Politik dan Memori Episodik
Pengalaman semantik penting dalam memahami konstitusi karena terjalin hubungan rumit yang perlu dicermati secara bijak.
Dengan pendaftaran Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden Prabowo Subianto, Rabu (25/10/2023), maka diterima atau tidak, gugatan soal usia capres dan cawapres telah selesai. Roma locuta causa finita est.
Namun tidak bisa disangkali, keputusan Mahkamah Konstitusi meninggalkan ruang untuk bertanya: apakah memori yang menyimpan aneka pengalaman dari cawapres di bawah umur 40 tahun bersifat episodik atau semantik?
Pertanyaan tersebut tidak bisa tidak mendorong kita untuk masuk ke dunia psikologi kognitif. Di sana akan dianalisis tentang pemahaman proses mental termasuk pemikiran, persepsi, ingatan, belajar, dan pemecahan masalah. Bagi seorang pemimpin, pemahaman itu akan membantu untuk memproses informasi, mengambil keputusan, dan berinteraksi dengan dunia sekitar melalui proses kognitif.
Artinya, agar penetapan batas usia untuk capres/cawapres tidak menjadi liar oleh tafsir subyektif dan menghindari cap politik dinasti, maka studi psikologi kognitif bisa menjadi rujukan. Tulving E dalam bukunya, Elements of Episodic Memory (1983), tidak mengaitkan psikologi kognitif dengan jabatan publik. Namun, pembedaan antara memori episodik (episodic memory) yang mengodekan dan menyimpan informasi tentang pengalaman pribadi dan hubungan ruang-waktu memori semantik (semantic memory) yang menyimpan informasi tentang fakta atau pengetahuan umum tentang dunia menjadi sangat menarik.
Baca juga: Ambang Keruntuhan Garda Hukum Terdepan
Apabila dibaca dalam konteks politik, maka seorang anak muda (siapa pun) yang baru menempati sebuah posisi sebagai kepala daerah dalam waktu minimal (dua tahun) bisa saja telah mempunyai pengalaman-pengalaman khusus. Sayangnya, pengalaman-pengalaman itu terikat dalam ruang dan waktu dan rentan terhadap perubahan dan kelupaan. Ia hanya bisa layak disimpan sebagai referensi otobiografik, tetapi belum menjadi pijakan karena tidak memiliki struktur formal seperti didapati dalam memori semantik.
Memori semantik sebaliknya dianggap lebih kuat. Ia terekspresi melalui pengenalan kata, konsep, peraturan, dan ide-ide abstrak, kata-kata dan simbol verbal, serta makna acuannya. Lebih lagi ada kaitan antara simbol-simbol dan peraturan-peraturan, rumus, algoritma yang digunakan. Hal ini bisa menjadi alasan, mengapa pengalaman semantik menjadi sangat penting dalam memahami konstitusi karena di sana terjalin aneka hubungan rumit yang perlu dicermati secara bijak.
Kematangan dan kemampuan untuk masuk dan memantapkan memori semantik seperti ini tentu tidak bisa terjadi secara otomatis dalam arti yang lebih berumur dipastikan memilikinya. Oleh pengalaman pribadi yang terkait kontrak ruang dan waktu yang lebih intens, memungkinkan seorang anak muda bisa melangkahi banyak orang yang lebih berumur darinya. Namun, pengecualian yang dimiliki oleh orang tertentu tidak bisa dijadikan sebagai sebuah keputusan yang diperlakukan untuk semua orang.
Tidak hanya itu, Schacter DL dan Tulving E (1994) dalam artikel ”What are the memory systems of 1994?”mengingatkan bahwa perbedaan antara memori episodik dan semantik tidak bisa dilepaskan dari realitas biologis. Itu berarti dalam sebuah peraturan seperti persyaratan menjadi capres atau cawapres misalnya perlu ditetapkan dengan memperhatikan realitas biologis-kronologis secara umum.
Memori semantik
Adanya dominasi (malah ada kesan pemaksaan) untuk mengutamakan memori episodik melalui keputusan MK yang sudah diambil mestinya menjadi cambuk untuk merancang sebuah penguatan memori semantik.
Pertama, pengusungan Gibran Rakabuming Raka menjadi cawapres bisa menjadi peluang bagi seorang anak muda untuk berkarya yang berujung mematahkan keraguan. Namun secara analogis, perlu merancang lebih ketat tentang fungsi memori sebagai pengodean (encoding), penyimpanan (storage), dan pengambilan informasi (retrieval). Logikanya, parpol pendukung harus menjadi sangat ideologis dan bukan pragmatis membenahi aneka pengodean dan berusaha menyimpan informasi terbaik dalam pendidikan politik. Ibarat ATM, kita tidak akan mengambil apa yang kita simpan.
Itu berarti penataan sistem menjadi conditio sine qua non alias wajib. Pengalaman berbangsa menunjukkan, sebaik-baiknya orang, kalau berada dalam sistem yang salah (korup) akan cepat terpengaruh. Sebaliknya di dalam sistem yang baik, siapa pun (termasuk orang jahat) bisa menjadi baik. Pengalaman Joko Widodo merangkul lawan seperti ini bisa menjadi contoh. Namun, hal itu akan mungkin kalau terjadi dalam pendidikan politik parpol yang baik. Di sini pengalaman semantis PDI-P bisa menjadi rujukan.
Adanya tiga pasangan calon capres/cawapres mestinya membuka ruang pertimbangan untuk mengevaluasi kualitas baik rekam jejak maupun partai politik yang menjadi wadahnya.
Kedua, dalam demokrasi, penetapan MK tidak serta-merta mengakhiri segalanya. Meminjam kata-kata Dolly Parton: ”If you don’t like the road you’re walking, start paving another one”. Itu berarti politik masih menghadirkan opsi dan tidak pernah dipaksakan dalam memilih satu jalan kalau masih ada alternatif.
Adanya tiga pasangan calon capres/cawapres mestinya membuka ruang pertimbangan untuk mengevaluasi kualitas baik rekam jejak maupun partai politik yang menjadi wadahnya. Hal ini akan menjadikan tiga bulan prapilpres/pileg akan menjadi sangat menarik untuk kontestasi gagasan dan rekam jejak. Di sana rakyat akan melihat dan mengevaluasi secara semantik baik melalui permainan kata maupun simbol yang di baliknya menyimpan sinyal yang menginspirasi untuk melabuhi pilihan akhir.
Yang terakhir, dinamika semantis yang dilangkahi cepat atau lambat menjadi pembelajaran. Artinya kalau dinamika yang ada telah berada di luar jangkauan akal sehat, maka waktulah yang akan menyadarkan.
Baca juga: Putusan Cetak Biru Usia
Kata-kata dari Carl W Buehner (1898-1974), seorang politisi sekaligus tokoh yang sangat beragama bisa menjadi sangat penting: ”I’ve learned that people will forget what you said, people will forget what you did, but people will never forget how you made them feel”. Artinya, ingatkan bahwa apa yang dikatakan (pembelaan diri) akan dilupakan.
Demikian karya (monumental) akan hilang dari ingatan, tetapi mereka tidak akan melupakan apa yang memengaruhi perasaan mereka. Mengapa? Karena di perasaan telah terakumulasi aneka memori semantik hal mana sangat dibutuhkan negeri ini.
Robert Bala, Diploma Resolusi Konflik Asia Pasifik, Universidad Complutense de Madrid Spanyol