Berani Membela Demokrasi
Kemenangan kecil demokrasi melalui keputusan MKMK tak berarti hilangkan ancaman pembajakan politik terhadap demokrasi.
Demokrasi di Indonesia tidak sedang baik-baik saja, tetapi sepertinya publik mulai tersadar dari hantaman telak yang dihadapi oleh kedaulatan rakyat. Suara-suara kritis dari masyarakat sipil untuk melawan pemasungan terhadap demokrasi saat ini memberikan hasil yang baik.
Hal ini terlihat dari keputusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) yang membenarkan kegusaran opini publik dengan menegaskan adanya pelanggaran etis berat yang dilakukan oleh Ketua MK Anwar Usman, dalam memutus perkara yang membuka jalan bagi keponakannya, Gibran Rakabuming Raka, menjadi calon wakil presiden (cawapres) di Pilpres 2024.
Banyak kalangan yang menilai keputusan MKMK ini belum sesuai harapan tentang penegakan supremasi hukum.
Namun, titik terang bagi perjuangan demokrasi dalam keputusan MKMK pada 7 November 2023, terlihat setidaknya dari beberapa hal berikut.
Pertama, pada penegasan bahwa telah terjadi pelanggaran etik berat oleh Ketua MK Anwar Usman ketika terlibat dalam sidang terkait perkara gugatan nomor 90/PUU/XXI/ 2023 bahwa pejabat yang terpilih melalui pemilu dapat mendaftarkan diri sebagai capres dan cawapes walaupun tak memenuhi kriteria usia minimum 40 tahun.
Kedua, Anwar Usman tak diperkenankan terlibat atau melibatkan diri dalam pemeriksaan dan pengambilan keputusan dalam perkara perselisihan hasil pemilu, pemilihan presiden dan wakil presiden, pemilihan anggota DPR, DPD, dan DPRD, serta pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota, yang memiliki potensi timbulnya benturan kepentingan.
Kedua hal yang menjadi bagian dari keputusan yang dibacakan Ketua MKMK Jimly Asshidiqque itu memperlihatkan bahwa konstitusi belum tumbang dan masih menjadi pijakan dalam menegaskan kebenaran etika republik serta memiliki daya untuk membentengi demokrasi dari pembajakan terhadap kekuasaan.
Demokrasi kita masih memiliki harapan, tetapi bukan berarti keadaan ini membuat kita bersikap terlalu percaya diri untuk menyatakan demokrasi kita sudah membaik dari pukulan terhadapnya.
Demokrasi kita masih memiliki harapan, tetapi bukan berarti keadaan ini membuat kita bersikap terlalu percaya diri untuk menyatakan demokrasi kita sudah membaik dari pukulan terhadapnya. Kemenangan kecil demokrasi yang didapatkan melalui keputusan MKMK itu tidak berarti menghilangkan ancaman pembajakan politik terhadap demokrasi.
Ketika keadaan demokrasi terhubung dengan konstelasi kekuasaan, berbagai manuver untuk menghantam demokrasi sangat ditentukan oleh berbagai kemungkinan yang luas dari rangkaian intervensi kekuasaan bekerja untuk membajaknya.
Upaya mempertahankan demokrasi selanjutnya sangat ditentukan oleh hadirnya suara masyarakat sipil yang terbangun dari tidur lelapnya untuk bersuara lebih keras dalam membela kedaulatan rakyat.
Belajar dari Athena
Suatu kesadaran politik yang penting untuk hadir dalam benak elemen-elemen masyarakat sipil adalah bahwa politik bukan sekadar panggung sandiwara, di mana rakyat hanya jadi penonton dan tak terlibat di dalamnya. Rakyat adalah bagian yang tak terpisahkan sebagai subyek politik dalam negara republik dengan sistem demokrasi.
Kurang lebih 2,5 milenium lalu, sejarawan Athena, Thucydides—dalam karyanya pada abad kelima sebelum Masehi, yang berjudul The Peloponnesian War—mencatat orasi politisi cendekia Perikles tentang makna hidup dalam tatanan demokrasi. Bagi Perikles, konstitusi Athena disebut demokrasi karena kekuasaan tidak di tangan segelintir kelompok, tapi terhubung kepada seluruh warga.
Tiap-tiap warga polis Athena terhubung setiap urusannya dengan polis yang berpijak pada demokrasi. Barang siapa menyatakan bahwa urusan politik tidak memiliki hubungan dengan urusan diri dan keluarganya sama sekali, maka dirinya sama sekali tidak memiliki urusan di polis Athena.
-
Oleh karena itu, dalam demokrasi, kehadiran warga dalam urusan-urusan publik tak hanya akan menentukan wajah politik. Tangan-tangan warga dalam demokrasi itu juga akan menentukan bagaimana urusan dan kepentingan dari tiap-tiap warganya terselenggarakan.
Cuplikan orasi dari Perikles di atas sepertinya adalah suatu uraian penjelas bahwa dalam bangunan politik yang terselenggara melalui tatanan demokrasi, kelanggengannya dalam memastikan daulat warga sangat bergantung pada suara warga negara untuk menjaga kesinambungannya.
Suara-suara kritis yang berpijak pada nalar publik dalam panggung demokrasi merupakan cerminan dari upaya mempertahankan urusan bagi kebaikan bersama sekaligus menjaga agar tirani tak bertakhta.
Regresi demokrasi
Pandangan umum publik terhadap pukulan atas demokrasi yang tengah berlangsung, selain memperlihatkan kemarahan dan kekecewaan, juga menampilkan keterkejutan.
Sebagian besar kalangan pembela demokrasi tak pernah membayangkan langkah kekuasaan, yang menggunakan instrumen hukum bagi kandidasi Gibran untuk maju di Pilpres 2024, benar-benar dijalankan.
Mencermati keadaan politik Indonesia lima tahun terakhir, sepertinya pelemahan kekuasaan terhadap demokrasi yang berjalan tak tiba-tiba terjadi, tetapi merupakan pendalaman dari suasana regresi demokrasi yang sudah berlangsung bertahun-tahun.
Bertolak belakang dengan pembangunan ekonomi yang oleh banyak kalangan dianggap berjalan baik, pada saat yang sama kita menyaksikan kemunduran pembangunan politik yang pelan-pelan melongsorkan demokrasi. Seperti tertuang dalam buku Democracy in Indonesia: From Stagnation to Regression?, di mana Thomas Power dan Eve Warburton menjadi editornya (2020).
Seiring dengan pelemahan atas demokrasi, kosakata demokrasi perlahan juga mulai hilang dalam perbincangan politik elite maupun ruang publik kita.
Bahwa tergerusnya harapan akan demokrasi dan pemerintahan yang bersih, terbukti dengan pelemahan yang berlangsung, terkait perlindungan negara atas kebebasan sipil, pelemahan komitmen atas pemberantasan korupsi, hingga maraknya politik uang.
Hal ini diperkuat oleh, misalnya, wacana yang pernah muncul beberapa waktu lalu tentang tiga periode jabatan presiden yang mendapat dukungan dari banyak kalangan elite politik dan hanya ditolak oleh segelintir elite politik. Seiring dengan pelemahan atas demokrasi, kosakata demokrasi perlahan juga mulai hilang dalam perbincangan politik elite maupun ruang publik kita.
Berbagai kritik dan koreksi terhadap perjalanan demokrasi pelan-pelan dianggap subversif dan tidak dapat tempat dalam arus utama panggung politik. Sementara, pelan-pelan berbagai elemen warga takut menyuarakan gugatan atas penolakan demokrasi, mengingat melemahnya komitmen kekuasaan terhadap kebebasan sipil.
Padahal kita menyadari bahwa demokrasi hanya dapat tegak dan terawat oleh hadirnya kekuatan masyarakat sipil yang aktif menyuarakan pentingnya pembatasan kekuasaan, jaminan hak-hak warga dan pemerintahan yang bersih.
Di tengah awan gelap yang mengiringi tahun elektoral 2024, kita masih memiliki asa untuk menyelamatkan demokrasi, ketika kita berani membelanya. Hal itu hanya dapat dimulai ketika warga dengan suara lantang bersama-sama menegaskan: Republik Indonesia adalah negara demokrasi!
Baca juga : Kuasa Memanggul Lupa
Airlangga Pribadi KusmanPengajar Departemen Politik FISIP Universitas Airlangga
Airlangga Pribadi Kusman