Republik Korupsi
Apa yang dapat diharapkan dari republik dengan kondisi dan praktik korupsi yang kian menggerus martabat bangsa?
Tanggal 9 Desember 2023 tepat dua dekade deklarasi Konvensi Antikorupsi Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCAC). Merayakan momen bersejarah itu, peringatan Hari Antikorupsi Sedunia 2023 mengusung tema ”Dunia Bersatu Melawan Korupsi” (Uniting the World Against Corruption).
Indonesia turut meratifikasi konvensi ini melalui Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Antikorupsi, 2003) pada 18 April 2006. Konsekuensinya, Indonesia wajib menyesuaikan peraturan dan UU-nya berdasarkan kesepakatan bersama dan berlaku universal.
Namun, sampai sekarang kita masih menggunakan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Nomor 20 Tahun 2001 (perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999) untuk menjerat koruptor. UU Tipikor itu juga banyak merujuk pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) lama karena penerapan KUHP baru (UU Nomor 1 Tahun 2023) akan berlaku tahun 2026.
Lambannya penyesuaian UU dan peraturan nasional sesuai UNCAC membuktikan ketidakseriusan negara (legislatif dan eksekutif) dalam mereformasi payung hukum pemberantasan korupsi. Desakan dan kritik atas hal ini pernah menguat ketika DPR justru memprioritaskan revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 dan mengegolkan UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ketimbang memperbarui UU Tipikor.
Dari 11 kejahatan korupsi rumusan UNCAC, terdapat lima jenis yang bersifat mandatory offences (wajib dan mengikat negara peserta), yakni bribery of national public officials (penyuapan terhadap pejabat-pejabat publik nasional); bribery of foreign public officials and officials of public international organizations (penyuapan pejabat-pejabat publik asing dan organisasi internasional).
Selain itu, embezzlement, misappropriation other diversion of property by a public officials (penggelapan, penyelewengan, pengalihan kekayaan oleh pejabat publik); laundering of proceeds of crime (pencucian hasil kejahatan); dan obstruction of justice (perbuatan menghalang-halangi proses peradilan).
Lambannya penyesuaian UU dan peraturan nasional sesuai UNCAC membuktikan ketidakseriusan negara (legislatif dan eksekutif) dalam mereformasi payung hukum pemberantasan korupsi.
Sementara itu, enam perbuatan korupsi yang bersifat non-mandatory offences atau belum menjadi kesepakatan negara peserta UNCAC adalah trading influence (memperdagangkan pengaruh); abuse of function (penyalahgunaan wewenang); illicit enrichment (memperkaya secara tidak sah); bribery in the private sector (penyuapan di sektor swasta); embezzlement of property in the private sector (penggelapan kekayaan di sektor swasta); dan concealment (penyembunyian).
Sejak 2015, Indonesia mengalami kemunduran implementasi UNCAC. Ada tiga penyebab sebuah negara tidak mematuhi perjanjian internasional kendati sudah meratifikasinya, yakni ambiguity, limitation on capacity, dan temporal dimension (Abram Chayes & Antonia Handler Chayes, 1995: The New Sovereignity Compliance with International Regulatory Agreements).
Dari tiga indikator ketidakpatuhan itu, dua indikator paling mencolok, yaitu ambiguitas dalam beberapa jenis kejahatan korupsi yang belum dikriminalisasi oleh hukum Indonesia dan kapasitas pembuat regulasi yang belum mengharmonisasikan UNCAC ke dalam hukum nasional sehingga penegakan hukum tidak maksimal.
Kesenjangan payung hukum nasional-internasional menyulitkan penindakan dan kerja sama internasional untuk menghukum pelaku korupsi yang tegas dinyatakan UNCAC sebagai kejahatan luar biasa (extra-ordinary crime).
Agenda perubahan dan penyempurnaan UU Tipikor agar segera mengacu pada UNCAC belum jadi kebutuhan mendesak meski korupsi berkembang merajalela. Kelambanan itu membuat tidak terpenuhinya tujuan dan hakikat pembentukan hukum, yakni keadilan, kepastian, dan kemanfaatan (Gustav Radburch, 1946).
Ilustrasi
Korupsi politik
Setelah 25 tahun reformasi, pencegahan dan pemberantasan korupsi meluncur ke titik nadir. Sederet petunjuk dan fakta menguatkan hal ini. Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2022 skornya merosot dan terburuk dalam sejarah.
Penyumbang penurunan drastis IPK (dari skor 38 tahun 2021 menjadi 34 tahun 2022) mencakup International Country Risk Guide (turun dari skor 48 ke 35), World Competitiveness (dari skor 44 ke 39), dan Asia Risk Guide (dari skor 32 ke 29). Ketiga variabel itu menggambarkan kenaikan risiko politik, finansial, dan ekonomi di Indonesia.
Kredibilitas dan integritas KPK yang sebelumnya menjadi tumpuan pemberantasan korupsi dan selalu mendapatkan kepercayaan publik tertinggi perlahan memudar akibat proses penjaringan calon komisioner yang bermasalah sedari awal, serta merebaknya konflik kepentingan dan krisis etika yang melanda KPK.
Sepanjang periode 2004- 2023, lebih dari 530 politikus (kepala daerah dan anggota legislatif) terjerat korupsi. Sejak 2004 sampai November 2023 tercatat 1.479 kasus korupsi yang telah ditangani KPK.
Modus penyuapan mendominasi (65,34 persen), disusul korupsi pengadaan barang dan jasa 22,36 persen, pencucian uang 3,99 persen, penyalahgunaan anggaran 3,85 persen, pemerasan 1,89 persen, perizinan 1,9 persen, dan perintangan penyidikan 0,88 persen.
Setelah 25 tahun reformasi, pencegahan dan pemberantasan korupsi meluncur ke titik nadir.
Empat menteri di era Presiden Megawati Soekarnoputri, lima menteri era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dan enam menteri era Presiden Joko Widodo tersangkut korupsi.
Di luar eksekutif dan legislatif, sejumlah pejabat tinggi negara di beberapa institusi (Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, dan Bank Indonesia) juga terseret kasus korupsi.
Semakin rentannya institusi negara terjangkit praktik korupsi antara lain karena pemilihan personelnya dijaring lewat proses dan mekanisme politik, mengesampingkan prinsip dan rekam jejak integritas
Korupsi juga semakin merasuk ke pelosok daerah. Jumlah kepala desa dan perangkat desa yang melakukan kejahatan korupsi dana desa selama 2012-2021 tercatat 686 orang dari 601 desa. Hal ini terasa menyesakkan mengingat tujuan alokasi dana desa (total Rp 470 triliun sepanjang tahun 2015-2022) adalah untuk mengatasi kemiskinan.
Kendati belum ada studi komprehensif, gejala kolusi dan nepotisme yang menyertai perilaku korup tampak nyata pada sebagian besar kasus penangkapan pejabat daerah. Pola perekrutan pejabat eselon—sekalipun telah menggunakan sistem lelang—hasil akhirnya sering menafikan prinsip meritokrasi dan sebaliknya lebih mengutamakan faktor kekerabatan, kedekatan, kepentingan.
Singkatnya, KKN tumbuh subur akibat pemilu biaya tinggi dan sarat transaksi. Semua uraian ini membawa kita pada kesimpulan bahwa korupsi politik semakin mewarnai peta bumi kejahatan kemanusiaan di republik ini.
.
Krisis ”nation”
Kita mengalami krisis politikus cum negarawan dan intelektual par-excellence yang mencukupi untuk mengoreksi sengkarut bernegara dan berdemokrasi agar tegak lurus dengan modus vivendi (kesepakatan luhur) pendiri bangsa sebagaimana terkandung dalam Preambul UUD 1945.
Muara krisis ini bersauh, membentuk endapan katastropik mengkhawatirkan, yaitu rendahnya kualitas sumber daya manusia, menjauhnya cita-cita keadilan dan kesejahteraan, dan semakin mengguritanya KKN.
Kita kehilangan kesadaran berbangsa (nation), sibuk dan fokus pada urusan negara (state). Urusan nation berangkat dan bersumber dari budaya dan peradaban, sedangkan state berangkat dari politik dan kekuasaan. Keduanya selama ini tak seiring-sejalan sehingga demokrasi berbasis kedaulatan rakyat dan penghormatan atas hukum (nomokrasi) kehilangan fondasinya.
Konsepsi demokrasi sebagai pertautan eklektik nation-state tak mengejawantah dalam gegap gempita kontestasi politik. Perebutan kekuasaan (power game)—termasuk dengan mengoyak persatuan—lebih kentara ketimbang politik yang mengabdi kepentingan publik.
Kelalaian memupuk dan merawat nation itu juga menimbulkan perselingkuhan dan aneka praktik yang memunggungi adab dalam berbangsa dan bernegara.
Pada tataran legislasi, misalnya, Mahkamah Konstitusi menerima 1.720 pengajuan uji formil, materiil, dan gabungan keduanya selama 2003-2023.
Banyaknya pengajuan judicial review itu mencerminkan proses pembuatan dan pengesahan produk hukum mengabaikan asas transparansi dan akuntabilitas.
Sistem bikameral dan proses deliberasi publik terukur dapat mengurangi atau menutup celah pembuatan produk hukum bermasalah.
Contoh jelas cacat pembuatan produk hukum yang menuai protes keras dan meluas adalah revisi UU KPK dan UU Cipta Kerja. Kedua UU itu ditengarai mengingkari aspirasi pengampu kepentingan, dibuat secara ”tertutup” dan dalam tempo sangat singkat.
Dalam hubungan ini, kewenangan membuat, membahas, dan menentukan lahirnya UU yang sepenuhnya tergantung eksekutif dan legislatif membuka peluang malapraktik berupa kompromi, transaksi, dan bahkan kebuntuan.
Sistem bikameral dan proses deliberasi publik terukur dapat mengurangi atau menutup celah pembuatan produk hukum bermasalah. Faktanya, walau DPD terbentuk tahun 2004, eksistensi dan wewenangnya sama sekali tak signifikan dalam proses legislasi. Implementasi UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan juga belum mengutamakan kanal aspirasi kepentingan publik sebagai konsiderans penting.
Waktu seperempat abad menghadirkan refleksi, mengapa amanat utama reformasi—pemberantasan KKN—yang diperjuangkan semua komponen bangsa dengan pengorbanan besar itu malahan berbuah sebaliknya sehingga acapkali memunculkan tagar #ReformasiDikorupsi# dalam banyak demo dan aksi mahasiswa serta masyarakat.
Apa yang dapat diharapkan dari republik dengan kondisi dan praktik korupsi yang kian menggerus martabat bangsa? Jawabannya bergantung pada kesungguhan dan kemauan kita mengoreksi sistem dan praktik politik, serta tatanan bernegara yang jauh melenceng dari cita-cita luhur pendiri republik.
Baca juga : Pelonggaran Aturan Dinilai Membuka Potensi Korupsi APD Covid-19
Baca juga : Upaya Pemberantasan Korupsi Dinilai Semakin Buruk
Suwidi Tono,Ketua Gerakan Antikorupsi Lintas Perguruan Tinggi 2019-2022; Koordinator Forum “Menjadi Indonesia”