Bagaimana kaitan musim, perubahan iklim, dan pemanasan global dengan perilaku manusia di Indonesia secara lebih luas? Penelitian psikoekologi dibutuhkan untuk mengungkap hal ini.
Oleh
KRISTI POERWANDARI
·3 menit baca
Musim kemarau yang amat panjang telah berlalu. Di cukup banyak daerah, hujan telah mulai turun. Ketakutan bahwa kita akan mengalami kekeringan dan kesulitan air mulai berganti dengan kelegaan. Meski demikian, sebagian orang juga mungkin mulai mengantisipasi kemungkinan banjir.
Di negara-negara dengan empat musim, penelitian pada binatang menunjukkan adanya kekhasan fisiologi dan perilaku binatang sesuai musim. Sebagai contoh, di musim gugur, salmon akan berenang sangat jauh dari laut menuju sungai tempat mereka pernah dilahirkan. Mereka akan bertelur dan kemudian mati. Sementara itu, angsa akan terbang sangat jauh mencari cuaca yang lebih hangat untuk kemudian saat musim semi mereka kembali ke tempat sebelumnya guna berkembang biak. Di musim dingin, beruang hitam menjalani hibernasi sampai musim semi datang.
Muncul pertanyaan, apakah musim berbeda menandai kecenderungan perilaku berbeda juga pada manusia? Apabila kita mengamati, tampaknya demikian. Sayang bahwa kajian psikologi yang mencoba melihat peran musim pada perilaku manusia belum banyak ditekuni.
Musim dan suasana hati
Tulisan singkat ini mengacu pada tulisan dari Van de Vliert dan Van Lange (2019) serta Hohm, Wormley, Schaller, dan Varnum (2023) yang melakukan tinjauan literatur meluas mengenai psikologi terkait musim.
Yang telah cukup banyak dibahas adalah adanya gangguan afektif musiman (‘seasonal affective disorder’/SAD), suatu kondisi psikis yang ditandai oleh munculnya depresi begitu musim dingin mulai muncul. Akan tetapi, sesungguhnya musim juga dapat berperan pada banyak aspek psikologis lain.
Terkait suasana hati, ada analisis pada 800 juta cuitan di Twitter di Inggris yang menunjukkan bahwa kesedihan akan paling tinggi dirasakan saat musim dingin. Sementara itu, kebahagiaan ternyata paling dirasakan saat musim semi.
Tampaknya ada kaitan antara suhu udara dan perilaku. Saat suhu panas memancing orang untuk lebih mudah marah dan melakukan agresi, penelitian juga menunjukkan lebih banyaknya kerusuhan berkerasan di musim panas.
Bagaimana penjelasannya? Musim berasosiasi dengan variabel-variabel lain. Ada variabel meteorologis, misalnya suhu udara, terang-gelap, dan kelembaban udara. Ada variabel ekologis, misalnya kondisi tenang atau bising di lingkungan, sehat atau penuh polusi kah udara sekitar, dan kemungkinan penularan penyakit. Ada pula variabel sosiokultural, misalnya hari kerja, hari libur, hari keagamaan, atau ritual budaya.
Dampaknya pada manusia bisa ke aspek fisiologis, misalnya sistem imun tubuh atau perubahan hormonal. Lebih lanjut, hal itu juga dapat berperan ke aspek psikologis, misalnya motivasi, penghayatan subyektif, kemampuan berpikir, serta perilaku. Apabila udara sangat panas, secara fisik kita akan cepat lelah dan berdampak lebih lanjut secara psikis menjadi lebih mudah marah. Jika kita ada di lingkungan yang udaranya sejuk dengan suasana tenang, fisik juga terasa lebih nyaman dan kita dapat bekerja dengan lebih berkonsentrasi.
Dalam konteks budaya, tradisi termasuk ritual dalam masyarakat dipengaruhi musim. Di masyarakat tertentu, bahkan pada September, toko-toko sudah memajang hiasan Natal dan menjual berbagai produk Natal. Di Indonesia, beberapa bulan sebelum Idul Fitri, persiapan untuk Lebaran juga sudah ramai terlihat.
Saat libur panjang di akhir tahun, misalnya, orang berperilaku berbeda dengan di waktu-waktu lain. Orang menjadi lebih santai, bangun lebih siang, dan secara sengaja meninggalkan pekerjaan. Jangankan saat libur panjang, bahkan perbedaan pun dapat kita amati di hari kerja dan di akhir pekan saat kita akan cenderung sedikit mengendurkan kesibukan.
Perilaku prososial, atau perilaku yang menunjukkan kebaikan kepada orang lain, seperti menolong, berbagi, menghibur, atau bekerja sama, ternyata juga dipengaruhi musim. Pada masyarakat bertradisi Kristen, perilaku menolong dan membagikan hadiah bagi orang lain akan lebih banyak dilakukan pada Desember atau menjelang Natal. Bahkan, penelitian menunjukkan orang juga akan lebih murah hati memberikan tip di waktu-waktu yang sama.
Di Indonesia, dapat diduga bahwa perilaku prososial akan lebih banyak dilakukan di saat bulan puasa atau menjelang Lebaran, atau di hari-hari keagamaan lain.
Ternyata ekologi dan budaya dalam masyarakat juga dapat berperan dalam pemilihan warna. Misalnya, musim dingin akan lebih berasosiasi dengan warna yang cenderung dalam, netral, atau gelap, sementara musim semi lebih berasosiasi dengan warna-warna cerah.
Partai-partai politik umumnya juga memiliki warna masing-masing. Maka, tidak saja di Indonesia, di negara-negara lain pun, saat menjelang pemilu atau di waktu-waktu tertentu, akan ada banjir warna tertentu. Dominasinya mungkin berbeda untuk satu daerah dengan yang lain, tergantung partai mana yang dominan di wilayah tersebut.
Bagaimana dengan aktivitas seksual? Tampaknya hal tersebut juga dipengaruhi secara lebih kompleks oleh faktor ekologi dan musim. Penelitian di Amerika Serikat, misalnya, menemukan bahwa penjualan kondom, saat pertama individu mulai aktif berhubungan seksual, dan pencarian materi pornografi lebih banyak dilakukan di akhir tahun dan di awal-awal musim panas. Adapun di Indonesia, para peneliti atau pekerja lapangan yang mengenal masyarakat petani mengamati bahwa perkawinan umumnya terjadi di saat panen ketika petani memiliki uang.
Kembali ke konteks kita saat ini, masyarakat sudah mulai merasa lega dengan turunnya hujan. Namun, bagaimana kaitan musim, perubahan iklim, dan pemanasan global dengan perilaku manusia di Indonesia secara lebih luas? Dengan banyaknya hal yang memerlukan pemahaman lebih mendalam, semoga anak-anak muda tertarik untuk menekuni penelitian psikoekologi.
Elizabeth Kristi Poerwandari, Pengajar di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia