logo Kompas.id
OpiniBuah Pahit Pemilu yang...
Iklan

Buah Pahit Pemilu yang Oligarkis

Pemilu oligarkis menghasilkan buah pahit demokrasi, pelanggaran HAM dan pembajakan institusi negara dan kebijakan publik.

Oleh
EGI PRIMAYOGHA
· 3 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/RWUx-e_X2nhfij1Ku8KwOreBCig=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F12%2F05%2F2346b815-bf0a-4048-beea-9bbdc8c84990_jpg.jpg

Memasuki masa kampanye Pemilu 2024, penting untuk mengingat bahwa pemilu kali ini lagi-lagi adalah pemilu yang oligarkis. Publik tidak disediakan opsi yang bebas dari pengaruh oligarki. Siapa pun yang memenangkan kontestasi, oligarki tetap akan memiliki pengaruh signifikan dalam demokrasi.

Pemilu yang oligarkis sebelumnya terjadi pada 2014 dan 2019. Dua kandidat yang bertarung disokong oleh para oligark yang bertindak sebagai pendukung dan dengan menjadi tim pemenangan.

Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Kunjungi Halaman Pemilu

Ketika salah satu kandidat memenangkan kontestasi pemilu, oligarki mengonsolidasikan diri dan mampu menjalankan kepentingannya dengan mulus. Kepentingan oligarki adalah pertahanan dan ekspansi kekayaan (Winters, 2011).

Berkaca dari dua gelaran pemilu tersebut, pemilu yang oligarkis akan menghasilkan buah pahit bagi demokrasi. Ia akan membawa pada maraknya pelanggaran hak asasi dan state capture, yaitu korupsi sistematis yang dilakukan oleh oligark dengan cara membajak institusi negara dan kebijakan publik (Dávid-Barrett, 2023).

Baca juga: Pemilu di Antara Tantangan Etika, Oligarki, dan Dinasti Politik

Itu dapat dibuktikan dengan mengingat kembali sederet peristiwa yang terjadi sepanjang tahun 2014 hingga 2023. Indonesia mengalami kemunduran demokrasi yang dicirikan dengan maraknya pelanggaran terhadap hak sipil. Freedom House sejak 2015 hingga 2023 mengategorisasi Indonesia sebagai partly free. Kriminalisasi, serangan fisik dan digital terhadap warga dan jurnalis, hingga pembungkaman terhadap kebebasan akademik kerap terjadi.

Lebih lagi, pengesahan undang-undang (UU) yang didorong oleh kepentingan oligarki berkali-kali terjadi, yang membuktikan bahwa oligark berhasil melakukan state capture. Sepanjang tahun 2019-2022, pemerintah dan DPR meloloskan setumpuk UU bermasalah.

Undang-undang yang bermasalah tersebut antara lain revisi UU No 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi UU No 19/2019 (UU KPK), revisi UU No 4/2009 tentang Mineral dan Batubara menjadi UU No 3/2020 (UU Minerba), UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja, dan UU No 3/2022 tentang Ibu Kota Negara (UU IKN). Seluruh produk hukum itu disahkan dengan pola yang serupa, yakni serba cepat dan menutup ruang partisipasi publik.

Pemilu yang oligarkis akan menghasilkan buah pahit bagi demokrasi. Ia akan membawa pada maraknya pelanggaran hak asasi dan state capture.

Muatan dalam produk hukum tersebut sarat akan kepentingan oligarki. Revisi UU KPK melemahkan taji KPK dalam penegakan hukum sehingga menguntungkan oligarki yang mendapat konsesi proyek-proyek negara agar tidak tersentuh apabila melakukan pelanggaran hukum.

Revisi UU Minerba memberikan keleluasaan bagi oligarki untuk mengeruk sumber daya alam. UU Cipta Kerja memberikan insentif bagi pengusaha dan kemudahan untuk berbisnis. UU IKN memberikan jalan bagi oligarki untuk mendapat proyek-proyek di sekitar Ibu Kota Nusantara.

Iklan
Spanduk yang dibawa aktivis yang tergabung dalam People Heist saat berunjuk rasa di depan Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (4/10/2021). Mereka antara lain menyuarakan dan memperingatkan tentang bahaya oligarki yang semakin merajalela, khususnya pasca-pengesahan UU Cipta Kerja.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Spanduk yang dibawa aktivis yang tergabung dalam People Heist saat berunjuk rasa di depan Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (4/10/2021). Mereka antara lain menyuarakan dan memperingatkan tentang bahaya oligarki yang semakin merajalela, khususnya pasca-pengesahan UU Cipta Kerja.

Pengaruh oligarki

Perlu dicatat bahwa pelanggaran hak sipil yang marak terjadi selama sembilan tahun terakhir antara lain terjadi secara bersamaan dengan pengesahan produk-produk hukum tersebut. Contohnya, serangan fisik dan digital terhadap demonstran, akademisi, dan jurnalis pada saat penolakan besar-besaran terhadap pengesahan revisi UU KPK dan UU Cipta Kerja pada 2019 dan 2020. Lima warga bahkan tewas saat berpartisipasi dalam protes pengesahan revisi UU KPK pada September 2019. Oleh karena itu, menyusutnya ruang sipil perlu dilihat sebagai ekses dari kepentingan oligarki untuk melanggengkan kepentingannya.

Pemilu 2024 tak berbeda dengan dua gelaran pemilu sebelumnya. Tiga kandidat yang tersedia tidak terlepas dari pengaruh oligarki, yang sama-sama dicirikan dengan menjadi pendukung ataupun tim pemenangan. Maka, dapat diperkirakan bahwa oligarki tetap memiliki taji dalam pemerintahan berikutnya.

Oligarki akan berupaya untuk melakukan pembajakan hukum, sumber daya alam, dan anggaran publik guna mempertahankan atau mengekspansi kekayaannya. Kerusakan lingkungan, pelanggaran hak asasi, hingga korupsi diprediksi tetap marak terjadi sebagai akibat dari kepentingan oligarki.

Mirisnya, upaya untuk menyediakan opsi non-oligarkis dalam pemilu terhalang oleh hukum yang berlaku. Kekuatan alternatif yang lepas dari pengaruh oligarki dibutuhkan untuk mengoreksi parpol yang gagal menyediakan opsi-non oligarkis. Namun, UU No 2/2011 tentang Partai Politik (UU Parpol) dan UU No 7/2023 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) menyulitkan pendirian parpol untuk kemudian menjadi peserta pemilu.

Baca juga: Menghapus Dwifungsi Oligarki

Parpol diharuskan memiliki kepengurusan di seluruh provinsi di Indonesia dengan 75 persen kepengurusan dari jumlah kabupaten/kota di provinsi tersebut dan 50 persen kepengurusan dari jumlah kecamatan di kabupaten/kota tersebut. Itu mengakibatkan pendirian parpol dan berkontestasi dalam pemilu membutuhkan sumber daya yang besar sehingga lagi-lagi membuka pintu bagi oligarki untuk memberikan pengaruhnya.

Syarat presidential threshold (PT) yang diatur dalam UU Pemilu turut menghalangi kemunculan kekuatan alternatif. Untuk mencalonkan kandidat dalam pemilihan presiden, parpol harus memiliki minimal 20 persen kursi DPR yang mengacu pada hasil pemilu lima tahun sebelumnya.

Jika pun terdapat parpol baru yang hendak menyediakan opsi non-oligarkis, parpol tersebut perlu mendapat perolehan suara yang tinggi dan menunggu lima tahun terlebih dahulu. Tak lupa bahwa selama lima tahun itu oligarki memiliki kesempatan untuk menghalangi parpol tersebut untuk berkontestasi dengan cara mengubah hukum yang berlaku.

Dengan opsi kandidat yang tersedia, Pemilu 2024 akan tetap menghasilkan buah yang pahit bagi demokrasi. Tak perlu menaruh harapan berlebih kepada para kandidat. Perlu ada strategi yang lebih tajam untuk menghentikan pemilu yang oligarkis.

Egi Primayogha, Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW)

Twitter: EgiPrimayogha

Egi Primayogha
ARSIP ANTIKORUPSI.ORG

Egi Primayogha

Editor:
YOVITA ARIKA
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000