Di dalam praktik berbahasa, perilaku politik mampu menciptakan distorsi dan degradasi makna. Konflik politik, misalnya, disebut ”dinamika”, padahal yang terjadi adalah gontok-gontokan serius.
Oleh
INDRA TRANGGONO
·2 menit baca
Karena wataknya yang agresif, posesif, dan kadang beringas serta destruktif, politik mempunyai potensi besar menggerus makna kata dan bahasa. Kata-kata yang semula memiliki makna yang netral pun menjadi bias, ambigu, bahkan bisa berubah penuh tendensi.
Sebut saja kata lobi (lobby) yang berarti ’bagian dari ruang hotel dan memiliki banyak fungsi: dari ruang tunggu, pertemuan, sampai pusat informasi’. Lobi yang merupakan kata benda dapat berubah menjadi melobi (lobbying) yang berkelas kata kerja.
Kata ini bermakna ’dialog untuk memengaruhi pandangan pihak-pihak yang menjadi sasaran kepentingan tertentu dengan sudut pandang positif’. Melobi biasanya dilakukan untuk mengatasi kebuntuan pembicaraan penting sehingga muncul kemungkinan yang dianggap terbaik bagi beberapa pihak yang berkepentingan.
Kini muncul pula istilah lobi-lobi. Ini terkait dengan upaya jahat oknum-oknum eksekutif dan legislatif dalam memuluskan anggaran proyek-proyek besar di daerah-daerah. Dari lobi-lobi dihasilkan persetujuan pelaksanaan proyek dengan anggaran tertentu yang biasanya sangat besar.
Namun, sebelum anggaran mengucur dan proyek dilaksanakan, oknum-oknum eksekutif harus memberi fee kepada oknum-oknum legislatif. Jadi, proyek belum terlaksana, korupsi sudah dijalankan secara kompak dan manis.
Dalam konteks politik, kata lobi—yang kemudian jadi lobi-lobi—kini tak sebatas ruang fisik, tapi juga berkembang menjadi frasa yang bermakna ’memengaruhi’, ’memersuasi’, ’mengarahkan’, ’tawar-menawar’, ’siasat’, ’akal-akalan’ yang berujung pada tindakan negatif, misalnya korupsi.
Politik punya potensi besar menggerus makna kata dan bahasa. Kata-kata yang semula memiliki makna yang netral pun menjadi bias, ambigu, bahkan bisa berubah penuh tendensi.
Di dalam praktik berbahasa, perilaku politik mampu menciptakan distorsi (penyimpangan) dan degradasi (penurunan) makna. Karena didukung kekuasaan, politik jadi sangat otoritatif. Ia menguasai panggung sosial dan media arus atas dan bawah.
Kata-kata yang diucapkan para pelaku politik yang berpengaruh pun jadi populer dan serta-merta dipakai/ditiru masyarakat. Sebut saja kata cawe-cawe, ojo kesusu, terang benderang, ngeri-ngeri sedap, dan lainnya.
Demi negara dan bangsa
Frasa lain yang mengalami distorsi dan degradasi makna adalah demi negara dan bangsa yang sangat sering dilontarkan para politikus. Kita perlu hati-hati memaknai ucapan itu. Apakah frasa ini memang murni bermakna ’kerelaan berkorban demi negara dan bangsa’ atau sekadar gimmick (tipuan estetik politik) dan retorika untuk mendongkrak citra diri sang pengucap?
Daya kritis mendorong kita untuk melihat makna yang tak tampak di dalam komunikasi politik, dan biasanya makna yang tersamar itulah yang benar. Artinya, frasa ini sangat mungkin hanya dijadikan dalih demi menutupi pamrih meraup keuntungan personal dan kelompok.
Para politikus pun sering memelintir kata atau istilah (meminjam istilah Gus Dur) demi menutupi persoalan yang sesungguhnya. Konflik politik, misalnya, disebut ”dinamika”, padahal yang terjadi gontok-gontokan serius. Kekalahan dalam kontestasi elektoral disebut ”kurang suara”. Rekayasa politik yang menjurus destruktif disebut ”mencari jalan terbaik”.
Semua ini tak jauh dari praktik eufemisme seperti di era Orde Baru, yakni pelembutan bahasa demi menggantikan kata-kata atau istilah yang dianggap kurang santun karena kasar dan tidak membikin nyaman. Namun, eufemisme itu tidak mengubah makna substansial.
Segala rekayasa destruktif atas bahasa, khususnya kata dan istilah, punya potensi ”mengacaukan” atau menggerus makna. Ini tidak hanya mengancam kehidupan bahasa Indonesia, tetapi juga bisa merepotkan para pendidik, peserta didik, dan mereka yang hidupnya bertalian dengan bahasa dan semantika.
Sudah saatnya para politikus memiliki kesadaran diri sebagai perawat, penguat, dan pengembang bahasa Indonesia, dengan menjalani laku politik secara budaya.