Harapan untuk Ketua KPK
KPK berada di titik nadir karena kepercayaan kepada KPK menurun drastis. Solusinya, Ketua KPK sebaiknya mengundurkan diri.
”Power does not corrupt. Fear corrupts. Perhaps, fear of a lose of power.” (John Steinbeck)
Ungkapan penulis pemenang Nobel tersebut akan sangat relevan dengan permasalahan yang dialami Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK. Solusi utama dari semua ini adalah mundurnya Firli Bahuri dari jabatannya. Namun, hal tersebut seperti bukan hal yang mudah.
Sebelum diperiksa Polda Metro Jaya terkait dugaan pemerasan yang dilakukan Firli, Dewan Pengawas (Dewas) KPK telah menjatuhkan vonis pelanggaran etik atas penggunaan helikopter. Keputusan Dewas itu pada September 2020, belum ada setahun setelah Firli dilantik pada 20 Desember 2019.
Padahal, dalam proses seleksi oleh panitia seleksi, Wadah Pegawai telah mengirimkan dugaan pertemuan Firli dengan pihak yang diduga melakukan tindak pidana korupsi. Sempat terjadi juga ketika ditemukan dokumen penyelidikan KPK di Kementerian ESDM dan dugaannya saat itu adalah dari pimpinan yang sama.
Baca juga : Ironi ”Digugu lan Ditiru” dari KPK
KPK semakin komplikasi dengan berbagai penyakitnya. Artikel ini akan membahas bagaimana kondisi KPK saat ini dan bagaimana seharusnya perbaikan terhadap KPK dilakukan.
Hal yang paling penting untuk dibahas adalah pemberhentian Firli dari KPK. Berdasarkan Pasal 32 Ayat (2) UU KPK, pimpinan KPK diberhentikan sementara apabila berstatus tersangka. Namun, pada Pasal 32 Ayat (1) huruf c dan g UU KPK, pimpinan KPK juga diberhentikan jika ”melakukan perbuatan tercela” dan ”dikenai sanksi berdasarkan undang-undang ini”.
Peringatan tertulis Dewas KPK yang mengatakan bahwa Firli bersalah secara etik karena menggunakan helikopter menunjukkan adanya sanksi. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah pelanggaran etik adalah perbuatan tercela.
Selanjutnya, Dewas adalah lembaga yang dibentuk dalam UU Nomor 19 Tahun 2019 yang mengubah UU KPK. Maka, kewenangan Dewas menjatuhkan sanksi diberikan langsung oleh UU KPK. Apakah penjatuhan sanksi tersebut dapat dikatakan telah melalui UU KPK?
Dengan berbagai pertimbangan tersebut, seharusnya pimpinan KPK yang terkena permasalahan tersebut mundur. Mengapa Dewas KPK tidak menafsirkan hal tersebut juga menjadi pertanyaan. Menjadi pertanyaan jenaka, apakah perbuatan Lili Pintauli yang mundur dari KPK, padahal sedang diperiksa Dewas, merupakan hal yang perlu dicontoh.
Pasal 32 Ayat (2) UU KPK mengatur pemberhentian sementara pimpinan KPK yang berstatus menjadi tersangka. Hal ini menunjukkan bagaimana kepercayaan publik sangat diharapkan terhadap KPK. Mengapa demikian, karena dalam berbagai jabatan publik lain, bahkan jabatan publik terpilih seperti anggota DPR dan kepala daerah, mereka diberhentikan sementara ketika berstatus terdakwa.
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 25/PUU-XIII/2015 pernah membahas Pasal 32 Ayat (2) UU KPK tersebut. Saat itu Bambang Widjojanto, mantan Wakil Ketua KPK, menggugat pasal tersebut, tetapi MK menolak permohonan pengujian tersebut.
Oleh karena itu, untuk mendukung pemberantasan korupsi, seharusnya Firli berjiwa kesatria dengan mengundurkan diri.
Salah satu pertimbangan MK dalam putusan tersebut adalah bahwa KPK dibangun sebagai lembaga penegak hukum tepercaya sehingga berdasarkan prinsip reparatoir-condemnatoir, yakni menghukum sekaligus memperbaiki. Penting untuk memberhentikan secara sementara pimpinan KPK yang berstatus sebagai tersangka. Dalam pemberhentian sementara terkandung sifat penghukuman, tetapi juga terkandung bentuk perbaikan, yakni salah satunya untuk memulihkan hak-haknya sebagai tersangka dan bilamana tidak terbukti dan status tersangkanya dicabut, maka pemberhentian sementaranya bisa dicabut.
Sebagaimana adagium, apalah hukum tanpa moralitas. Hal terpenting adalah bukan bagaimana aturannya, tetapi bagaimana seharusnya moral seorang pemimpin. Oleh karena itu, untuk mendukung pemberantasan korupsi, seharusnya Firli berjiwa kesatria dengan mengundurkan diri.
Titik nadir
Permasalahan Dewas KPK juga tidak hanya sekali. Selain putusan Dewas tentang helikopter sebagai putusan Dewas pertama, setidaknya Firli Bahuri, Lili Pintauli, dan Johanis Tanak sempat diperiksa Dewas pada kasus lain. Namun, keputusan Dewas pada kasus-kasus tersebut tidak menunjukkan adanya pelanggaran etik.
Seperti dalam kasus Lili Pintauli yang tidak klimaks karena Lili mundur dari jabatannya sebelum diperiksa Dewas. Padahal, terdapat dugaan penerimaan fasilitas untuk datang menonton GP Mandalika. Menurut penjelasan Pasal 12B UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tiket perjalanan dan fasilitas penginapan masuk ke dalam definisi gratifikasi. Karena itu, ini bukan sekadar dugaan etik, tetapi juga ada dugaan pidana.
Selain itu, Firli dan Johanis Tanak sebagai pimpinan KPK diduga ada komunikasi dengan pihak Kementerian ESDM yang sedang tersangkut kasus korupsi. Namun, Dewas memutus tidak terbukti karena tidak ditemukan komunikasi tersebut, sekalipun terdapat dokumen KPK saat penggeledahan di Kementerian ESDM. Hal ini memang menunjukan Dewas hanya komite etik yang tidak bisa melakukan upaya paksa yang cukup.
Dengan demikian, mundurnya Firli dari posisi saat ini akan menjadi hal penting untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat.
Padahal, berdasarkan Pasal 65 juncto Pasal 36 UU KPK, mengadakan hubungan langsung ataupun tidak langsung dengan pihak terkait kasus korupsi yang ditangani adalah tindak pidana. Pasal tersebut mengatur bahwa sekalipun pihak yang diperiksa masih pada tahap penyelidikan dan terdapat komunikasi dengan pimpinan, maka perbuatan tersebut dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana dalam UU KPK. Perbuatan Firli dan Johanis Tanak yang seharusnya diadili Dewas secara adil tidak menyelesaikan masalah etika, apalagi pidana terhadap pimpinan KPK.
Saat ini, KPK sedang berada di titik nadir karena kepercayaan kepada KPK menurun drastis. Padahal, KPK lahir karena adanya public distrust terhadap lembaga penegak hukum yang sudah ada sebelumnya. Pada konsideran huruf b UU KPK dinyatakan, UU KPK dibentuk karena ”lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi”. Dengan dasar tersebut, KPK kemudian lahir sebagai koordinator pemberantasan korupsi.
Pada awal terbentuknya, kepercayaan publik sangat tinggi. Terbukti, ketika Bibit S Rianto dan Chandra Hamzah ditetapkan sebagai tersangka, sebelumnya masyarakat membela dan terjadi peristiwa Cicak vs Buaya pertama. Hal tersebut tidak terjadi sekali, mungkin tercatat sudah ada beberapa jilid dan masyarakat mendukung KPK. Namun, terhadap pimpinan kali ini, masyarakat menuntut penegakan hukum kepada pimpinan KPK. Ditakutkan, KPK gagal menjadi lembaga pembaru yang dipercaya masyarakat. Dengan demikian, mundurnya Firli dari posisi saat ini akan menjadi hal penting untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat.
Baca juga : Prahara Bulan Juni
Semua kejadian terhadap KPK ini juga akan menimbulkan keraguan pada penegakan hukum yang dilakukan KPK. Seperti kasus SYL yang ditangani KPK dan SYL melapor sebagai korban pemerasan. Menjadi pertanyaan lebih lanjut, apakah KPK menjadi timbul konflik kepentingan dalam menangani kasus SYL. Apakah ada kasus lain yang menyerupai SYL.
Pertanyaan-pertanyaan itu akan selalu muncul dan menjadi penghambat pemberantasan korupsi di tubuh KPK. Perpanjangan masa pimpinan KPK sudah telanjur diputus MK. Solusi yang dimiliki saat ini adalah memilih aktor pimpinan KPK di 2024 yang memiliki integritas tanpa catatan negatif sebelumnya. Fuller dalam Jurisprudence: An Outline pernah mengatakan, ”A rule becomes law only if it has fulfilled some moral criterion and not merely because it complies with formal requirement.”
Muhammad Fatahillah Akbar, Dosen pada Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta