Menggagas Kabinet Pro-otonomi
Praktik otonomi daerah makin surut. Otonomi Daerah harus dibenahi secara sistematis pasca-Pilpres 2024.
Ilustrasi
Momen Pilpres 2024 menaruh banyak harapan perbaikan kondisi bangsa ke depan. Di antara perbaikan yang menjadi harapan bangsa adalah kondisi praktik otonomi daerah yang kini makin surut. Cita-cita otonomi daerah dari pendiri bangsa terlihat makin jauh.
Kondisi surut otonomi daerah makin dipersulit oleh ketidaktepatan asas yang dijalankan langsung oleh instrumen birokrasi pemerintah pusat di Jakarta. Dengan demikian, harapan perbaikan tertuju kepada pembangunan kabinet yang pro-otonomi kelak pascapilpres.
Desain struktur
Pemerintahan kelak yang dikembangkan capres-cawapres terpilih harus berbasis visi (vision driven). Setiap capres-cawapres tentu sudah menyiapkan platform masing-masing. Pada saatnya kelak disusun kabinet yang menjadi alat untuk mewujudkan cita-citanya sesuai koridor UUD dan Pancasila.
Dari sini dapat diturunkan ke arah tata kelola negara bangsa yang sesuai dengan cita-cita pemenang pemilu yang kompatibel dengan UUD dan Pancasila. Salah satu nilai yang ingin diraih adalah perwujudan otonomi daerah dalam bingkai NKRI yang menjunjung tinggi Bhinneka Tunggal Ika.
Baca juga: Otonomi Daerah Dilupakan?
Kandidat presiden yang memahami nilai-nilai otonomi daerah tentu akan membuka peluang peran daerah otonom baik provinsi maupun kabupaten/kota secara proporsional dalam platform masing-masing. Kabinet yang tersusun di pusat pemerintahan kelak diisi kepemimpinan yang juga memahami pelaksanaan otonomi daerah. Kabinet di pusat pemerintahan ini kelak akan menyesuaikan dengan proporsi pelaksanaan pemerintahan daerah yang pro-otonomi daerah.
Pembenahan otonomi daerah pascapilpres tentu harus dilakukan secara sistematis. Perubahan radikal akan membuat respons yang bersifat negatif berupa kelembaman desain struktur yang dapat berakibat berbalik arah seperti sekarang sedang terjadi.
Peran otonomi daerah adalah strategis dalam nilai-nilai tata kelola bangsa yang diinginkan konstitusi dan Pancasila mengacu kepada para pendiri negara. Meski demikian, terpulang kepada kepemimpinan nasional menerjemahkannya dalam berbagai instrumen pemerintahannya. Otonomi daerah tidak dalam ruang hampa, melainkan bersama-sama dengan instrumen lainnya sebagai sebuah negara bangsa.
Peran pemerintah pusat melalui sentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan turut serta dalam menentukan jalannya otonomi daerah. Otonomi daerah dalam hal ini menjadi salah satu bagian dalam kehadiran berbagai instrumen pemerintahan sebagai sebuah sistem.
Pergeseran terarah
Kondisi kekinian tata kelola negara bangsa yang sentralistik harus diubah secara pelan tetapi pasti (directed/planned change) dengan desain struktur yang sesuai cita-cita pendiri bangsa berbasis UUD dan Pancasila dalam nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika. Pada titik awal pascapilpres, tata kelola pemerintahan NKRI ditandai oleh pola yang sentralistik. Di titik ini perlu pembenahan dengan cara menjaga konsistensi.
Tahapan tersebut adalah tahapan inisial yang cukup krusial, dengan memastikan kabinet melakukan pembenahan agar konsisten. Sentralisasi membawa perlunya keuangan negara yang heavy anggaran pusat, sehingga APBN menjadi membengkak.
Hal tersebut akibat dari konsekuensi adanya pengembangan unit pusat di daerah. Hal ini muncul berkaitan dengan pelaksanaan otonomi daerah yang memiliki peran kian surut. Oleh karena peran yang semakin surut, alokasi dalam APBD diarahkan agar lebih efisien dan efektif sesuai urusan yang diotonomikan.
Tahapan penguatan dengan mengembalikan makna otonomi daerah, dipastikan melalui proses penguatan berbagai aspek dalam pelaksanaan otonomi daerah di semua daerah di Indonesia.
Pengembangan unit pusat di daerah ini harus dibuat selaras dengan tanggung jawab yang diembannya pada kondisi sentralisasi. Jika ingin melibatkan daerah otonom, hal itu dapat dilakukan dengan tugas pembantuan.
Kondisi menjaga konsistensi ini akan memakan waktu cukup lama supaya menjadi terarah. Titik ini harus dipastikan berjalan sampai pada kondisi tidak ada kebingungan di antara pemangku kepentingan pemerintahan secara nasional (kondisi mantap).
Jika telah pada kondisi mantap, dari sini mulai dilanjutkan langkah yang secara pelan tetapi pasti berupa penguatan otonomi daerah kembali (turn-back centralization). Harus dibuat smooth, tidak dengan big-bang approach seperti pada saat Soeharto jatuh melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999.
Tahapan penguatan dengan mengembalikan makna otonomi daerah dipastikan melalui proses penguatan berbagai aspek dalam pelaksanaan otonomi daerah di semua daerah di Indonesia. Otonomi riil sepertinya lebih tepat agar dapat tercipta asimetrik dan perubahan gradual.
Baca juga: Otonomi Daerah Bermartabat
Diperlukan semacam proyek percontohan(pilot-project), kemudian dikembangkan lebih lanjut dipastikan dengan desain perubahan peraturan perundangan secara sedikit demi sedikit. Jika dengan otonomi riil kemungkinan dimulai dengan berfokus kepada peraturan perundangan terkait penyerahan urusan kembali. Dapat terjadi pola berupa titik ekstrem kiri (kekinian) adalah kabinet di pusat pemerintahan yang masih besar, kelak di titik ekstrem kanan perbaikan, susunan kabinet akan mengecil sesuai proporsi pelaksanaan pemerintahan yang pro-otonomi daerah.
Perubahan gradual ini juga membutuhkan perubahan UU terkait pemerintahan daerah. Kelak UU terkait pemerintahan daerah pada saat kondisi sentralisasi yang mantap diubah, sudah harus dirumuskan pemerintah.
Persiapan perubahan UU tersebut dipastikan akan memakan waktu lama. Untuk itu, pemenang Pilpres 2024 sudah harus menyiapkan tim evaluasi otonomi daerah jika benar-benar ingin mengembalikan kekuatan otonomi daerah yang dicita-citakan the founding fathers. Kelak tata kelola negara bangsa Indonesia harus betul-betul berbasis UUD dan Pancasila menuju cita-cita bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi Bhinneka Tunggal Ika. Semoga.
Irfan Ridwan Maksum, Guru Besar Tetap Ilmu Administrasi Publik, Chariman Pusat Studi Democracy and Local Governance Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia