Sepak bola ibarat taman bermain yang lapang dan aman bagi satwa. Siapa sangka sepak bola dan satwa bisa saling berhubungan. Lewat frasa-frasa metaforis, keduanya membuat bahasa jadi berwarna.
Oleh
Ahmad Hamidi
·3 menit baca
Terlepas dari berbagai insiden yang telah terjadi, sebagai sebuah olahraga permainan, sebagian kita kesulitan berhenti mencintai sepak bola. Ia magis. Selalu menyenangkan. Sepak bola mempersatukan, sekalipun juga bisa menceraiberaikan. Sepak bola indah di dalam dan di luar lapangan. Bukan sekadar bagi bangsa manusia, melainkan juga bagi bangsa satwa.
Sepak bola ibarat taman bermain yang lapang dan aman bagi satwa. Syukurlah, pada akhirnya, Bacuya, sosok badak jawa, terpilih sebagai maskot Piala Dunia U-17.
Pada level senior putra, tujuh di antara 15 maskot Piala Dunia menampilkan figur satwa: Willie (singa), Striker (anjing), Footix (ayam), Goleo (singa), Zakumi (macan tutul), Fuleco (Tolypeutes tricinctus), dan Zabivaka (serigala).
Dalam sepak bola, mereka hadir sebagai motivasi atau sekadar mitos, sambil memperagakan regionalitas atau lokalitas.
Adapun pada level senior putri, eksistensi satwa tampak pada enam di antara sembilan maskot: Ling Ling (burung), Nutmeg (serigala), Karla Kick (kucing), ShuÉme (Bubo scandiacus), Ettie (ayam), dan Tazuni (penguin). Lainnya, figur manusia berbagi tempat dengan tumbuhan dan makhluk astral.
Satwa hidup dan menghidupkan sepak bola. Demi mengantarkan adrenalin yang tersaji di lapangan kepada publik, wartawan mempekerjakan satwa sebagai kurir. Mereka, antara lain, dipekerjakan lewat frasa-frasa metaforis: mengoyak jala, ibarat singa mengoyak tubuh tipis seekor rusa; menyarangkan bola, seumpama induk burung memiara dan mengamankan anaknya; dan menanduk bola, bagaikan banteng mengamuk menghantam segala di hadapannya.
Ketika ranah politik praktis membenamkan satwa ke kubangan sumpah serapah (kadal gurun, kutu busuk, tikus berdasi, dan akal bulus), ranah sepak bola senantiasa memuliakannya. Pengoleksi banyak gol lazim disebut predator. Ia diibaratkan satwa pemangsa yang buas karena keterandalannya mengonversi peluang menjadi gol sekalipun berada dalam situasi tersulit.
Predator asal Argentina, peraih tujuh Ballon d’Or, Lionel Messi, dijuluki ”La Pulga” (Si Kutu). Pergerakannya yang lincah dan gesit, meskipun berpostur mungil untuk ukuran pesepak bola, konon, mengalas penjulukan itu. Sementara itu, karena ketangkasannya ”menerbangkan diri” demi menjaga gawang, nama belakang eks kiper Bali United, Wawan Hendrawan, dipelesetkan jadi ”Spiderwan” oleh komentator di televisi.
Kemanasukaan
Sekalipun menjadi asas utama penjulukan, pada kenyataannya keserupaan tunduk pada asas kemanasukaan. Legenda hidup asal Kediri, misalnya, disebut ”Si Ular Piton”. Satwa berbadan besar, senang mengintai, dan bergerak lamban, justru menyimbolkan pemain berpostur kurus, berkarakter ngotot, dan bergerak lincah serta cepat seperti Budi Sudarsono.
Di hadapan bahasa, satwa adalah kendaraan (vehicle, dalam bahasa Knowles dan Moon, 2006) dalam menyampaikan realitas. Sejak dulu satwa dipercayai mampu merepresentasikan watak dan tingkah manusia. Mereka hanya mengangkut keserupaan, sekecil apa pun, antara dua konsep. Dalam sepak bola, mereka hadir sebagai motivasi atau sekadar mitos, sambil memperagakan regionalitas atau lokalitas.
Sekali waktu, saat berjalan keluar dari Stadion Gelora Bung Karno, kawan saya nyeletuk dalam bahasa Minangkabau, ”Baa pulo manang batandiang, dari gala sajo kito ’lah kalah.”
Ia kecewa terhadap kesebelasan kebanggaan kami yang, menurut dia, bahkan berdasarkan konstruksi julukan saja sudah kalah. Kami baru saja menyaksikan ”Kabau Sirah” dikoyak-koyak ”Macan Kemayoran”. Dibalut kekecewaan sedemikian rupa, tuturan sarkastis-irasional itu pun seolah-olah menemukan rasionalitasnya.