Selayaknya kita sebagai bangsa menggali nilai-nilai kebudayaan Nusantara dan nilai-nilai Pancasila sebagai dasar untuk menghormati penyandang disabilitas.
Oleh
SLAMET THOHARI
·6 menit baca
Setiap 3 Desember masyarakat dunia merayakan Hari Disabilitas Internasional (International Day of People with Disabilities/IDPWD). Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada 2011 mencatat jumlah penyandang disabilitas mencapai 15 persen dari total penduduk dunia. Jumlah ini sangat mungkin bertambah mengingat beragam penyakit kronis dan Covid-19. Selain itu, perubahan iklim yang memicu beragam bencana alam di berbagai penjuru dunia turut menyumbang kemungkinan bertambahnya penyandang disabilitas.
Hampir 80 persen dari total penyandang disabilitas dunia tinggal di belahan dunia selatan atau di Global South. Tidak seperti negara-negara di bagian utara (Global North), negara-negara di Global South memiliki kondisi perekonomian yang jauh tertinggal. Penyandang disabilitas di negara-negara di Global South umumnya hidup dalam kemiskinan, berpendidikan rendah, akses layanan kesehatan yang buruk, dan jauh jangkaun kebijakan-kebijakan layanan publik.
Isu disabilitas tidak menjadi agenda spesifik dalam Millenium Goal Development (MDGs). Pembangunan yang memberi ruang partisipasi dan kemanfaatan bagi penyandang disabilitas baru menjadi bagian agenda pembangunan internasional setelah ditetapkannya 17 tujuan pembangunan berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs).
Tujuan pembangunan SDGs menjadi landasan bagi ditetapkannya pendekatan "Disability Inclusive Development" (DID) menggantikan pendekatan sebelumnya, “Community Based Rehabilitation”. DID bertujuan memastikan seluruh aspek dan tahapan pembangunan sosial, ekonomi, kesehatan, politik, ekonomi, hukum, dan budaya didasarkan pada asas inklusifitas, dimana setiap orang tidak ditinggalkan di dalam proses pembangunan, termasuk penyandang disabiltias.
Dalam satu dekade terakhir, inklusi disabilitas telah menjadi agenda dan inspirasi bagi instutisi pemerintah, lembaga internasional, multilateral dan bilateral dalam mendukung pembangunan berkelanjutan di Indonesia. Program-program pembangunan telah memasukkan isu pemenuhan hak penyandang disabilitias.
Tujuan pembangunan SDGs menjadi landasan bagi ditetapkannya pendekatan "Disability Inclusive Development" (DID) menggantikan pendekatan sebelumnya, “Community Based Rehabilitation”.
Perkembangan ini mengubah dan mentransformasi cara pandang pemangku kepentingan dan masyarakat dalam melihat disabilitas. Pandangan model sosial (social model) dan hak asasi (human rights model) mulai mendominasi proses pengambilan keputusan di tingkat pemerintah dan organisasi masyarakat sipil.
Model sosial adalah sebuah cara pandang yang melihat disabilitas sebagai ekspresi dari sistem sosial dan lingkungan yang tidak aksesibel, diskriminatif, terhadap penyandang disabilitas. Sementara pendekatan berbasis hak asasi manusia adalah cara pandang yang menekankan keharusan melihat penyandang disabilitas sebagai individu yang memiliki hak yang sama sebagai warga negara.
Pandangan model sosial dan hak asasi manusia meggantikan cara pandang lama, yaitu cara pandang medis (medical) ataupun kasihan (charity), yang melihat disabilitas sebagai masalah pribadi seseorang, penyakit atau menjadi sasaran “kebaikan” dari pemerintah dan masyarakat.
Dari internasional ke nasional
Pendekatan model sosial dan hak asasi manusia telah berkembang sejak 1970-an menjadi dasar perumusan UNCRPD (United Nations Convention on the Rights of Person with Disabilities) yang disepakati pada 2006 dan kini telah diratifikasi oleh 185 negara.
Perkembangan paradigma disabilitas pada tataran global berpengaruh kepada gerakan disabilitas di Indonesia sejak 1980-an. Pada periode 1990-an, penyandang disabilitas merumuskan identitas “difabel” atau “diffrerently abled people” (individu dengan kemampuan berbeda) sebagai kritik atas cara pandang yang melihat disabilitas sebagai “kecacatan”.
Perubahan yang sinifikan terjadi setelah Indonesia meratifikasi CRPD pada tahun 2011, dilanjutkan dengan ditetapkannya Undang-Undang Penyandang Disabilitas Nomor 8/2016. Organisasi Penyandang Disabilitas dengan dukungan lembaga internasional berperan besar terhadap promosi dan advokasi prinsip dan nilai CRPD. Pendekatan sosial model dan hak asasi manusia pun mulai mempengaruhi perubahan kebijakan dan pandangan terhadap disabiltias di Indonesia.
Terlepas dari pentingnya pendekatan hak asasi dan model sosial yang telah mempengaruhi perjalanan gerakan disabilitas, perlu diperhatikan bahwa kedua konsep tersebut adalah refleksi dari proses dan praktik yang terjadi di masyarakat Barat (Global North). Dalam studi disabilitas berkembang wacana yang mengingatkan bahwa prinsip-prinsip CRPD merupakan konsep yang sangat dipengaruhi oleh praktik, konteks, dan wacana kehidupan penyandang disabilitas yang hidup di negara maju, yaitu negara-negara yang memiliki struktur sosial-ekonomi, politik, dan hukum yang berbeda dengan negara-negara di belahan selatan (Global South).
Oleh sebab itu, proses dan perjalanan pemenuhan hak penyandang disabilitas di negara seperti Indonesia tentu saja akan menghadapi persoalan yang tidak sama dengan di negara maju. Permasalahan diskriminasi dan pengalaman hidup penyandang disabilitas di negara seperti Indonesia belum tentu dapat terselesaikan dengan penerapan instrumen dan pendekatan yang efektif dilakukan di negara maju. Proses-proses pemenuhan hak penyandang disabilitas di Indonesia perlu memperhatikan berbagai aspek lain seperti aspek geopolitik, pengalaman kolonialisme, struktur sosial-budaya, ekonomi, politik, dan hukum.
Kontekstualisasi dengan nilai-nilai keindonesiaan
Lembaga pembangunan internasional dan nasional telah memperkenalkan berbagai pendekatan seperti GEDI (Gender Equality Diversity and Inclusion), GESI (Gender Equality and Social Inclusion), dan GEDSI (Gender, Equality, Disability and Social Inclusion) sebagai upaya mewujudkan masyarakat inklusif. Walau berbeda dalam nama, pendekatan tersebut adalah rambu-rambu, acuan proses, sekaligus tujuan dalam merancang, melaksanakan, mengukur, dan menilai pencapaian program. Penyandang disabilitas sebagai kelompok minoritas dipastikan menjadi penerima manfaat program.
Lembaga pemerintah pun telah ikut mengadopsi pendekatan tersebut di atas, di antaranya Kementerian Agama; Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Riset dan Teknologi; Kementerian Sosial; Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, dan lainnya. Bahkan, sebuah kampus di Yogyakarta telah menginisiasi sebuah unit khusus, yaitu Direktorat GESI sebagai upaya memenuhi prinsip-prinsip inklusi sosial, yaitu kesetaraan jender dan inklusi disabilitas. Perkembangan tersebut sangat menggembirakan, sebab secara perlahan program-program tersebut mulai mempertimbangkan isu pemenuhan hak disabilitas sebagai isu penting, sebagaimana kesetaraan jender.
Pengenalan pendekatan GESI, GEDI, dan GEDSI perlu memastikan landasan filosofi dari penghormatan hak dan kesetaraan penyandang disabilitas.
Namun demikian, ada beberapa catatan yang perlu dipertimbangkan. Pertama, pengenalan pendekatan GESI, GEDI, dan GEDSI perlu memastikan landasan filosofi dari penghormatan hak dan kesetaraan penyandang disabilitas. Pemahaman ini akan mentransformasi perilaku sosial yang diskriminatif dan patriarkal, yang menempatkan penyandang disabilitas hanya sebagai pelengkap program.
Kedua, perlu dibangun kesadaran bahwa pendekatan dan istilah-istilah tersebut tidaklah bersifat permanen, akan tetapi berpotensi berubah disesuaikan dengan perkembangan isu dan kepentingan pemangku kebijakan. Sebagai contoh, pemerintah Australia merevisi GESI menjadi GEDSI sebagai bentuk afirmasi dalam mewujudkan transformasi sosial dimana penyandang disabilitas secara setara harus mendapatkan kesempatan dan penerima manfaat dari program pembangunan.
Ketiga, sebagai pendekatan, istilah-istilah tersebut sangat perlu untuk senantiasa dikontekstualisasikan ketika disampaikan ke masyarakat tingkat bawah. Dengan keragaman pengetahuan, bahasa dan istilah tersebut berpotensi sulit diterima terlebih jika hal tersebut disampaikan seolah-olah sebagai mantra agung yang harus diadopsi. Selayaknya, pendekatan GEDI, GESI, dan GEDSI dijadikan sebagai ‘spirit’ atau nafas dari program pembangunan.
Selain UNCRPD, Indonesia dapat menggali potensi nilai-nilai dan ideologi bangsa seperti Bhinneka Tunggal Eka dan Pancasila sebagai sumber inspirasi untuk menghormati warga negara yang memiliki disabilitas.
Sebagai sebuah negara yang percaya pada nilai-nilai agama dan budaya, penghormatan penyandang disabiltas dapat dibentuk oleh nilai-nilai tersebut. Pada hari disabilitas internasional, selayaknya kita sebagai bangsa menggali nilai-nilai kebudayaan Nusantara dan nilai-nilai Pancasila sebagai dasar untuk menghormati penyandang disabilitas. Jika mendesakkan konsep-konsep asing dalam masyarakat belum tentu bisa diterima, mungkin eksplorasi nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika serta budaya lokal dapat lebih mempermudah usaha penghormatan hak penyandang disabilitas. Semoga!
Slamet Thohari, Peneliti pada Australia Indonesia Disability Research and Advocacy Network (AIDRAN)