Ambang Keruntuhan Garda Hukum Terdepan
Putusan MK kehilangan legitimasi sosial karena miskin kredibilitas, steril dari rasa keadilan. Putusan yang cacat etika.
Belum pernah terjadi kontroversi begitu tajam dalam proses sidang Mahkamah Konstitusi seperti dalam perkara sengketa penentuan persyaratan calon presiden dan wakil presiden saat ini.
Kontroversi tidak hanya terjadi di masyarakat luas, tetapi juga terjadi di antara hakim Mahkamah Konstitusi sendiri. Hal ini ditunjukkan dalam dissenting opinion (pendapat berbeda) dua hakim merujuk pada putusan nomor 90 dan 91/PUU-XXI/2023. Adanya kejanggalan seterang cahaya mengemuka dalam dissenting opinion tersebut.
Proses sidang dan putusan MK kali ini adalah jendela untuk melihat bagaimana ambisi politik kekuasaan dan nepotisme telah menyebabkan hilangnya rasa hormat terhadap lembaga pengadilan tertinggi. Ironisnya, atas nama hukum, justru putusan yang kontroversial itu harus diterima oleh publik setanah air, dan akan menentukan jalannya politik Indonesia ke depan.
Sudah pasti putusan MK sifatnya final dan mengikat, tetapi segera kehilangan legitimasi sosialnya karena dianggap miskin kredibilitas, steril dari rasa keadilan, dan nirbela rasa terhadap kepentingan bangsa yang luas. Putusan hukum yang cacat etika!
Sudah banyak tanggapan dari berbagai kalangan dan analisis di media terkait benturan yurisdiksi kewenangan MK dan pembuat undang-undang (DPR), lalu soal prosedural formal persidangan, dan materi perkara.
Tulisan ini ingin menambahkan dimensi sosio-legal yang kritikal tentang, pertama, cacat etika putusan karena adanya konflik kepentingan. Kedua, betapa goyahnya pilar lembaga pengadilan tertinggi menyangga kelangsungan tatanan negara hukum. Ketiga, apakah nalar memperjuangkan generasi muda dengan membawa soal kriteria umur capres dan cawapres ke MK sungguh menguntungkan generasi muda?
Proses sidang dan putusan MK kali ini adalah jendela untuk melihat bagaimana ambisi politik kekuasaan dan nepotisme telah menyebabkan hilangnya rasa hormat terhadap lembaga pengadilan tertinggi.
Cacat etika
Dissenting opinion dalam persidangan MK telah membuka kotak pandora.
Di antara beberapa perkara dengan materi sama terdapat perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 yang diajukan mahasiswa hukum pengagum seorang wali kota, dan sekadar bertujuan menguji keterampilan hukumnya di MK.
Sebenarnya perkara nomor 90 bersama perkara nomor 91 sudah ditarik oleh pemohonnya, dan seharusnya menjadi gugur, tetapi diajukan kembali dengan cara yang tidak masuk akal, dan bahkan gelar perkaranya dilanjutkan.
Kejanggalan lain adalah, di dalam berkas perkara itu tersurat nama seorang wali kota yang berkepentingan dalam kontestasi pemilu nantinya. Namun, justru proses persidangannya dihadiri oleh Ketua MK yang berkerabat dengan pihak-pihak yang dapat diuntungkan melalui putusan ini.
Padahal, ia tidak hadir dalam sidang perkara lain yang bermateri sama sebelumnya, tetapi justru hadir dalam perkara yang sarat konflik kepentingan.
Berikutnya, putusan terhadap enam perkara bermuatan sama yang dibacakan dalam sehari itu telah menunjukkan adanya inkonsistensi yang jelas.
Publik Tanah Air yang sangat menanti keadilan sempat terkecoh. MK telah menolak beberapa perkara sebelumnya, baik yang mempersoalkan kriteria ”batas usia” maupun ”pernah berpengalaman sebagai pejabat (daerah)”.
Namun, melalui perkara nomor 90 tersebut, MK dengan retorika cerdik telah memutuskan kriteria presiden dan wakil ”memiliki usia minimal 40 tahun” atau ”pernah berpengalaman atau sedang menjadi pejabat yang terpilih dalam pemilihan umum, termasuk kepala daerah”.
Para pemohon revisi berfoto sebelum sidang putusan uji materiil Pasal 169 huruf q UU Pemilu terkait batas usia capres dan cawapres di Mahkamah Konstitusi, Senin (16/10/2023).
Sungguhpun etika (seharusnya) adalah pelajaran mendasar dalam pendidikan keluarga dan sekolah, tidak semua orang terpelajar, bahkan yang mengemban jabatan publik tinggi, mau mengerti apa bedanya dengan hukum.
Etika adalah seperangkat prinsip moral yang berisi hal yang dilarang dan dibolehkan, dianut bersama dalam suatu kebudayaan atau peradaban manusia, dan menjadi panduan hidup bersama.
Kepatuhan terhadap hukum menjadi sendi utama kelangsungan kehidupan ketatanegaraan, korporasi komersial, dan kemasyarakatan di zaman modern saat ini. Namun, kelangsungan hidup lembaga-lembaga tersebut juga ditentukan oleh dipatuhinya nilai-nilai etika moral. Itu sebabnya, para pejabat publik yang tinggi dan terhormat dipersyaratkan mengikuti sumpah jabatan dan menandatangani pakta integritas.
Dalam suasana terusiknya etika publik seperti itulah perkara MK nomor 90/PUU-XXI/2023 diputuskan, bahkan atas nama Tuhan dan keadilan. Sayangnya, pelanggaran etika sering dianggap hal biasa, asal tidak melanggar hukum.
Padahal, pelanggaran etika bisa memiliki konsekuensi lebih berat daripada sanksi hukum (berupa kurungan atau ganti rugi). Pelanggaran etika moral pejabat publik akan berarti mempertaruhkan martabat institusi, hilangnya kepercayaan publik dan legitimasi sosial, yang berdampak panjang.
Produk kebijakan dan hukum yang dihasilkan pejabat publik yang dianggap cacat etika moral akan selalu dipertanyakan akuntabilitasnya dan tidak dipercaya. Apabila hal ini terjadi, sudah seharusnya pejabat yang bersangkutan bertanggung jawab.
Pelanggaran hukum sudah pasti merupakan pelanggaran etika moral karena hukum didasarkan pada tradisi moralitas, meskipun pelanggaran etika belum tentu merupakan pelanggaran hukum. Etika berada di atas hukum karena prinsip-prinsip moralitas yang terkandung di dalamnya bertujuan menjaga kelangsungan hidup bersama.
Hukum pada umumnya tertulis (bisa juga tidak tertulis), tetapi etika sudah pasti tidak tertulis dalam artian law in the book.
Dalam suasana terusiknya etika publik seperti itulah perkara MK nomor 90/PUU-XXI/2023 diputuskan, bahkan atas nama Tuhan dan keadilan.
Negara hukum
Bagaimana kedudukan suatu putusan hakim di negara hukum? Di negeri Belanda yang sistem hukumnya diwariskan kepada Indonesia, putusan hakim bersama dengan kodifikasi undang-undang adalah sumber hukum.
Mengapa penting mengaitkannya dengan negara hukum? Negara hukum memastikan perlindungan warga negara terhadap kesewenangan para penguasa.
Semua tindakan penguasa harus didasarkan pada hukum yang dibuat dengan prosedur demokrasi, memuat prinsip keadilan dan standar hak asasi manusia (HAM), serta ada mekanisme kontrol, yaitu lembaga pengadilan yang imparsial (rule of law).
Tindakan penguasa tidak boleh didasarkan pada hukum yang dibuatnya sendiri (rule by ruler). Teori negara hukum ini didiskusikan serta diperdebatkan selama ratusan tahun sampai pada ruang lingkupnya yang sekarang.
Sayangnya, hukum berupa putusan MK di atas tampak telah digunakan untuk mendefinisikan kepentingan mereka yang berkuasa, bertujuan mendapatkan kekuasaan dan hak-hak istimewa, dan selanjutnya adalah sumber kesejahteraan.
Studi hukum kritis menyatakan demikian, dan kekuasaan, hak istimewa, serta sumber kesejahteraan bagaikan lingkaran yang diupayakan untuk terus dipertahankan, dengan cara membangun kesadaran palsu di tengah masyarakat.
Jika hal ini terjadi di negara hukum yang kuat, mesin demokrasi segera bekerja untuk mencegah dan menanganinya. Namun, jika terjadinya di Indonesia yang sistem demokrasinya belum matang, apalagi korupsi di lembaga penegakan hukum masih saja ada, dampaknya bisa sangat merugikan.
Untunglah gerakan masyarakat sipil Indonesia bisa diandalkan sebagai penjaga demokrasi dan kelompok penekan.
Suasana sidang putusan uji materiil Pasal 169 huruf q UU Pemilu terkait batas usia minimal capres dan cawapres di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (16/10/2023).
Memperjuangkan generasi muda?
Indonesia memang sedang dikaruniai Tuhan dengan berkah yang tidak akan datang dua kali, yaitu jendela demografi berupa populasi umur muda terbesar.
Jendela ini tidak lama akan tertutup, sekitar tahun 2030 atau bahkan lebih awal. Masalah terbesar yang dihadapi adalah rerata tingkat pendidikan orang Indonesia baru sampai kelas satu SMP.
Bagaimanakah caranya agar ada lompatan menjadikan orang-orang muda pintar, inovatif, kreatif dalam segala bidang? Orang muda Indonesia diharapkan bisa menawarkan kepandaian kepada dunia berupa produk sains teknologi, produk pertanian, dan produk budaya—di antaranya karya sastra, film, musik, kuliner, dan segala macam kain yang semuanya bermutu tinggi dan memiliki nilai tambah.
Bagaimanapun, Indonesia tidak bisa lagi mengeksploitasi bahan mentah hasil hutan dan tambang karena akan habis.
Lompatan itu hanya bisa dibuat apabila ada desain pembangunan sumber daya manusia muda berjangka panjang lebih dari 50 tahun, dan sangat jelas visi, misi, dan langkahnya. Pembangunan sumber daya manusia menjadi tidak murah karena setiap langkah harus ada dasar saintifik dan data berbasis bukti.
Reformasi sistem pendidikan dasar, menengah, dan universitas sangat diperlukan karena selama ini terbelenggu birokrasi. Apabila ini semua dapat dibenahi, akan lahir manusia muda Indonesia yang berkualitas. Pentingnya reformasi sistem pendidikan juga dalam rangka membangun karakter orang muda Indonesia agar menomorsatukan integritas, terutama kejujuran.
Apakah cukup dengan membangun Kementerian Pemuda dan Olahraga? Tampaknya tidak, karena beberapa menteri di situ justru terjerat kasus korupsi. Barangkali karena penunjukannya bukan berdasarkan meritokrasi, melainkan politik transaksional.
Apakah mengajukan permohonan kepada MK agar usia calon presiden dan wakil presiden di bawah 40 tahun adalah satu-satunya solusi?
Reformasi Indonesia sejak 25 tahun lalu, yang melahirkan Mahkamah Konstitusi dan berbagai lembaga kontrol terhadap kekuasaan negara dan aparat hukumnya, justru mengalami kemunduran.
Belum tentu, karena penyebab utama dari kemandekan adalah justru kuatnya oligarki politik, yang membatasi para pemuda dan pemudi hebat dari desa, kabupaten, dan provinsi untuk menjadi pemimpin politik, akibat tidak punya uang dan jaringan kekuasaan.
Mengarusutamakan sistem meritokrasi, menghapuskan nepotisme, dan membangun sistem insentif yang adil akan membuka peluang bagi tumbuhnya kaum muda dari akar rumput.
Epilog
Betapa mahalnya harga yang harus kita bayar dari lahirnya produk hukum cacat etika. Dampaknya sangat luas, dan harus ditanggung terlebih oleh generasi muda ke depan.
Reformasi Indonesia sejak 25 tahun lalu, yang melahirkan Mahkamah Konstitusi dan berbagai lembaga kontrol terhadap kekuasaan negara dan aparat hukumnya, justru mengalami kemunduran. Ironisnya, ini antara lain karena produk hukum yang tidak akuntabel dan kehilangan legitimasi publik.
Sudah saatnya memikirkan sistem meritokrasi, jejak kompetensi, dan pengabdian pada masyarakat sebagai syarat perekrutan pejabat publik di bidang hukum. Bukan dengan cara menawarkan jabatan tinggi melalui lowongan di koran karena manusia berkompetensi, profesional, dan berintegritas umumnya tidak akan menawarkan dirinya melalui lowongan koran.
Baca juga : Mencari Batas Kebenaran Mahkamah Konstitusi
Baca juga : "Quo Vadis" Mahkamah Konstitusi?
Sulistyowati IriantoGuru Besar Antropologi Hukum, Fakultas Hukum Universitas Indonesia