Anak muda dari lingkungan yang berkekurangan air ternyata mengirim resume untuk mencari pekerjaan yang lebih bersifat jangka panjang.
Oleh
KRISTI POERWANDARI
·4 menit baca
Sudah berbulan-bulan ini di banyak wilayah kita merasakan udara panas yang amat menyengat. Hujan sama sekali tidak turun sehingga sumur mulai mengering dan cukup banyak warga masyarakat mulai sulit memperoleh air. Bahkan, ada petani yang harus membeli air. Situasi yang sungguh tak terbayangkan dan sangat menyedihkan.
Kondisi yang kita alami sekarang mengingatkan saya pada masa kanak dan remaja kami (kakak beradik) di Cengkareng, yang sangat langka air. Air yang ada terasa lengket sehingga untuk mandi pun kami harus membeli air, apalagi untuk memasak. Hal itu amat memengaruhi perilaku saya hingga sekarang.
Saya amat hati-hati dan hemat menggunakan air. Di rumah saya menampung air hujan dari talang untuk dapat digunakan menyiram tanaman dan bersih-bersih rumah. Air adalah hajat hidup orang banyak. Karena itu, saya sangat prihatin dan merasa marah apabila mendapati di tempat umum ada keran yang bocor atau tidak ditutup sehingga begitu banyak air bersih terbuang begitu saja. Saya sangat sulit memaklumi mengapa orang dapat bersikap demikian tidak peduli, sementara di tempat lain, ada penduduk yang mungkin miskin dan harus membeli air.
Langka air
Psikologi mungkin terkesan tidak peduli pada persoalan ini sehingga saya merasa sangat senang menemukan laporan penelitian dari Harati dan Talhelm (2023)—yang menunjukkan kepedulian terhadap persoalan kelangkaan air dan bagaimana hal itu berpengaruh pada psikologi manusia.
Mengalami langka air tidak berarti sama dengan miskin.
Tulisan mereka, Cultures in Water-Scarce Environments Are More Long-Term Oriented adalah sebuah tulisan akademik yang amat detail, berkualitas, dan jarang kita temui di lingkungan psikologi. Saya hanya akan membahas sebagian saja dengan cara yang sederhana agar dapat dipahami pembaca.
Harati dan Talhelm (2023) dari Universitas Chicago dan Queensland melakukan rangkaian penelitian mereka, sebagiannya melalui eksperimen. Mereka membandingkan penduduk di dua kota di Iran dengan karakteristik lingkungan dan demografi yang mirip. Perbedaannya adalah bahwa di satu kota air melimpah, sementara di kota yang lainnya ada kelangkaan air.
Salah satu eksperimen adalah peneliti memasang pengumuman mengenai lowongan-lowongan kerja, ada yang bersifat jangka panjang, ada pula yang jangka pendek dan fleksibel. Temuannya adalah anak muda dari lingkungan yang berkekurangan air ternyata mengirim resume untuk mencari pekerjaan yang lebih bersifat jangka panjang. Sementara itu, anak muda dari kota yang berkelimpahan air lebih banyak yang mengirim minat untuk melamar pekerjaan jangka pendek, yang lebih fleksibel.
Ada pula studi eksperimen yang mengarahkan mahasiswa untuk berpikir bahwa ada kelangkaan air di lingkungan. Kelompok mahasiswa ini kemudian menunjukkan perilaku berorientasi jangka panjang dan mengurangi perilaku bersenang-senang.
Simpulan utama rangkaian penelitiannya adalah orang dari lingkungan yang langka air akan cenderung lebih memfokus pada jangka panjang.
Harati dan Talhelm juga menggunakan data survei di 82 negara, dan menemukan temuan yang sama, yakni bahwa yang berkekurangan air cenderung lebih mementingkan nilai-nilai jangka panjang.
Sumber hidup
Bagaimana menjelaskan hal di atas? Air adalah sumber daya amat dasar bagi manusia. Kita perlu air untuk minum, memasak, bercocok tanam, ataupun memelihara binatang. Dalam lingkungan yang langka air, orang akan mengurangi perilaku membuang-buang air, dan akan memfokus pada kehati-hatian karena berpikir jangka panjang.
Sementara itu, dari generasi ke generasi, penduduk yang tinggal di tempat yang berkelimpahan air tidak perlu merasa khawatir mengenai ketersediaan air. Air selalu ada dan berkelimpahan sehingga mereka juga boros menggunakan air.
Orientasi jangka panjang atau sikap menjaga (berhemat, tidak foya-foya) ini ternyata memantap tidak hanya tentang air, tetapi juga mengenai hal-hal lain, seperti pekerjaan, yang dianggap juga menjadi sumber vital kehidupan.
Temuan lain adalah bahwa masyarakat yang memfokus pada pertanian akan cenderung berorientasi jangka panjang. Tampaknya karena mereka harus bekerja keras dalam jangka waktu lama terlebih dulu sebelum dapat memanen atau memperoleh hasilnya.
Kedua peneliti mengingatkan bahwa mengalami langka air tidak berarti sama dengan miskin. Orang bisa miskin, tetapi tidak mengalami kelangkaan air. Demikian juga, orang mengalami kelangkaan air tidak harus berarti ia miskin. Dengan demikian, dampak perilaku juga dapat berbeda. Yang mengalami langka air berupaya berhemat, sementara beberapa penelitian mengindikasikan bahwa masyarakat miskin umumnya berpikir jangka pendek karena harus memfokus pada kebutuhan sesaat dulu.
Menarik bagaimana kedua peneliti menjelaskan bahwa air dan kesejahteraan memberikan efek berbeda. Air adalah sumber daya sangat dasar, bukan sekadar elemen dari kesejahteraan. Orang bisa bertahan hidup tanpa uang, tetapi tidak tanpa air. Maka, terlihat adanya hubungan yang berkebalikan. Negara-negara yang sejahtera penduduknya cenderung berpikir jangka panjang, sementara negara yang berkelimpahan air penduduknya cenderung kurang berpikir panjang.
Menjadi permenungan lebih lanjut: apa yang terjadi pada kepara petani di Indonesia, yang umumnya dalam kondisi ekonomi sangat terbatas, di musim kemarau panjang ini?
Terlepas dari kita sendiri mengalami kelangkaan atau surplus air, air adalah hajat hidup orang banyak. Menyadari peran amat penting dari air, semoga kita dapat lebih berempati pada yang mengalami kesulitan untuk memperolehnya. Beberapa yang bisa kita lakukan di antaranya dengan bertanggung jawab atas ketersediaan air dengan cara membuat resapan air di tempat tinggal masing-masing, dan menggunakan air seperlunya secara bijaksana.
Elizabeth Kristi Poerwandari, Pengajar di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia