Publik menanti putusan Mahkamah Konstitusi yang memutus pengujian materiil syarat minimal usia calon presiden dan wakil presiden. Harapannya MK dapat memberikan sinyalemen tentang politik hukum "usia" di Indonesia.
Oleh
UMAR MUBDI
·4 menit baca
Putusan MK yang mengabulkan penarikan perkara no 100/PUU-XXI/2023 mengenai permohonan pengujian UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu ternyata tak cukup melegakan publik. Sebab, masih tersisa tiga perkara serupa yang menanti keadilan, yakni perkara no 29, 51, dan 55/PUU-XXI/2023 terkait usia minimum capres-cawapres.
Persoalannya tidak hanya mengenai angka-angka batas usia capres-cawapres, tetapi harapannya MK dapat memberikan sinyalemen mengenai politik hukum ”usia” di Indonesia.
Zainal Arifin Mochtar (2022) menjelaskan bahwa salah satu komponen politik hukum adalah adanya cetak biru pembentukan hukum yang jelas. Lalu, bagaimana usia mesti dipahami dalam perspektif hukum?
Memandang usia dari perspektif hukum akan melahirkan paling tidak tiga titik gravitasi.
Ragam batas usia
Memandang usia dari perspektif hukum akan melahirkan paling tidak tiga titik gravitasi. Masing-masing adalah untuk menentukan standar kecakapan hukum, disesuaikan dengan kebutuhan pembentuk hukum, dan bersifat politis.
Pertama, kecakapan hukum dapat dipahami sebagai kewenangan maupun kemampuan seseorang bertindak sesuai dengan aturan hukum untuk menimbulkan akibat hukum (J Satrio, 1995; Subekti, 2010).
Sebab, perbuatan hukum yang dilakukan orang yang tak cakap dapat berkonsekuensi pada pembatalan sebuah perbuatan hukum. Maka, usia di sini digunakan sebagai standar untuk mengatakan kapan seseorang cakap hukum atau tidak.
Dalam konteks perjanjian, salah satu syarat sah perjanjian adalah adanya kecakapan para pihak (Pasal 1320 KUHPerdata). Kecakapan itu secara spesifik ditentukan sebagai orang yang telah dewasa. Dewasa dalam pemahaman Pasal 330 KUHPerdata (acontrario) adalah 21 tahun atau telah menikah. Karena itu, standar kecakapan hukum dalam melakukan perjanjian adalah 21 tahun.
Apabila mengambil contoh pada hukum perkawinan, standar kecakapan menjadi berbeda. Pasal 7 UU No 16 Tahun 2019 mengatur bahwa standar usia untuk diizinkan kawin adalah 19 tahun bagi pria dan wanita.
Pada Pasal 1 UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, batas usia anak adalah 18 tahun, yang kemudian akan berkonsekuensi pada penyusunan dan pelaksanaan perjanjian kerja.
Kedua, standar usia untuk berbagai perbuatan hukum itu sesungguhnya ditentukan untuk memenuhi kebutuhan tertentu. Dalam konteks perjanjian, usia 21 tahun merupakan usia seseorang dianggap memiliki kematangan berpikir dan mampu menyadari perbuatannya, termasuk konsekuensinya (J Satrio, 1995; Yasin, 2022).
Batas minimal usia untuk diizinkan kawin, 19 tahun, didasarkan pada pertimbangan kemampuan untuk melaksanakan hak dan kewajiban sebagai suami ataupun istri. Batas usia anak dalam bidang ketenagakerjaan, 18 tahun, dimaksudkan agar anak tetap mendapatkan perlindungan dan keseimbangan dalam pengembangan diri.
Ketiga, penentuan batas usia cenderung politis karena didasarkan pada konsensus pembentuk hukum yang didukung oleh studi-studi nonhukum, antara lain psikologi, kesehatan, kebudayaan, ataupun ilmu sosial lainnya. Oleh sebab itu, penentuan usia itu mesti mencari landasan yang kuat, rasional, dan berbasis pada riset tertentu.
Berdasarkan uraian di atas, standar usia dalam berbagai sektor pengaturan hukum cukup variatif. Hal ini pada titik tertentu akan menimbulkan ketidakpastian hukum. Sejumlah wacana mencuat untuk menyeragamkan standar usia ini. Namun, dalam pandangan penulis, hal itu tidak mudah dicapai karena ada kebutuhan dan aspek politis yang amat berbeda.
Paling tidak ada enam putusan MK yang berkaitan dengan pengujian usia jabatan publik.
Standar usia jabatan publik
Lalu, bagaimana dengan standar usia dalam pengisian jabatan publik, termasuk syarat usia capres-cawapres? Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah menelusuri ke belakang beberapa pertimbangan hukum hakim dalam putusan MK. Paling tidak ada enam putusan MK yang berkaitan dengan pengujian usia jabatan publik.
Pertama, Putusan MK Nomor 15/PUU-V/2007 tentang pengujian batas usia calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dalam UU Pemerintahan Daerah. Kedua, Putusan MK Nomor 7/PUU-XI/2013 tentang pengujian UU MK yang berkaitan dengan syarat minimal dan maksimal usia calon hakim MK.
Ketiga, Putusan MK Nomor 53/PUU-XIV/2016 tentang pengujian UU Mahkamah Agung mengenai persyaratan hakim agung dari jalur nonkarier. Keempat, Putusan MK Nomor 58/PUU-XVII/2019 tentang pengujian UU Pilkada, khususnya terkait syarat minimal usia menjadi calon kepala daerah.
Kelima, Putusan MK Nomor 62/PUU-XIX/2021 tentang pengujian UU TNI terkait batas usia pensiun. Keenam, Putusan MK Nomor 112/PPU-XX/2022 tentang pengujian UU KPK terkait syarat calon komisioner KPK dengan menambahkan aspek pengalaman.
.
Mencermati pertimbangan hukum dalam keenam putusan a quo, terdapat beberapa parameter konstitusional yang dapat ditarik. Pertama, penentuan batas usia dalam pengisian jabatan publik tidak boleh bertentangan dengan hak-hak fundamental warga negara. Contohnya, hak atas pekerjaan, hak memajukan diri, hak atas kesempatan yang sama dalam pemerintahan, dan lainnya.
Kedua, penentuan syarat usia dalam pengisian jabatan publik merupakan kebijakan hukum (legal policy). Hal ini berarti MK harus menghormati kewenangan pembentuk hukum dalam menentukan usia tersebut.
Ketiga, penentuan syarat minimal usia perlu mempertimbangkan rekam jejak dan prestasi. Keempat, pengaturan usia tersebut lebih baik diatur dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Kelima, perlu adanya keseimbangan antara syarat esensial dan syarat formal dalam penentuan pengisian jabatan publik.
Lima parameter ini sejatinya tetap dipegang MK dalam menjawab penantian publik mengenai syarat minimal usia capres-cawapres. Bukan hanya itu, putusan MK nantinya diharapkan mampu memberikan cetak biru dalam pengaturan ”usia” yang lebih luas di Indonesia.