerasan pada perempuan dan anak menunjukkan rentannya peristiwa kekerasan dalam keluarga atau relasi personal. Salah satu penyebab tingginya kekerasan berbasis jender, terutama pada masa pandemi Covid-19, adalah situasi serba sulit mengakibatkan rasa tertekan lebih besar, misalnya hilangnya wibawa seorang suami atau ayah dalam keluarga akibat kehilangan pekerjaan sebagai dampak pandemi.
Pada dasarnya kekerasan di ranah domestik bukan masalah privat yang tak boleh dicampuri orang lain. Namun, dalam banyak kasus, korban enggan melapor dan lingkungan sekitar tidak mau turut campur karena menganggap itu merupakan ranah privat. Untuk mencegah tindak kekerasan terus terjadi, korban mesti berani melapor ketika mengalami KDRT. Lingkungan sekitar juga perlu memberikan dukungan dan melindungi korban.
Dengan memahami KDRT bisa berujung pada kematian, pencegahan harus dilakukan negara lewat penegak hukum, lembaga layanan korban, dan komunitas. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga memberikan panduan perlindungan terhadap korban.
Bentuknya bisa berupa perlindungan sementara, perlindungan oleh kepolisian atau lembaga sosial atau pihak lain dalam 1 x 24 jam sejak menerima laporan KDRT. Jika istri menjadi korban, perlindungan juga perlu diberikan kepada anggota keluarga yang rentan mengalami kekerasan, yakni anak. Dalam sejumlah kasus, penanganan fokus pada perempuan korban KDRT, sedangkan kondisi anaknya yang juga rentan mengalami kekerasan belum terlindungi.
Peristiwa kematian empat anak di Jagakarsa menjadi alarm bagi semua pihak untuk lebih dini mencegahnya dengan meningkatkan perhatian dan perlindungan terhadap perempuan dan anak. Untuk itu, anak semestinya diposisikan sebagai subyek dalam rumah tangga yang wajib dipenuhi hak-haknya, termasuk hak untuk hidup dan tumbuh optimal.