Ada 28,05 juta penyandang disabilitas di Indonesia. Jumlah mereka lebih dari sepuluh persen total penduduk. Kelompok masyarakat ini sama-sama berhak berkontribusi dan menikmati pembangunan bangsa ini.
Produk kerajinan dari warga penyandang difabel yang turut dihadirkan dalam penyelenggaraan Foodstreet Festival 2022 di Waduk Jatibarang, Kota Semarang, Jawa Tengah (20/5/2022). Pameran yang mereka ikuti tersebut untuk membentuk rasa percaya diri dengan kreasinya sebagai usaha rintisan.
Perjalanan panjang membangun kota inklusif, khususnya bagi masyarakat berkebutuhan khusus, sedikit demi sedikit mulai terlihat hasilnya. Namun, masih ada beberapa bidang yang perlu ditingkatkan, yaitu lapangan kerja dan layanan kesehatan.
Menciptakan lingkungan inklusif bagi masyarakat berkebutuhan khusus sudah menjadi agenda besar dunia, termasuk Indonesia. Hal tersebut tertuang dalam beberapa poin di 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Poin pentingnya adalah membangun lingkungan, daerah, dan masyarakat yang inklusif, terutama untuk kelompok masyarakat berkebutuhan khusus.
Menurut The SMERU Research Institute (2020), pembangunan inklusif berarti pembangunan yang melibatkan seluruh kelompok tanpa diskriminasi sehingga tercipta rasa memiliki pada masyarakat.
Pembangunan inklusif menjadi penting mengingat ada sekitar 28,05 juta penyandang disabilitas atau lebih dari 10 persen dari total penduduk di Indonesia. Masalahnya, kelompok masyarakat ini sering kali tidak mendapat kesempatan dan hak yang sama dengan orang-orang pada umumnya.
Sejauh ini memang sudah ada sejumlah kebijakan yang mendorong pembangunan inklusif. Beberapa di antaranya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas beserta regulasi turunannya. Upaya tersebut cukup diapresiasi masyarakat. Berdasarkan hasil jajak pendapat Kompaspada 10-12 Januari 2023 kepada 512 responden di seluruh Indonesia, separuh responden (50 persen) melihat penyandang disabilitas di daerahnya sudah diperlakukan setara dan adil.
Sebanyak 29,2 persen responden menyebutkan pelayanan publik paling baik untuk kelompok disabilitas adalah kesehatan. Apresiasi publik juga diberikan untuk bantuan sosial (19,2 persen) dan akses pendidikan (12,2 persen).
KOMPAS/NINO CITRA ANUGRAHANTO
Tim Advokasi Difabel Kota Surakarta menjajal kendaraan ramah difabel untuk keperluan ASEAN Para Games 2022, di Terminal Tirtonadi, Kota Surakarta, Jawa Tengah (11/7/2022).
Jauh tertinggal
Meski pembangunan inklusif mulai diserap berbagai bidang, bagi 43,6 persen responden, program dan kebijakan yang ada belum sepenuhnya merangkul kelompok disabilitas. Secara umum, enam dari sepuluh responden melihat pelayanan, fasilitas, dan kesempatan dari pemerintah untuk kelompok masyarakat itu kurang memadai.
Hal ini juga menjadi sorotan global lantaran skor inklusivitas Indonesia masih jauh tertinggal dibandingkan dengan negara lain. Indonesia menempati peringkat ke-125 dalam peringkat Indeks Inklusivitas Global 2020 dengan skor 26,5. Di bawah Filipina, Vietnam, Singapura, dan Thailand.
Besarnya angka bidang pelayanan kesehatan dan bantuan sosial agaknya menunjukkan bahwa Pemerintah Indonesia masih perlu meningkatkan kebijakan dalam menyikapi isu disabilitas. The SMERU menyebutkan, ada lima pendekatan menyikapi isu disabilitas, salah satunya kesehatan. Pendekatan ini masih memandang para disabilitas sebagai orang sakit dan perlu dikasihani.
Sementara masyarakat berkebutuhan khusus justru membutuhkan pengakuan atas kemampuannya dan kesempatan yang sama untuk dapat menjalani hidup seperti orang pada umumnya. Wujud dari pengakuan itu dapat terlihat nyata, misalnya pada akses terhadap lapangan kerja.
Hal ini juga yang diutarakan mayoritas responden terkait bidang apa yang perlu ditingkatkan agar pembangunan inklusif bagi kelompok berkebutuhan khusus semakin berdampak. Sebanyak 30 persen responden menghendaki peningkatan akses terhadap lapangan kerja. Jumlah yang signifikan tersebut mengisyaratkan sudah saatnya lapangan kerja di Indonesia lebih inklusif.
Laporan Bappenas tahun 2021 memperlihatkan sebanyak 71,4 persen pekerja penyandang disabilitas bekerja di sektor informal. Angka ini terlihat sangat kontras ketika dibandingkan dengan 50,5 persen pekerja nondisabilitas yang bekerja di sektor serupa. Sejalan dengan itu, temuan Organisasi Buruh Internasional (ILO) pada 2020 juga menunjukkan, proporsi penyandang disabilitas yang mempekerjakan diri sendiri (self-employed) lebih tinggi 1,5 kali daripada non-penyandang disabilitas.
Sulit bekerja layak
Besaran tersebut menandakan masih sulitnya penyandang disabilitas mendapatkan pekerjaan layak dan terjamin. Padahal, aspek pekerjaan layak adalah kunci dari terciptanya pembangunan inklusif dan pengangkatan taraf hidup penyandang disabilitas.
Harapan untuk lebih melibatkan penyandang disabilitas dalam pembangunan secara menyeluruh juga tampak dari jawaban responden lainnya. Sebanyak 22,3 persen responden tetap menginginkan peningkatan pelayanan di bidang kesehatan. Pelayanan lain yang perlu ditingkatkan ialah akses sarana dan prasarana publik, akses pendidikan, program bantuan sosial, program bantuan keuangan, transportasi publik, serta partisipasi dalam kehidupan sosial.
Seakan merespons harapan-harapan tersebut, pada 2021, pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 53 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional HAM 2021-2025. Pemerintah mencanangkan peningkatan akses pelayanan hak-hak dasar bagi penyandang disabilitas, antara lain penyerapan tenaga kerja penyandang disabilitas di sektor formal; peningkatan aksesibilitas, informasi, dan kualitas pelayanan publik; serta perlindungan hukum dan sosial.
Instrumen yuridis diharapkan bukan formalitas belaka. Harapan terwujudnya kota, lingkungan, dan masyarakat yang inklusif perlu diwujudkan lebih spesifik dalam berbagai sektor hidup masyarakat. (LITBANG KOMPAS)