Ableisme, Porno Disabilitas, dan Inklusivitas Kebudayaan
Indonesia bisa dibangun dengan inklusif. Problem yang kita hadapi bukan pada para difabel, tetapi masyarakat yang perlu lebih memahami perbedaan.
Oleh
OTI M LESTARI
·3 menit baca
Kongres Kebudayaan Indonesia 2023 telah selesai digelar pada 23-27 Oktober 2023 di kompleks Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Jakarta. Musyawarah akbar ini menjadi wahana bagi para pemangku kepentingan untuk memproduksi dan mereproduksi kebudayaan, termasuk gagasan, kebijakan, dan strategi yang dibangun dalam mengatasi problema dan kebutuhan kultural masyarakat.
Kongres Kebudayaan Indonesia (KKI), yang juga menjadi bagian Pekan Kebudayaan Nasional (PKN) 2023, menelurkan gagasan penting untuk pembangunan kebudayaan Indonesia. Bahwa kebudayaan menjadi daya utama dalam mewujudkan transformasi keindonesiaan, melalui penguatan budi-daya (cara-cara inovatif dan kreatif) serta pemuliaan daya-budi (panduan etika dan moralitas untuk menghadapi dinamika global yang multidimensi).
Salah satu isu yang dibahas adalah terkait tema inklusivitas. Hal ini penting karena dalam kenyataan keseharian, kaum difabel terkesan belum beroleh peran menjadi subyek khusus dalam logika pembangunan dan kehidupan. Infrastruktur, sikap sosial, hingga produk kesenian tidak dapat sepenuhnya dinikmati, apalagi sampai melibatkan para difabel secara aktif.
Putti (2023) mensinyalir bahwa hal ini bersumber pada mentalitas ableisme, perspektif yang memandang segala yang di luar ”normal” milik para mayoritas (nondifabel) akan dianggap sebagai abnormal. Ideologi (ableisme) membekas di alam bawah sadar manusia, bahwa seakan-akan (ada) standar manusia dan yang lain (di luar standar) adalah tidak benar.
Dalam sejarah, peradaban Yunani Kuno telah menjadikan kebugaran tubuh dan intelektualitas sebagai tolok ukur kesempurnaan. Alhasil, lanjut Putti, para penyandang disabilitas dianggap sebagai pemilik ”tubuh yang belum selesai”. Logika itu kemudian terus berkembang, hingga di era modern, disabilitas dianggap sebagai masalah medis. Difabel kemudian dianggap sebagai orang sakit, yang lalu membangun persepsi bahwa mereka tidak normal.
Di Indonesia, sejarah difabel terbilang unik. Purnawan Andra dalam Pesan Kemanusiaan dari Arena Paralimpiade (Kompas.id, 29/8/2021) menjelaskan bahwa dahulu masyarakat Jawa menempatkan orang difabel atau cacat secara fisik dan mental pada posisi penting. Mereka diyakini bukan orang sembarangan, tetapi memiliki tuah.
Ben Anderson (2020) menyebut para difabel dianggap dapat meneguhkan kesaktian raja. Di lingkungan keraton, mereka disebut abdi dalem palawija yang mendapat tempat khusus di keraton. Dalam upacara grebegan, mereka berjalan di depan iringan putri manggung, putri istana yang membawa pusaka kerajaan. Sementara dalam pisowanan, mereka duduk di dekat sultan. Dalam hidup keseharian, ”keunikan” penampilan fisik membuat orang menganggap mereka mempunyai kemampuan meramal dan menebak nomor togel.
Dunia pewayangan juga mengakui eksistensi tokoh difabel. Drestarata, Raja Astina yang melahirkan para Kurawa, adalah seorang tunanetra. Durna, pendeta sakti guru para putra wangsa Bharata, menderita cacat fisik. Punakawan juga bukan sosok normal: Gareng tidak sempurna kakinya, Bagong juga tak bisa lancar bicara karena cacat bibirnya. Namun, mereka adalah titisan para dewa penjaga keseimbangan kehidupan.
Di zaman kolonial, pemaknaan difabel dikerangkakan penjajah Belanda dalam konsep politik etis. Kaum difabel dididik dan dibina agar mampu menjadi produktif dan berdaya guna. Untuk itu, penjajah Belanda mengenalkan konsep panti rehabilitasi untuk mendidik dan membina kaum difabel agar produktif dan berdaya guna. Panti tunanetra dibangun di Bandung, panti tunadaksa dibangun di Solo, panti tunarungu didirikan di Wonosobo. Mereka diajarkan berbagai keterampilan, mulai dari menyulam, menjahit, hingga memijat.
Penanganan terhadap kaum difabel mengalami pergeseran, dari awalnya dianggap ”cacat”, lalu menjadi “luar biasa”, dan berubah menjadi ”berkebutuhan khusus”. Konsep ini masih bertahan hingga kini, yang justru bisa dibaca sebagai penguatan dari sebuah konstruksi budaya bahwa status mereka adalah ”orang berbeda”, yang ”tidak sempurna”, yang berada di dunia ideal yang dimiliki orang ”normal” (Andra, 2021).
Slamet Thohari, akademisi dan pendiri Pusat Layanan Disabilitas Universitas Brawijaya (dalam Putti, 2023), menyebut bahkan pada penjelasan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997, kebijakan masih menggunakan istilah ”penyandang cacat” yang didefinisikan sebagai individu ”berkekurangan”. Pada UU Nomor 18 Tahun 2016, istilah itu diganti menjadi ”penyandang disabilitas”, yang memiliki ”keterbatasan”.
Penanganan terhadap kaum difabel mengalami pergeseran, dari awalnya dianggap ’cacat’, lalu menjadi ’luar biasa’, dan berubah menjadi ’berkebutuhan khusus’.
Dalam konteks kesenian, terjadinya diskriminasi terhadap para seniman difabel, hadir dalam berbagai bentuk, seperti pengabaian karya seni para seniman difabel dan minimnya akses untuk menikmati produk-produk kesenian. Meski ada apresiasi terhadapnya, hal itu kerap bersumber dari rasa kasihan yang menempatkan karya penyandang disabilitas pada tempat yang tidak semestinya—mengobyektifikasi dan menjadikannya bahan pemicu kesedihan dan keprihatinan belaka.
Bahkan, menurut Putti (2023), ada pandangan disabilitas sebagai pemuas hasrat. Sebagaimana segala bentuk ”pornografi” dinikmati sebagai pemuas hasrat, ”porno disabilitas” menggambarkan kebiasaan memandang difabel sebagai orang serba kekurangan yang harus dikasihani.
Dekonstruksi
Dengannya, kita perlu mendekonstruksi cara pandang seperti ini dengan meletakkan kebudayaan sebagai medan yang menjadi sarana mencari hubungan antara logika kemanusiaan dan ilmu pengetahuan di satu pihak serta masyarakat dan budaya di pihak lain. Bahwa dalam membangun peradaban yang lebih baik, komponen penyusunnya adalah sinergisitas dan keharmonisan semua elemen kemanusiaan, bukan pembedaan antara difabel dan yang tidak.
Indonesia bisa dibangun dengan inklusif. Karena pada dasarnya, problem yang kita hadapi bukan pada para difabel. Namun, masyarakat yang perlu lebih memahami adanya perbedaan. Karena jika kita ingin mengagungkan kebudayaan dengan berlandaskan nilai-nilai etis, etika humanisme, dan logika kultural, tetapi di saat yang sama interaksi sosial dan interaksi kemanusiaan kita mengabaikan peranti sosial seperti kebersamaan, kesetaraan, dan menjunjung tinggi kemanusiaan, maka kita sebenarnya sedang membicarakan pemaknaan kebudayaan yang seperti apa?
Kebudayaan adalah arena untuk tumbuh bersama, yang harus senantiasa dirawat dengan penuh kesadaran, memastikan agar semua ikut, tak ada yang tertinggal, pun diabaikan. Dengannya, kebudayaan beroleh fungsi kontekstualnya. Sesuai dengan prinsip kemanusiaan, baik difabel maupun tidak memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk mendapat perlakuan dan pengakuan setara serta berkesempatan untuk berekspresi dan berapresiasi.