Ketika pemimpin dinilai melanggar nilai-nilai, mereka memiliki tantangan besar untuk mempertahankan kepercayaan bawahannya.
Oleh
KRISTI POERWANDARI
·4 menit baca
Situasi di masyarakat sudah semakin panas menjelang pemilu. Dan yang saat ini ramai diperbincangkan publik adalah persoalan masuknya seorang anak muda—yang mungkin tidak dikenal jika ia bukan anak orang nomor satu di Indonesia—sebagai calon wakil presiden. Belum lagi dengan dugaan ada kongkalikong di balik putusan Mahkamah Konstitusi yang memungkinkan ia maju sebagai cawapres.
Meski tidak diukur secara kuantitatif, pengamatan kualitatif yang belum sistematis mengindikasikan bahwa popularitas (positif) Jokowi merosot. Bahkan (atau terutama) di kalangan para pendukung setianya selama ini. Bagaimana menjelaskannya?
Saya menemukan laporan penelitian yang dilakukan Sandra Cha, Sung Soo Kim, Patricia Hewlin, dan Scott DeRue (2020) yang sangat penting dan menarik. Judul artikelnya adalah ”Turning a Blind or Critical Eye to Leader Value Breaches: The Role of Value Congruence in Employee Perceptions of Leader Integrity”.
Mereka meneliti bukan mengenai persepsi terhadap pemimpin politik, melainkan terhadap pemimpin organisasi, bisa nonprofit ataupun yang mencari keuntungan. Namun, tampaknya temuannya dapat memberikan pemahaman mengenai apa yang sedang terjadi sekarang di dunia politik di Indonesia.
Ketika ia melakukan pelanggaran lebih dari satu kali, bawahan dan pengikut mulai bertanya-tanya apakah pantas tetap menganggapnya memiliki integritas.
Singkat kata, pertanyaannya adalah bagaimana respons bawahan ketika mem-persepsi pemimpinnya melanggar nilai-nilai yang perlu dijunjung tinggi, atau dengan kata lain, ketika pemimpin dinilai tidak menunjukkan integritas?
Glorifikasi
Cha dkk (2020) mengatakan, bawahan atau pekerja yang memiliki nilai-nilai pribadi yang beririsan kuat (kongruen) dengan nilai-nilai organisasi akan cenderung mengagungkan (glorifikasi) pemimpinnya. Bahkan mungkin melihatnya secara ”sakral” karena pemimpinnya tersebut menjadi pemimpin dalam memastikan bahwa nilai-nilai penting yang dijunjung organisasi dapat direalisasikan.
Mengapa? Karena bawahan atau pekerja merasa terkoneksi secara pribadi, bahkan spiritual, dengan nilai-nilai organisasi dan pemimpinnya. Mereka melihat nilai-nilai organisasi merupakan nilai yang lebih tinggi, yang amat penting dan bersifat transenden bagi semua (misal: bangsa). Hal tersebut juga menjadi sumber penting motivasinya untuk bekerja dalam organisasi.
Di awal, pekerja yang nilai-nilainya kongruen dengan nilai-nilai organisasi dan pemimpinnya membawa pelibatan emosi. Mereka sangat yakin mengenai nilai penting dan integritas dari organisasi dan pemimpinnya sehingga cenderung akan resistan terhadap informasi yang menyatakan bahwa pemimpin tidak menunjukkan integritas dalam menjunjung nilai-nilai tersebut.
Sebaliknya, bisa saja pekerja yang menjunjung nilai-nilai organisasi secara kuat akan justru berespons secara lebih negatif kepada pemimpin yang melakukan pelanggaran daripada pekerja yang tidak punya ikatan kuat dengan nilai-nilai organisasi. Ini karena mereka menuntut pemimpin harus menjadi simbol nyata dari nilai-nilai organisasi ataupun nilai pribadi yang mereka junjung tinggi. Pelanggaran atau sikap yang tidak menunjukkan integritas dari pemimpin akan dianggap sebagai ancaman terhadap nilai-nilai organisasi dan pribadi.
Integritas pemimpin
Cha dkk (2020) melakukan tiga rangkaian penelitian. Yang pertama adalah survei dengan 644 pekerja mengisi survei secara lengkap. Temuannya menunjukkan kecenderungan bahwa pekerja akan tetap yakin pada integritas pemimpin meskipun ada informasi bahwa pemimpin melakukan pelanggaran.
Tidak puas dengan studi pertama, Cha dkk kemudian melanjutkan dengan dua penelitian eksperimental dengan jumlah partisipan yang juga cukup besar. Mereka menduga adanya pengulangan tindakan pelanggaran akan mengubah persepsi dari pekerja. Persepsi yang awalnya positif dapat berubah menjadi negatif. Artinya, persepsi yang sebelumnya ”tutup mata” atau ”buta” dapat menjadi persepsi yang kritis.
Partisipan eksperimen mendapat instruksi untuk membayangkan diri baru diterima bekerja di sebuah perusahaan yang menjunjung nilai people dan respect for others. Kemudian dicek sejauh mana nilai perusahaan tersebut kongruen dengan nilai pribadi partisipan. Partisipan juga dipaparkan pada vignette mengenai pelanggaran yang dilakukan pemimpin, yang dibedakan pelanggaran satu, dua, dan tiga.
Sebelum adanya informasi mengenai pelanggaran, pekerja menempatkan pemimpin di tempat yang tinggi, ada ”sakralisasi”. Setelah pelanggaran satu, pekerja yang nilai-nilai pribadinya kongruen dengan nilai-nilai perusahaan masih menilai atasan sebagai menunjukkan integritas.
Namun, dengan adanya pelanggaran-pelanggaran berikutnya, nilai yang mereka berikan mengenai integritas pemimpin menjadi semakin rendah. Bahkan, setelah pelanggaran ketiga, bawahan yang nilai-nilai pribadinya kongruen dengan nilai organisasi menempatkan integritas pemimpinnya lebih rendah daripada evaluasi yang diberikan oleh para pekerja lain (yang nilai pribadinya berbeda dengan nilai perusahaan).
Pembelajarannya, semua pemimpin perlu menjaga integritasnya. Dan ketika ia dipersepsi telah melanggar nilai-nilai, ia punya tantangan cukup besar untuk dapat tetap mempertahankan kepercayaan para pekerjanya. Ketika ia melakukan pelanggaran lebih dari satu kali, bawahan dan pengikut mulai bertanya-tanya apakah pantas tetap menganggapnya memiliki integritas.
Pekerja yang memiliki nilai-nilai yang sama dengan nilai organisasi dan nilai-nilai yang digembar-gemborkan pemimpin di awal mungkin akan loyal dan cenderung ”kurang kritis”. Namun, ketika pemimpinnya melakukan pelanggaran berulang, atau pelanggaran yang dianggap amat serius, pekerja mungkin justru berbalik tidak lagi memberi dukungan karena pemimpin dianggap mengancam nilai-nilai penting yang harus dijunjung bersama.
Melampaui yang kita bahas di atas, sesungguhnya kita berharap pemimpin tidak melanggar nilai-nilai penting yang diyakini bersama. Bukan karena takut akan ditinggalkan oleh pengikut atau khawatir kehilangan kekuasaan, melainkan karena ia adalah pribadi yang berintegritas, dan paham bahwa sebagai pemimpin, ia perlu berdiri paling depan untuk menjaga nilai-nilai itu.