Beras, Fakta atau Angka?
Penurunan produksi beras memang tak sebesar yang dikhawatirkan. Namun faktanya, banyak penggilingan padi sulit dapat gabah, harga beras naik, dan impor ditambah.
Tahun ini, La Nina dan El Nino bergantian melanda Indonesia. Dua fenomena iklim ini berpengaruh terhadap penurunan produksi beras. Secara angka, penurunan produksi beras memang tak sebesar yang dikhawatirkan.
Namun faktanya, banyak penggilingan padi kesulitan mendapatkan gabah, harga beras naik cukup tinggi, dan impor beras ditambah. Dana yang digulirkan pemerintah juga semakin membengkak, terutama untuk meredam kenaikan harga beras dan menjaga daya beli masyarakat miskin.
Pada awal tahun ini, Badan Pangan Nasional (Bapanas) memperkirakan stok beras nasional pada akhir 2023 sebanyak 7,71 juta ton. Dengan rata-rata kebutuhan beras sebanyak 2,57 juta ton per bulan, stok itu diperkirakan cukup untuk 90 hari ke depan atau tiga bulan pertama pada 2024.
Angka itu berasal dari proyeksi ketersediaan beras sebanyak 38,55 juta ton dikurangi konsumsi beras yang sebesar 30,84 juta ton pada tahun ini. Ketersediaan beras itu dihitung berdasarkan sisa stok akhir 2022 yang dijadikan stok awal 2022 sebanyak 4,06 juta ton, perkiraan produksi tahun ini sebesar 31,59 juta ton, dan impor 2,9 juta ton.
Namun, akibat La Nina dan El Nino, produksi beras nasional pada tahun ini diperkirakan berkurang 645.090 ton menjadi 30,9 juta ton. Impor beras yang dilakukan Bulog juga baru mencapai 2 juta ton. Hal itu menyebabkan stok beras nasional pada akhir tahun ini diperkirakan tinggal 6,12 juta ton atau cukup untuk kebutuhan selama sekitar 2 bulan 4 hari.
Hal itu menyebabkan stok beras nasional pada akhir tahun ini diperkirakan tinggal 6,12 juta ton atau cukup untuk kebutuhan selama sekitar 2 bulan 4 hari.
Meskipun secara hitungan angka masih mencukupi, faktanya, pemerintah kembali menambah impor beras sebanyak 1,5 juta ton. Hal itu membuat total kuota impor beras pada tahun ini menjadi 3,5 juta ton. Impor beras sebanyak itu merupakan yang tertinggi sejak pemerintah mengimpor beras 7,1 juta ton akibat El Nino pada 1997-1998 dan 5,04 juta ton akibat La Nina pada 1999.
Angka impor itu juga melampaui impor beras pada saat El Nino 2018 yang sebanyak 2,25 juta ton. Hal ini ironis mengingat pada 2022 Indonesia menerima penghargaan Institut Penelitian Padi Internasional (IRRI) atas swasembada beras pada periode 2019-2021.
Memang, kenaikan harga beras pada tahun ini tidak hanya akibat dampak La Nina dan El Nino. Kenaikan harga beras itu juga dipengaruhi kenaikan biaya produksi, termasuk di dalamnya akibat kenaikan harga bahan bakar minyak, bibit, pupuk, sewa tanah, dan upah buruh tani.
Faktor lain yang menjadi penentu kenaikan harga beras adalah korporasi beras bermodal besar yang membeli harga gabah kering panen (GKP) di tingkat petani dengan harga lebih tinggi. Hal itu menyebabkan para penggilingan padi kecil bahkan menengah kesulitan menyerap GKP di tingkat petani.
Baca juga: Pemerintah Bersiap Hadapi Kemungkinan Terburuk Darurat Beras
Kondisi itu membuat Bapanas menaikkan harga pembelian pemerintah (HPP) GKP petani menjadi Rp 5.000 per kg pada 15 Maret 2023. Bapanas juga menetapkan harga eceran tinggi beras medium berdasarkan zonasi, yakni Rp 10.900-Rp 11.800 per kg.
Berdasarkan Panel Harga Pangan Bapanas, per 1-30 Oktober 2023, harga rata-rata nasional GKP di tingkat petani dan beras medium masing-masing Rp 6.750 per kg dan Rp 13.210 per kg. Dalam setahun, harga GKP di tingkat petani telah naik 20,68 persen dan beras medium 16,19 persen.
Impor beras sebanyak itu merupakan yang tertinggi sejak pemerintah mengimpor beras 7,1 juta ton akibat El Nino pada 1997-1998 dan 5,04 juta ton akibat La Nina pada 1999.
Bumerang bagi pemerintah
Untuk meredam kenaikan harga beras sekaligus menjaga daya beli masyarakat, pemerintah mengeluarkan dana yang cukup besar. Dana itu, antara lain, mencakup dana bantuan beras, bantuan langsung tunai (BLT), dan subsidi bunga kepada bank-bank milik negara yang menyalurkan pinjaman kepada penyelenggara cadangan pangan pemerintah, antara lain Bulog dan ID Food.
Untuk bantuan beras, misalnya, pemerintah melalui Bulog akan memberikan 10 kg beras bagi setiap keluarga berpenghasilan rendah atau keluarga penerima manfaat (KPM). Sekadar catatan, jumlah penerima bantuan beras telah diubah dari 21,353 juta KPM menjadi 20,662 juta KPM berdasarkan hasil verifikasi dan penajaman akurasi data penerima yang dilakukan Kementerian Sosial per 28 Oktober 2023.
Pada tahun ini, pemerintah telah dua kali memperpanjang bantuan beras tersebut. Semula, bantuan beras hanya diberikan pada April-Juni 2023. Kemudian, bantuan itu dilanjutkan pada September-November 2023. Lantaran dirasa masih kurang untuk menjaga daya beli keluarga tidak mampu, pemerintah akhirnya memperpanjang bantuan beras itu hingga Desember 2023.
Bahkan, pemerintah akan melanjutkan bantuan beras tersebut pada Januari-Maret 2024. Hal itu tentu saja dengan catatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara mencukupi. Untuk perpanjangan bantuan beras pada tahun ini saja, pemerintah harus menambah anggaran dari Rp 15,9 triliun menjadi Rp 18,57 triliun.
Pemerintah bahkan memberikan bantuan langsung tunai (BLT) bagi 18,8 juta keluarga berpenghasilan rendah. BLT senilai total Rp 7,52 triliun itu akan disalurkan pada November hingga Desember 2023. Dalam dua bulan itu, setiap keluarga akan mendapatkan BLT senilai total Rp 400.000.
Baca juga: Beras dan Isi Dompet Lima Tahun Terakhir
Tak hanya itu, pemerintah juga akan memberikan subsidi bunga kepada bank milik negara yang memberikan pinjaman kepada Bulog yang telah ditugaskan pemerintah mengimpor beras. Besaran subsidi bunga pinjaman itu menyesuaikan dengan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI-7DRR). Jika saat ini BI-7DRRR sebesar 6 persen, bunga yang disubsidi pemerintah sebesar angka itu.
Tak cukup rasanya target produksi beras hanya berupa data atau angka. Target produksi itu juga harus disertai bukti realisasinya atau fakta.
Akar masalah yang menyebabkan pemerintah mengimpor beras dan bahkan mengeluarkan dana-dana lain untuk menstabilkan harga beras dan menjaga daya beli masyarakat adalah produksi beras. Jika secara fakta, bukan hanya angka, produksi beras mencukupi bahkan mencapai swasembada, beban yang ditanggung pemerintah tidak akan sebesar itu. Yang terjadi pada tahun ini, target produksi beras baik secara angka maupun fakta atau realisasinya justru menjadi bumerang bagi pemerintah.
Pada 2024, pemerintah melalui Kementerian Pertanian menargetkan produksi beras naik menjadi 35 juta ton dari target tahun ini yang sebanyak 31 juta ton. Target ini cukup menantang mengingat tahun depan merupakan tahun politik, tahun penyerahan tongkat estafet kepemimpinan lama ke kepemimpinan baru.
Jangan sampai pemimpin lama mengabaikan janji peningkatan produksi beras. Jangan sampai pula kepemimpinan baru berlari di tempat yang sama sehingga mengulang ”tragedi” beras tahun ini. Tak cukup rasanya target produksi beras hanya berupa data atau angka. Target produksi itu juga harus disertai bukti realisasinya atau fakta.
Baca juga: Kementan Janjikan Tambahan Produksi Beras pada Desember 2023