Pemilu di Antara Tantangan Etika, Oligarki, dan Dinasti Politik
Dulu pemilu disambut sebagai pesta demokrasi. Kini seperti ”perang saudara” karena elite politik bertarung tanpa etika.
Oleh
DENTY PIAWAI NASTITIE
·4 menit baca
Pada dasarnya, Indonesia adalah sebuah cerita sukses mengenai kelompok masyarakat majemuk yang bersatu dari Sabang sampai Merauke. Kelompok masyarakat ini berhasil mengatasi masalah-masalah mereka sendiri sebagai modal membangun bangsa. Namun, masyarakat Indonesia juga harus waspada agar tidak membiarkan oligarki, politik dinasti, dan korupsi yang dilakukan elite politik merusak demokrasi dan tatanan kebangsaan.
Hal tersebut disampaikan filsuf sekaligus Guru Besar STF Driyarkara, Franz Magnis-Suseno, dalam forum Gagas RI di Menara Kompas, Jakarta, Senin (23/10/2023). Acara ini dimoderatori pemikir kebinekaan, Sukidi. Turut hadir seniman dan dosen filsafat, Saraswati Putri, dan Direktur Paramadina Center for Religion and Philosophy Budhy Munawar-Rachman.
Franz Magnis-Suseno membuka pemaparannya dengan mengingatkan bagaimana kelompok muda berjuang untuk mengakhiri orde baru pada 1998. ”Ketika itu, banyak orang mengatakan bahwa generasi muda loyo. Tidak lama kemudian ada reformasi. Tentu sangat bagus ketika mahasiswa bersikap kritis, memperhatikan apa yang terjadi,” ujarnya.
Menurut dia, Reformasi 1998 belum berjalan secara sempurna. Tetapi, setidaknya ada tiga capaian besar dalam reformasi. Pertama, untuk pertama kalinya Indonesia menjadi negara demokrasi. Kedua, hak-hak asasi manusia masuk dalam Undang-Undang Dasar 1945. Ketiga, demokrasi dan hak-hak asasi manusia dibuat dengan nilai-nilai Pancasila.
Sejak pembukaan pemaparannya, Franz Magnis-Suseno langsung mengingatkan agar demokrasi dan pemenuhan hak-hak asasi manusia tidak luntur karena oligarki, dinasti politik, dan korupsi. Ia mencatat dalam 20 tahun terakhir terdapat 13 menteri, 429 kepala daerah, 344 anggota DPR dan DPRD, serta 349 pejabat pejabat tersangkut kasus korupsi. Jumlah ini sangat memprihatinkan karena para pejabat seharusnya bekerja untuk rakyat.
”Apa yang sudah dicapai oleh reformasi, jangan sampai digerogoti dalam Pemilu 2024. Pemilu itu menentukan masa depan Indonesia. Kita harus kembali dalam etika Indonesia,” kata Magnis-Suseno.
Di tengah keberagaman, menurut Magnis-Suseno, masyarakat Indonesia tetap bersatu. Pada masa lampau, masyarakat bersatu untuk mencapai kemerdekaan. Semangat bersama untuk mencapai kemerdekaan ini ini memungkinkan semua orang dari berbagai identitas etnik dan agama bersatu. Padahal, di negara-negara lain, perbedaan kerap menjadi sumber perselisihan.
Apa yang sudah dicapai oleh reformasi jangan sampai digerogoti dalam Pemilu 2024.
Saat ini, tanda-tanda masyarakat Indonesia yang bersatu di tengah keberagaman masih ada. Karakter masyarakat yang suka merantau dan berkomunikasi dengan orang-orang dari latar belakang beragam membuat masyarakat mampu menerima kekhasan setiap individu.
Apalagi, sila pertama Pancasila yang berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi dasar agar masyarakat menerima dan mengakui kelompok yang berbeda. Pancasila juga menjadi nilai-nilai dan prinsip hidup yang mengutamakan keadilan, kebebasan beragama, menghargai kemajemukan, dan toleransi.
Dalam prinsip Pancasila, terutama sila ketiga, juga ditekankan tentang bangsa Indonesia yang merupakan milik seluruh masyarakat Indonesia, bukan milik kaum bangsawan atau elite. Oleh karena itu, seluruh masyarakat berhak memperoleh keadilan dan kesejahteraan.
Tantangan umat
Magnis-Suseno menjabarkan lima tantangan utama manusia, yaitu krisis demokrasi, tantangan ideologi yang ekstrem dan eksklusif, neoliberalisme, lingkungan hidup, dan artificial intelligence. Sebagian masalah ini tidak hanya dihadapi masyarakat Indonesia, tetapi juga negara-negara lain. Krisis demokrasi, misalnya, juga dihadapi Amerika Serikat ketika Donald Trump tidak mau mengakui kekalahannya dalam Pemilu 2020.
Tantangan neoliberalisme yang menguasai perekonomian juga telah merugikan banyak negara. Di Jerman, misalnya, banyak orang harus mengurangi konsumsi pangan mereka karena tidak mempunyai uang. Jumlah masyarakat kelas menengah di Amerika Serikat juga merosot menjadi kelompok masyarakat miskin.
Di luar lima tantangan itu, masyarakat Indonesia juga menghadapi tantangan serius berkaitan dengan oligarki dan dinasti politik yang tanpa malu-malu dibangun untuk menguasai negara ini. ”DPR kini diisi orang-orang kaya. Saya mendengar butuh dana Rp 4 miliar untuk menjadi wakil rakyat. Kalau gaji hanya Rp 5,5 juta per bulan, berapa bulan seseorang harus tidak makan untuk menjadi anggota DPR?” tanya Magnis-Suseno.
Dengan kenyataan ini, menurut Magnis-Suseno, yang masuk DPR hanyalah orang-orang kaya. Keberadaan mereka tidak bisa mewakili orang kecil.
Tantangan lainnya adalah polarisasi politik. Pada masa silam, pemilu selalu disambut sebagai pesta demokrasi. Kini yang terjadi adalah perang saudara karena elite-elite politik bertarung tanpa etika. Ia menyebutkan Pemilu 2019 sebagai contoh bagaimana sikap kontestan yang menolak hasil pemilu telah membuat masyarakat terpolarisasi. Terakhir, kesejahteraan yang tidak merata membuat sebagian masyarakat Indonesia mencari keadilan di luar Pancasila.
”Indonesia tidak bisa selamat kalau gagal menghadapi lima tantangan umat dan tiga tantangan khas Indonesia. Kita harus berkomitmen pada keadilan, bebas dari korupsi, bebas dari kepicikan primordialisme, bebas dari masa lampau gelap,” katanya.
Dosen Filsafat Saraswati Putri mengatakan, sebenarnya semangat Pancasila sudah hidup di tengah masyarakat. Tetapi, komunitas masyarakat ini kerap terpinggirkan karena ada konflik kepentingan dan konflik agraria. Masyarakat juga menghadapi tantangan nyata perubahan iklim sehingga membuat mereka jadi kelompok rentan. ”Permasalahan itu bukan di rakyatnya, tetapi ada pada elite dan pemangku kekuasaan,” katanya.
Sementara itu, Direktur Paramadina Center for Religion and Philosophy Budhy Munawar-Rachman mengatakan bahwa toleransi di Indonesia sering kali dianggap sebagai sesuatu yang pasif daripada aktif. Toleransi ini sebatas pada mengakui perbedaan, sayangnya, masih banyak terjadi kasus intoleransi yang menggerus rasa persaudaraan.
Menurut Magnis-Suseno, memang ada kasus-kasus intoleransi. Tetapi, jumlahnya masih sedikit dan kelompoknya masih kecil. ”Akan selalu ada kelompok kecil teroris, itu sesuatu yang tidak bisa dihindari. Saya cukup optimistis karena yang penting adalah menjalin komunikasi agar perasaan asing dan saling curiga tidak muncul,” katanya.