Rakyat sebatas dilibatkan melalui angka survei. Rakyat seperti tidak berhak untuk mengetahui apa pertimbangan penentuan cawapres, dan juga capres, berikut berbagai kompensasi politik yang menyertainya.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Penentuan calon wakil presiden untuk Pemilu 2024 berpotensi jadi arena lobi politik yang hangat, hingga dibukanya pendaftaran capres-cawapres pada Oktober ini.
Hal ini disebabkan sampai sekarang belum ada bakal calon wakil presiden (cawapres) yang diputuskan diusung oleh koalisi partai, partai, atau calon presiden (capres). Di saat yang sama, juga belum ada sosok bakal cawapres yang dominan.
Hasil survei Kompas periode Agustus 2023 menunjukkan, tiga besar bakal cawapres diisi Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno, dan Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir. Elektabilitas mereka berkisar 8 persen. Responden survei yang tak menjawab atau rahasia mencapai 44,4 persen.
Kondisi ini berbeda dengan bursa capres yang mengkristal pada Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, dan Anies R Baswedan. Total elektabilitas ketiga sosok itu dalam pilihan bebas mencapai 62,2 persen. Mereka yang menjawab tidak ada atau rahasia sebanyak 27,9 persen.
Konstitusi menyebut tugas presiden dengan relatif rinci. Sebaliknya, Pasal 4 Ayat (2) UUD 1945 hanya menyebutkan tugas wapres adalah membantu presiden.
Kondisi ini membuat ada beragam spektrum peran wapres dalam sejarah Indonesia. Pada masa Orde Lama, Presiden Soekarno dan Wapres Mohammad Hatta pernah disebut sebagai dwitunggal. Saat Orde Baru, tidak ada wapres yang menjabat lebih dari satu periode. Di era Reformasi, Jusuf Kalla pernah disebutkan dominan saat menjabat sebagai wapres, mendampingi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Di tengah berbagai spektrum itu, posisi cawapres tetap menarik dan penting secara politik sehingga biasanya baru ditentukan pada saat akhir menjelang pendaftaran pasangan capres-cawapres ke Komisi Pemilihan Umum (KPU). Tingkat elektabilitas, kemampuan logistik, kecocokan dengan capres dan partai koalisi, serta menanti sosok cawapres yang diusung pihak lawan, hingga pembagian kue politik jika kelak berkuasa, menjadi bagian dari pertimbangan saat penentuan cawapres.
Berbagai hal itulah yang kini menjadi bagian dari pembahasan hangat di antara kekuatan-kekuatan politik di panggung belakang politik Tanah Air. Sementara yang banyak muncul di panggung depan hanya hal-hal seperti jalan bersama antara capres dan kandidat bakal cawapres, adanya sosok yang pindah parpol, rumor, serta saling sindir dan memuji di media.
Keadaan ini mengisyaratkan bahwa penentuan cawapres dan sebelumnya juga capres cenderung hanya menjadi konsumsi elite politik. Rakyat sebatas dilibatkan melalui angka survei. Rakyat seperti tidak berhak untuk mengetahui apa pertimbangan penentuan cawapres, dan juga capres, berikut berbagai kompensasi politik yang menyertainya.
Praktik seperti itu menjadi bagian dari awal politik transaksional. Kesadaran politik dari rakyat yang tak turut dilibatkan sejak awal tidak tumbuh secara optimal hingga akibatnya mudah dirasuki hal buruk, seperti politik uang. Bagian dari tugas elite politik untuk membuat praktik politik yang lebih berkualitas lewat pemilu mendatang.
Editor:
PAULUS TRI AGUNG KRISTANTO, ANTONIUS TOMY TRINUGROHO