Secara leksikografis, keberadaan lema ”saudara anjing” dalam kamus sangat sah. Lema itu tetap akan tercatat dalam kamus kendati pengguna menganggap frasa tersebut kasar dan tidak layak digunakan.
Oleh
Asep Rahmat Hidayat
·3 menit baca
KOMPAS/NASRU ALAM AZIZ
Frasa "saudara anjing" terekam di Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Media sosial telah menjadi ruang untuk berbagi berbagai hal, termasuk kepenasaran. Atas kepenasaran itulah, pencarian lema saudara anjing di Kamus Besar Bahasa Indonesia atau KBBI meningkat sehingga mencatatkan lebih dari 1.750 pencarian. Dalam KBBI arti saudara anjing yaitu saudara seibu berlainan ayah. Apakah lema itu sah dalam kewargaan kamus ataukah sah dalam pemakaian kiwari?
Dalam bahasa Melayu, saudara anjing lazim digunakan sebagai istilah kekerabatan, misalnya dalam Hikayat Cerita Maharaja Rawana (Overbeck, 1933). Laksamana menyebut panah Rama dengan ”saudara anjing” karena panah itu keluar bersama Rama dari rahim ibunya. Wajar jika Nieuw Nederlandsch-Maleisch Woordenboek (1885) mencatat frasa itu dengan makna yang sama seperti KBBI.
Bahkan, frasa itu digunakan juga dalam buku pelajaran bahasa Melayu. Penggunaan frasa itu didiskusikan juga dalam berbagai kajian kekerabatan Melayu, seperti Malay Kinship and Marriage in Singapore (1959; 2020), Etnografi Melayu Tradisi dan Modernisasi (2019), dan Bewitching Women, Pious Men: Gender and Body Politics in Southeast Asia (1995).
Penutur dapat memilih untuk menggunakan atau tidak menggunakan frasa saudara anjing dan kamus tetap akan mencatatnya.
Tidak hanya dalam bahasa Melayu, konsep yang sama ada dalam bahasa lain. Konsep yang sama dalam bahasa Minangkabau disebut dunsanak anjing, dalam bahasa Jawa disebut sedulur asu, dan di Brunei disebut seperadian kuyuk. Asu dan kuyuk bersinonim dengan anjing.
Secara etimologis belum cukup data untuk memastikan penggunaan awal kata itu. Namun, dengan melihat frasa itu sebagai bentuk kiasan, kita dapat mengira bahwa frasa itu muncul karena ada kesamaan secara kias dengan referen anjing.
Sebagai hewan yang dekat dengan kehidupan manusia, anjing memang sangat lazim muncul dalam praktik berbahasa. Kata anjing, misalnya, muncul dalam peribahasa seperti anjing menggonggong tulang, seperti anjing terpanggang ekor, bagai anjing beranak enam, atau digunakan sebagai nama tumbuhan, seperti peliranjing dan lidah anjing.
Dari segi semantik, konotasi sebuah kata selalu dinamis. Pada awal penggunaan mungkin frasa saudara anjing berkonotasi netral, kemudian berubah menjadi negatif. Kenegatifan konotasi tidak selalu terkait dengan kehadiran kata yang tabu. Sebagai contoh, frasa saudara duit, saudara buah, dan saudara durian yang maknanya ’seperti saudara jika ada duit, buah, durian’ memiliki konotasi negatif, padahal kolokasi katanya positif.
Korpus membuktikan bahwa frasa saudara anjing pernah digunakan. Oleh karena itu, secara leksikografis, keberadaan lema tersebut dalam kamus sangat sah.
Pada awal penggunaan mungkin frasa saudara anjing berkonotasi netral, kemudian berubah menjadi negatif.
Tidak akan dihapus
Dari sisi pekamus, semua kata yang pernah digunakan dan dicatat tidak akan dihapus meskipun sudah tidak (layak) digunakan lagi karena itu merupakan bagian dari khazanah kata suatu bangsa. Di Inggris, beberapa penutur pernah membuat petisi untuk menghapus kata arkais (obsolete) dari OED dan OED bergeming.
Kini masalahnya adalah pengguna merasa bahwa frasa tersebut dianggap kasar dan tidak layak digunakan. Hal itu merupakan ranah pragmatik yang sepenuhnya ada di tangan penutur, bukan ranah leksikografi. Penutur dapat memilih untuk menggunakan atau tidak menggunakan frasa saudara anjing dan kamus tetap akan mencatatnya. Sesuatu yang buruk tidak perlu dihapuskan supaya kita tahu ada yang lebih baik dari yang buruk itu.