30 Tahun Membenahi Guru
Disrupsi pendidikan tidak hanya terjadi lewat platform belajar digital/daring, tetapi juga lewat guru generasi Z.
Sejak tiga dekade lalu, pembenahan guru di Tanah Air menunjukkan dinamika yang luar biasa. Meskipun demikian, upaya tersebut belum sepenuhnya mampu mencapai standar kualitas pendidikan yang ditetapkan.
Semula, sekolah pendidikan guru (SPG untuk sekolah dasar) dan sekolah guru olahraga (SGO untuk sekolah dasar) dihapus. Digantikan oleh pendidikan guru sekolah dasar (PGSD, tingkat diploma dan kini sudah menjadi strata sarjana).
Dalam waktu hampir bersamaan, perubahan kelembagaan pendidikan guru diikuti dengan penyetaraan D-1 menjadi D-2 dan D-2 menjadi D-3, yang disebut dengan program guru sekolah menengah (PGSM). Pada tahun yang berdekatan juga terjadi penyetaraan guru-guru diploma menjadi S-1.
Semua itu menunjukkan usaha meningkatkan kualitas pendidikan bangsa dengan berpijak pada variabel guru sebagai pusatnya. Guru adalah faktor terpenting dalam menentukan kualitas pendidikan karena mereka tepat berada di ujung tombak.
Selama lebih kurang 15 tahun ketika itu, peningkatan kualitas guru diwarnai dengan program penyetaraan. Program ini bertujuan meningkatkan kualitas guru dengan menyetarakan kualifikasi guru-guru agar memenuhi standar pendidikan tenaga kependidikan.
Program peningkatan kualitas guru yang paling masif adalah pendidikan dan latihan profesi guru (PLPG). Daya tarik PLPG adalah adanya ”tiket” yang ditawarkan kepada guru berupa semacam ”bonus” tambahan gaji satu bulan. Memang menggiurkan! Guru-guru yang selama ini miskin serasa mendapatkan durian runtuh.
Negara mengira peningkatan kualitas pendidikan bisa terealisasi dengan membalik tangan, simsalabim!
PLPG merupakan salah satu implementasi dari Undang-Undang (UU) Nomor 14 Tahun 2005 dengan roh peningkatan kesejahteraan guru berkorelasi positif dengan meningkatnya kualitas pendidikan. UU ini menebar harapan cerah, kualitas pendidikan serta-merta akan meningkat. Dengan tunjangan profesi, seorang guru akan mencurahkan seluruh ikhtiarnya di sekolah.
Apa lacur, guru-guru yang sudah lolos PLPG dengan sistem portofolio (pengumpulan surat-surat dan bukti fisik prestasi) ternyata tidak berdampak secara signifikan dalam meningkatkan kualitas pendidikan.
Negara merasa rugi atau kecolongan. Negara mengira peningkatan kualitas pendidikan bisa terealisasi dengan membalik tangan, simsalabim! Meskipun demikian, ahli-ahli pendidikan tetap diminta untuk mengevaluasi, tidak hanya guru-guru produk PLPG, tetapi juga sistem PLPG itu sendiri.
Hal itu dilakukan karena salah satu isu negatif yang beredar adalah bahwa pada sistem PLPG portofolio ini, guru-guru curang. Dokumen-dokumen atau bukti fisik portofolio banyak yang palsu. Oleh karena itu, kemudian, sistem ini diperbaiki lagi, dipadukan dengan pelatihan. Singkat kata, PLPG tetap tidak menyelesaikan persoalan pendidikan.
Lalu pernah muncul kebimbangan dan pemikiran negara untuk mencabut tunjangan sertifikasi guru. Namun, hal ini rupanya sulit dilakukan. Jalan yang dipilih kemudian adalah memperbaiki sistem secara terus-menerus.
Sampai akhirnya PLPG diubah menjadi pendidikan profesi guru (PPG). Guru-guru meninggalkan sekolah dan pergi selama beberapa bulan untuk belajar di kampus-kampus penyelenggara PPG. Hal ini berlangsung sampai pandemi Covid-19 merebak.
Semasa pandemi, PPG berlangsung lewat daring dan masih berlanjut hingga saat ini, kecuali PPG prajabatan sebagai kebijakan terbaru. PPG prajabatan dilakukan setahun dan secara tatap muka.
Ilustrasi
Guru ”status quo” vs guru milenial
Dari berbagai ikhtiar meningkatkan kualitas pendidikan, tampaknya semua terlampau guru-sentris atau berpusat pada guru. Hal ini sudah barang tentu didasari oleh berbagai riset dan pengalaman sejarah bahwa elemen terpenting yang menentukan kualitas pendidikan adalah guru.
Kebijakan-kebijakan inovatif pendidikan akan mentah atau terpental jika guru menolak. Hal ini tampak dari sumber masalah pendidikan selama ini yang ternyata adalah sikap guru status quo yang antiperubahan.
Baru pada 10 tahun terakhir buah dari PPG terasa semakin signifikan. Hal ini mungkin terjadi karena pemurnian sosiologis di sekolah. Banyak guru tua status quo atau guru Orde Baru mulai pensiun. Di atas itu semua, tentu hal ini juga sangat terkait dengan mulai terjunnya guru-guru baru yang dididik di universitas dan tamat di era disrupsi di sekolah-sekolah.
Dengan demikian, disrupsi pendidikan tidak hanya terjadi lewat platform belajar digital/daring, tetapi juga lewat guru generasi Z. Mereka secara kultur baru menggusur guru-guru tua status quo.
Pada periode sebelumnya, ”kerajaan” guru di sekolah-sekolah terbagi ke dalam beberapa kubu, seperti guru senior dan guru baru (honorer, ngabdi) atau guru tetap/PNS, guru honorer, dan guru yang diperbantukan.
Selanjutnya, sejak adanya program sertifikasi, muncul kubu baru: guru sertifikasi dan guru yang belum disertifikasi (di sini tak ada sebutan khusus).
Pada era disrupsi, sekolah-sekolah memiliki dua kubu guru: guru tua dan guru milenial (guru-guru baru yang bangga menjadi guru dan meyakini guru setara dengan profesi lain).
Kebijakan pendidikan nasional pun banyak yang melibatkan produk-produk teknologi disrupsi sehingga lebih menguntungkan guru-guru generasi Z.
Hampir pada semua babakan pada periode sebelumnya, sekolah-sekolah seperti terasing, murung, dan tertinggal jauh di belakang dunia yang bergerak maju.
Disrupsi pendidikan juga tampak pada sekolah-sekolah dengan berbagai aktivitas yang terikat dalam jaringan digital dan daring. Sekolah-sekolah masuk ke dalam kultur digital—sebagai buah dari revolusi industri generasi keempat—dan ini melahirkan kutub baru: digital native dan digital migrant.
Guru-guru digital native telah menghadirkan sekolah yang sejalan dengan kemajuan zaman. Guru-guru generasi Z yang digital native inilah yang membawa pendidikan ke tengah-tengah arus deras perubahan yang sedang terjadi di muka bumi sekarang ini.
Pendidikan tidak lagi seperti dekade-dekade lalu, yakni dunia yang ditinggalkan kemajuan zaman. Hampir pada semua babakan pada periode sebelumnya, sekolah-sekolah seperti terasing, murung, dan tertinggal jauh di belakang dunia yang bergerak maju.
Guru-guru tua status quo pada masa itu mengasuh anak-anak dari zaman baru dan dengan sadis menyeret mereka ke masa lalu. Namun, kini, kondisi berbeda. Para siswa dan guru-guru mereka berasal dari zaman yang sama.
Di luar PPG dan di tengah era disrupsi yang melahirkan guru dengan digital culture, masih ada program premium untuk meningkatkan kualitas guru yang menolak segala birokrasi di daerah-daerah dan wibawa politik kepala sekolah yang terkadang salah sasaran, yaitu guru penggerak.
Ilustrasi
Guru penggerak adalah standar prestasi baru dalam sosiologi guru dan telah teruji mampu menjaring guru-guru yang hebat dan memiliki inisiatif dan inovasi. Guru penggerak tersebut juga menjadi jenjang karier dan profesionalisme yang bergengsi.
Guru penggerak melampaui strata PPG. Mereka mengejar karier di dunia pendidikan dan ditopang kuat oleh jaringan sosiologis yang independen.
Di sekolah-sekolah asal mereka, guru penggerak merupakan salah satu barometer kemajuan sekolah. Mereka mendapat tempat dan diakui sehingga tidak memicu kecemburuan sosial, seperti cara-cara guru status quo era Orde Baru yang mencibir setiap prestasi guru.
Banyak guru kala itu tidak ingin maju dan dengan pola pikir tersebut mereka juga ingin membendung pencapaian prestasi guru-guru lainnya.
Terlalu penuh toleransi
Dinamika peningkatan kualitas guru selama tiga dekade ini belum sepenuhnya mampu mencapai standar kualitas pendidikan yang ditetapkan.
Negara telah dan terus bekerja maksimal sebagai bagian penting dari pembangunan pendidikan nasional. Meski demikian, perlakuan terhadap para guru atau tenaga kerja pendidikan tampaknya terlalu penuh dengan toleransi.
Target-target kerja guru tidak jelas dan hanya administrasi formal di atas meja kerja. Kontrol atau pengawasan langsung juga tidak ada. Hubungan kerja profesional di antara guru di suatu sekolah terhambat oleh hubungan sosial personal sehingga kritik terbuka tidak mendapat ruang.
Budaya kerja guru yang mengusung prinsip guyub atau kekeluargaan secara berlebihan sejatinya menjadi penghambat bagi berkembangnya profesionalisme di kalangan guru.
Baca juga: Apakah PISA Bermanfaat bagi Indonesia?
I Wayan Artika Dosen Universitas Pendidikan Ganesha; Pegiat Gerakan Literasi Akar Rumput Komunitas Desa Belajar Bali