Peristiwa di MK adalah skandal politik mencoreng demokrasi. Hasrat melanggengkan kekuasaan telah menghalalkan segala cara.
Oleh
ULIL ABSHAR-ABDALLA
·3 menit baca
Bagaimana menilai Pemilu 2024? Bagaimana kualitas kehidupan politik kita secara umum? Adakah kemajuan dan adakah kemunduran? Bagaimana sikap yang proporsional untuk menilai keadaan saat ini? Pertanyaan-pertanyaan ini tidak mudah dijawab karena jika dilihat gambar keadaan secara keseluruhan, pada akhirnya kita akan melihat fenomena ”gelas yang setengah terisi”. Ini adalah metafora untuk menggambarkan keadaan ketika situasi tidak seluruhnya baik, tetapi juga tidak seluruhnya jelek.
Tergantung di sisi mana Anda berdiri, keadaan saat ini bisa dilihat dengan dua lensa penilaian sekaligus. Di satu pihak, kita melihat adanya sisi gelap, tetapi kita juga tak boleh mengaba ikan adanya sisi terang dan hal-hal positif dalam proses-proses politik menjelang Pemilu 2024.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Melihat sisi gelap dalam politik kita saat ini sangat gampang. Peristiwa yang terjadi di Mahkamah Konstitusi beberapa waktu lalu jelas sebuah skandal politik yang telah mencoreng demokrasi di negeri ini. Hasrat untuk melanggengkan kekuasaan telah menghalalkan segala cara. Kawan saya, Dr Sukidi, yang juga kontributor tetap untuk ruangan ini, menggambarkan adanya gejala Machiavellianisme yang kian mencemaskan, yaitu ditundukkannya norma politik oleh nalar kekuasaan murni.
Yang mencemaskan ialah adanya gejala presiden yang sedang berkuasa tidak percaya sepenuhnya bahwa penguasa yang datang setelahnya akan mampu melanjutkan ”momentum kebaikan” yang telah ia mulai. Seolah-olah segala hal baik harus dituntaskan oleh penguasa saat ini. Jika ini tidak terjadi, kekuasaan, dengan cara apa pun, mesti ”di-odot” (diperpanjang) walau dengan cara-cara yang melanggar norma hukum dan politik.
Ini jelas menyalahi prinsip dasar dalam sebuah demokrasi bahwa semua pihak dalam kontestasi politik memiliki kapasitas untuk melakukan kebaikan dan kejahatan sekaligus. Inilah prinsip falibilisme: prinsip tentang kekurangan yang intrinsik pada diri manusia. Berlandaskan prinsip ini, sebuah demokrasi akan berjalan sehat walafiat jika semua aktor politik percaya bahwa proses politik bersifat akumulatif: momentum kebaikan yang telah dimulai pada penguasa saat ini bisa saja mengandung kekurangan yang bisa disempurnakan oleh penguasa yang datang setelahnya.
Tampaknya kesadaran semacam ini hilang atau memudar sekarang. Penguasa saat ini sepertinya melihat bahwa momentum kebaikan akan hilang sama sekali jika penguasa lain datang dan membawa ”momentum baru” yang berbeda coraknya. Proses politik dilihat sebagai gerak diskontinuitas, bukan garis kontinuitas yang sambung-menyambung: setiap rezim yang baru dianggap membawa epoch dan rencana baru. Ketidakpercayaan dari penguasa sekarang terhadap adanya jaminan kelangsungan ”momentum kebaikan”, dikombinasikan dengan ”hasrat primordial” untuk berkuasa selama mungkin, membuat kehidupan politik kita akhir-akhir ini amat menyebalkan.
Akan tetapi, di pihak lain, kita tak boleh pula mengabaikan sisi-sisi terang. Ada banyak hal baik yang patut disoroti. Saya hanya akan menyorotkan lampu senter pada dua hal. Pertama: adanya gejala yang ingin saya sebut sebagai political ghost-busting. Kedua: pudarnya polarisasi politik karena benturan identitas sebagaimana kita lihat dalam Pemilu 2019.
Yang saya maksud political ghost-busting ialah gejala adanya pembuyaran hantu-hantu politik yang selama ini membayangi sejarah politik kita. Ada gejala ghost busting yang tampak menonjol saat ini, yaitu bersatunya kekuatan-kekuatan yang selama ini mustahil kita bayangkan akan ”menikah” secara politik. Kekuatan-kekuatan politik yang selama ini menganggap Prabowo sebagai ”lawan yang tidak bisa diajak berkawan”, misalnya, tiba-tiba merapat kepadanya. Sementara itu, partai warga Nahdliyin, Partai Kebangkitan Bangsa, tiba-tiba berkoalisi dengan ”kekuatan politik” yang selama ini tampak sebagai an unlikely ally, yaitu Partai Keadilan Sejahtera.
Ini semua, bagi saya, adalah gejala ghost busting, pembuyaran dan sekaligus pengusiran hantu-hantu politik. Terus terang, ”hantu-hantu” inilah yang selama ini menjadi salah satu sumber polarisasi politik yang mencemaskan. Di sisi lain, kita menyaksikan bahwa polarisasi berbasis identitas yang begitu kuat menandai Pemilu 2019 kini sudah mulai mengendur. Tak ada lagi perang firman Tuhan.
Dengan kata lain, kita sedang menyaksikan gejala ”pencairan politik” dan munculnya aliansi-aliansi baru yang membuyarkan stereotip lama. Terus terang, polarisasi politik yang, berkat teknologi digital saat ini, kerap merasuk dan meresap ke dalam kehidupan sosial sehari-hari tak kalah meresahkan saya dibandingkan dengan gejala kecurangan yang terjadi di Mahkamah Konstitusi kemarin. Dengan pudarnya gejala polarisasi ini, kita patut merasa sedikit lega.