Paralimpiade tidak sekadar wahana partisipatif bagi kaum difabel melalui olahraga. Lebih dari itu, Paralimpiade merefleksikan pesan bahwa setiap makhluk memiliki peran, fungsi, dan tugasnya di dunia, tanpa terkecuali.
Oleh
PURNAWAN ANDRA
·4 menit baca
Pada 24 Agustus hingga 5 September 2021 berlangsung Paralimpiade Tokyo 2020. Pesta olahraga kaum difabel kali ini mengusung tema besar ”Bergerak Maju” sebagai pesan untuk tak kehilangan harapan dan terus meraih cita-cita meski raga memiliki batas.
Paralimpiade diselenggarakan untuk memberi wahana partisipatif bagi penyandang disabilitas melalui olahraga. Tujuannya untuk memperkuat nilai komunikasi dan persaudaraan antar-penyandang disabilitas serta membuka kemungkinan rehabilitasi bagi penyandang disabilitas melalui aktivitas olahraga.
Dengannya diharapkan muncul keyakinan dan kepercayaan atlet difabel menunjukkan determinasi untuk menghadapi setiap tantangan baik secara fisik dan mental demi meraih capaian terbaik dalam hidup mereka. Tidak hanya kemenangan dan perolehan medali, tetapi juga arti dirinya bagi anggota masyarakat lain.
Paralimpiade mempunyai pesan bagi semua atlet difabel dan orang-orang berkebutuhan khusus untuk bisa melampaui batasan-batasan yang ada dalam diri mereka dan terus bergerak maju. Meski memiliki batas dalam diri, semua orang mampu meraih cita-citanya apabila mau bekerja keras dan berusaha.
Para atlet Paralimpiade menjadi contoh sosok pribadi yang tanggguh dan pantang menyerah. Keterbatasan yang dimilikinya sejak lahir akibat kecelakaan atau sebab lainnya bisa jadi pernah membuat mereka jatuh terpuruk. Tapi mereka mampu bangkit, berlatih keras sebagai atlet, menemukan kepercayaan diri, dan berjuang mengharumkan nama negara.
Konstruksi budaya
Mereka bukan seperti anggapan masyarakat dan budaya yang masih kerap menganggapnya berbeda, asing bahkan dengan sebelah mata.
Di Indonesia, sejarah difabel terbilang unik. Dulu masyarakat Jawa menempatkan orang difabel atau cacat secara fisik dan mental pada posisi penting. Mereka diyakini bukan orang sembarangan, tetapi memiliki tuah.
Ben Anderson (2000) menyebut para difabel dianggap dapat meneguhkan kesaktian raja. Di lingkungan keraton, mereka disebut abdi dalem palawija yang mendapat tempat khusus di keraton.
Ben Anderson (2000) menyebut para difabel dianggap dapat meneguhkan kesaktian raja.
Dalam upacara grebegan, mereka berjalan di depan iringan putri manggung, putri istana yang membawa pusaka kerajaan. Sementara dalam acara pisowanan, mereka duduk didekat Sultan. Dalam hidup keseharian, ”keunikan” penampilan fisiknya membuat orang menganggap mereka mempunyai kemampuan meramal dan menebak nomor togel.
Dalam dunia pewayangan, juga tercatat eksistensi tokoh difabel. Drestarata, raja Astina yang melahirkan para Kurawa, adalah seorang tunanetra. Durna, pendeta sakti guru para putra wangsa Bharata, juga menderita cacat fisik. Punakawan juga bukan sosok normal. Gareng tidak sempurna kakinya, Bagong juga tak bisa lancar bicara karena cacat bibirnya, tetapi mereka adalah titisan para dewa penjaga keseimbangan kehidupan.
Pada zaman kolonial, pemaknaan difabel dikerangkakan penjajah Belanda dalam konsep politik etis. Kaum difabel dididik dan dibina agar mampu menjadi produktif dan berdaya guna. Untuk itu, Belanda mengenalkan konsep panti rehabilitasi. Panti tunanetra dibangun di Bandung, panti tunadaksa dibangun di Solo, panti tunarungu didirikan di Wonosobo. Di sana kaum difabel diajarkan berbagai keterampilan, mulai dari menyulam, menjahit, hingga memijat.
Penanganan terhadap kaum difabel mengalami pergeseran, dari awalnya dianggap ”cacat”, lalu menjadi ”luar biasa”, dan berubah menjadi ”berkebutuhan khusus”. Konsep ini masih bertahan hingga kini.
Kini, meski ada gerakan kepedulian terhadap kaum difabel, tetapi semua itu kerap kali didasarkan pada rasa belas kasihan dan iba terhadap kondisi mereka. Hal ini justru bisa dibaca sebagai penguatan dari sebuah konstruksi budaya bahwa status mereka adalah ”orang berbeda”, yang ”tidak sempurna”, yang berada di dunia ideal yang dimiliki orang ”normal”.
Esensi
Harusnya pola pikir (mindset) ini perlu direvisi bahwa dalam membangun peradaban yang lebih baik, komponen penyusunnya adalah sinergisitas dan keharmonisan semua elemen kemanusiaan, bukan pembedaan antara difabel dan yang tidak.
Di sini olahraga sebagai produk kebudayaan beroleh fungsi kontekstualnya. Paralimpiade menjadi momen di mana keberadaan dan partisipasi aktif penyandang disabilitas diakui oleh negara, tidak hanya penerima manfaat, tetapi juga diakui kemampuannya.
Paralimpiade menjadi momen di mana keberadaan dan partisipasi aktif penyandang disabilitas diakui oleh negara, tidak hanya penerima manfaat, tetapi juga diakui kemampuannya.
Hal ini karena sesuai dengan prinsip kemanusiaan, baik difabel maupun tidak, memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk memiliki kualitas hidup terbaik. Semua berhak mendapat perlakuan dan pengakuan setara serta berkesempatan berkompetisi dan berprestasi.
Dalam konteks Paralimpiade ini, olahraga mengingatkan kita pada spirit dan esensi yang ada di baliknya. Fungsi olahraga menemukan makna yang sesungguhnya: etos, niat, kerja keras, kesungguhan untuk mengabaikan cemoohan, memperkuat niat pembuktian, melupakan kegagalan, menolak tunduk pada ketidakberdayaan, dan mencapai sesuatu yang optimal.
Paralimpiade semestinya tak lagi dibaca sebagai kisah haru yang menguras emosi. Di dalamnya tersimpan kisah perjuangan, babad epik kesungguhan dan cerita inspiratif orang-orang berkarakter.
Paralimpiade membuktikan esensi olahraga sebagai elemen kebudayaan menjadi alasan bagi sebagian orang untuk memaknai hidup dengan lebih berkualitas. Pada tahap selanjutnya, fungsi tersebut tidak hanya bermanfaat secara individu, tetapi juga berada dalam konteks yang lebih luas. Olahraga berfungsi sebagai perwujudan prestasi, lambang kebanggaan, simbolisme identitas, dan eksistensi bangsa hingga nasionalisme yang penting sebagai pengikat rasa persatuan dan kesatuan.
Semua itu bisa menjadi lecutan inspirasi, tidak hanya atlet dan kaum difabel lainnya, tetapi lebih luas lagi, bagi kehidupan bersama. Bahwa setiap makhluk memiliki peran, fungsi, dan tugasnya di dunia ini tanpa terkecuali. Dan semua itu bisa menjadi refleksi untuk menciptakan kehidupan bersama yang lebih baik di antara kenyataan yang kerap dipenuhi syak wasangka dan klaim kebenaran sepihak ini.
Purnawan Andra, Bekerja di Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan Ditjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan