Korupsi di Sana Sini
Di negeri yang kita cintai ini, korupsi terjadi di sana sini, nyaris tidak ada tempat yang bebas dari praktik korupsi.
Setiap tanggal 9 Desember kita memperingati Hari Antikorupsi Sedunia. Peringatan dan imbauan agar tidak melakukan korupsi setiap tahun digiatkan. Akan tetapi, praktik korupsi masih terus melaju tanpa henti.
Seandainya korupsi diibaratkan seperti luka di tubuh kita, tampaklah luka-luka itu membekas pada kepala, wajah, lengan, kaki, dan bagian vital di sekujur tubuh. Hampir tidak ada bagian tanpa luka-luka itu pada tubuh ini. Luka-luka itu juga tampak disebabkan oleh perbuatan secara sengaja, bahkan sudah direncanakan sebelumnya.
Perumpamaan tersebut rasanya tepat untuk menggambarkan praktik korupsi di negeri ini.
Pada paruh pertama tahun 2023, kerugian negara yang ditangani kejaksaan mencapai Rp 152.247.332.248.704 dan 61.948.551 dollar AS. Dari jumlah tersebut, yang dapat dikembalikan ke kas negara Rp 42.496.731.838.471, hanya sekitar sepertiga dari nilai kerugian itu. Angka ini tentu tidak termasuk korupsi yang belum terungkap.
Jumlah kerugian negara yang begitu besar sungguh menyesakkan dada kita sebagai warga negara. Apalagi, para pelakunya bukanlah orang miskin dengan pendidikan rendah. Para koruptor ini orang-orang yang sudah mapan, bahkan sangat mapan, dengan tingkat pendidikan yang tinggi.
Jumlah kerugian negara yang begitu besar sungguh menyesakkan dada kita sebagai warga negara.
Melihat besarnya kekayaan negara yang dikorupsi, timbul banyak pertanyaan dalam benak kita, mengapa hal itu bisa terjadi, bahkan terjadi dalam skala yang tak masuk akal. Perbuatan korupsi itu tentu tidak mungkin dilakukan dalam satu waktu saja, tetapi dalam waktu cukup panjang.
Apakah inspektorat jenderal atau satuan pemeriksa internal instansi tidak mengetahui terjadinya praktik korupsi? Mengapa Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang setiap tahun setidaknya dua kali melakukan pemeriksaan juga tidak tahu?
Pertanyaan-pertanyaan itu mungkin terjawab jika kita melihat fenomena yang terjadi belakangan ini, antara lain operasi tangkap tangan terhadap oknum pejabat BPK di Sorong, Papua, dan disegelnya ruang kerja salah satu unsur pimpinan BPK. Begitu pun dengan operasi tangkap tangan oknum penegak hukum di Bondowoso, Jawa Timur, serta kasus yang melibatkan bekas menteri pertanian yang kemudian menyeret pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Fenomena tersebut memberikan gambaran kepada kita bahwa pejabat yang telah diberi gaji cukup, fasilitas memadai, serta dibekali regulasi dan prosedur operasi standar dalam melaksanakan tugas dan kewajiban ternyata telah mengkhianati kewenangan dan tugas mulia yang mereka emban.
Kita sebut tugas mereka mulia karena sebagai pejabat inspektorat atau pemeriksa, mereka memiliki fungsi advisory atau konsultansi dan quality assurance. Dengan fungsi konsultansi, inspektorat jenderal mempunyai kewenangan memberikan saran dan koreksi terhadap mitra kerja (para direktur jenderal, sekretaris jenderal, dan badan).
Jika fungsi konsultansi ini dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab, sejak dini praktik kotor seperti mark up (penggelembungan) anggaran perjalanan dinas, mark up rencana anggaran belanja, kolusi dalam pembangunan infrastruktur, serta kolusi pengadaan barang dan jasa akan dapat dicegah.
Kalaupun telanjur berjalan, segera dapat dihentikan. Dengan begitu, nilai kerugian negara tidak akan mencapai angka yang fantastis seperti disebut di atas.
Adapun dengan fungsi quality assurance, pihak inspektorat jenderal akan dapat memastikan apakah program pembangunan, pengadaan barang dan jasa, pertanggungjawaban penggunaan anggaran untuk perjalanan dinas, serta kegiatan dinas lainnya sudah sesuai dengan ketentuan atau tidak.
Kedua fungsi tersebut juga dimiliki BPK. Bahkan, sebelum temuan difinalkan, terlebih dahulu dimintakan pendapat atau tanggapan dari auditan (pihak yang diperiksa/diaudit). Pelaksanaan kedua fungsi tersebut akan semakin bagus hasilnya jika diikuti atau disertai probity audit. Ini diartikan sebagai audit yang didasarkan pada kejujuran, kebenaran, dan transparansi pada setiap tahap untuk setiap obyek yang diperiksa atau di-review.
Probity audit merupakan instrumen yang bagus dan efektif untuk mencegah penyimpangan serta bobolnya keuangan negara. Sayangnya, probity audit yang dapat dilakukan pada setiap tahap ini jarang dilakukan oleh para pejabat pemeriksa/pengawas, baik pengawas internal maupun eksternal.
Kejadian yang melibatkan bekas menteri pertanian dan ketua KPK membuat kita semakin geleng-geleng kepala.
Benang kusut dan lingkaran setan
Kejadian yang menimpa oknum BPK yang terjaring KPK di Bogor, Bekasi, dan Sorong menunjukkan kepada kita bahwa telah terjadi praktik ”pagar makan tanaman”. Mereka yang fungsinya menjaga dan menjamin agar tidak terjadi korupsi justru dengan tanpa rasa bersalah telah menjadikan pihak terperiksa/auditan sebagai ATM alias sumber dana untuk memenuhi hasrat nafsu serakah mereka.
Dapat kita bayangkan, luka-luka, bahkan borok, seperti yang penulis gambarkan pada awal tulisan ini, akan ditutupi dengan cara merekayasa dokumen pertanggungjawaban. Cara lainnya, ditutupi dengan mengubah hasil temuan/pemeriksaan atau audit yang sebenarnya sangat bermasalah menjadi seakan-akan tidak ada temuan atau bersih dari penyimpangan. Akhirnya, satu kesalahan mereka tutupi dengan kesalahan lain, tanpa merasa berdosa.
Hal tersebut tentu akan menjadi lebih parah dan berkelanjutan jika di kemudian hari pemeriksa yang baru menemukan penyimpangan yang telah ditutupi tadi. Kemudian, ”dikondisikan” lagi agar borok penyimpangan itu tidak terungkap. Akibatnya, terjadi lingkaran setan, entah dari mana harus membenahinya.
Di sisi lain, penegak hukum, dengan kewenangan yang dimilikinya, seharusnya juga dapat mencegah terjadinya korupsi. Pada aspek pencegahan, kejaksaan menyediakan bimbingan dan pendampingan dalam pembangunan proyek strategis. Kalaupun bukan proyek strategis, juga akan tetap dilayani oleh kejaksaan dalam rangka memastikan tidak adanya penyimpangan.
Begitu pun pada tataran penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, seharusnya setiap kesalahan ditindak sesuai dengan ketentuan. Namun, ternyata yang dilakukan justru memanfaatkan pihak terperiksa sebagai sumber dana tambahan untuk kepentingan pribadi sang oknum pejabat.
Kejadian yang melibatkan bekas menteri pertanian dan ketua KPK membuat kita semakin geleng-geleng kepala. Di negeri yang kita cintai ini, korupsi terjadi di sana sini, nyaris tidak ada tempat yang bebas dari praktik korupsi.
Ilustrasi
Korupsi sudah menjamah lembaga yudikatif, sampai tingkat hakim agung. Di lembaga, eksekutif, sampai ke tingkat menteri. Di bidang legislatif juga tidak kalah serius permasalahannya. Kita masih menunggu tindak lanjut Kejaksaan Agung dalam menyikapi keterangan saksi yang mengatakan dalam kasus korupsi BTS ada aliran dana sampai Rp 70 miliar ke legislatif.
Jika kondisi saat ini tidak diperbaiki, sulit membayangkan seperti apa tingkat korupsi manakala ketentuan tentang illicit enrichment (penambahan kekayaan secara tidak wajar) dan suap di sektor swasta sudah dikriminalisasi.
Kita sepakat bahwa tidak ada penyakit yang tidak ada obatnya. Begitu pun dengan masalah, tentu ada solusinya.
Dalam perspektif pencegahan korupsi, baik pelaksana, atasan pelaksana, pengawas/inspektorat jenderal, maupun pengawas eksternal, seharusnya memenuhi kriteria memiliki integritas, profesional, independen, dan disiplin dalam melaksanakan tugas dan kewenangan sesuai ketentuan yang ada.
Ketika menemukan indikasi korupsi, sejak dini harus dicegah. Jika sudah terjadi, seharusnya ditindak secara tuntas dan menyeluruh. Pemantauan rutin dan berkelanjutan mesti dijalankan.
Selanjutnya, yang tidak kalah penting adalah penerapan reward and punishment (penghargaan dan penghukuman) secara setimpal dan berkeadilan. Dengan demikian, dapat ditimbulkan efek pencegahan dan penjeraan serta kembalinya kerugian keuangan negara secara utuh.
Di masa depan, semoga korupsi di negeri tercinta ini sirna, setidaknya jauh berkurang.
Baca juga : Republik Korupsi
Muhammad Yusuf, Kepala PPATK Periode 2011-2016