Patologi Informasi, Konflik, dan Warga Sipil di Papua
Berkembangnya informasi tanpa verifikasi mempertajam polarisasi di masyarakat dan meningkatnya potensi konflik di Papua.
Tragedi kemanusiaan terus berulang di Papua, termasuk yang menimpa warga sipil. Belum lagi selesai dengan kasus penculikan pilot Susi Air, Philips Marthen, publik kembali dikejutkan dengan meninggalnya Michelle Kurisi yang dibunuh Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat/Organisasi Papua Merdeka.
Kurisi adalah seorang pekerja kemanusiaan yang ’dituduh menjadi mata-mata’ Badan Intelijen Negara (BIN) dan sedang mencari keberadaan pilot Susi Air tersebut. Kematian Kurisi masih menyisakan misteri yang belum terpecahkan.
Tragedi kemanusiaan lainnya terjadi pada 15 September 2023 ketika lima warga Papua tewas ditembak oleh Satgas Batalyon Marinir di Yahukimo.
Pembunuhan ini menimbulkan kontroversi karena ketidaksepakatan mengenai ’identitas’ kelima korban. Pihak aparat keamanan menyatakan mereka adalah anggota Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat/Organisasi Papua Merdeka (TPNPB/OPM). Sementara masyarakat Papua menganggap mereka sebagai warga sipil yang ditembak akibat aparat keamanan frustrasi atas kegagalan mereka menangkap anggota TPNPB. TPNPB juga mengakui korban yang tewas bukan anggotanya.
Tragedi berikutnya terjadi pada 17 September 2023 di mana beberapa anggota Sinode Gereja Kemah Injili di Kenyam dianiaya oleh aparat kepolisian. Kekerasan ini diduga sebagai upaya aparat keamanan untuk menghadang jaringan separatis.
Semakin rumitnya kompleksitas permasalahan di Papua juga dipicu oleh informasi yang berkembang secara liar dalam memberitakan aksi kekerasan tersebut, baik di media sosial maupun media daring (online). Dampak dari berkembangnya informasi tanpa verifikasi adalah semakin tajamnya polarisasi di masyarakat dan meningkatnya potensi konflik yang semakin membesar.
Tulisan ini membahas tinjauan kritis informasi dari perspektif aktor, motivasi dan strategi, serta bagaimana informasi rentan terhadap multi-interpretasi.
Semakin rumitnya kompleksitas permasalahan di Papua juga dipicu oleh informasi yang berkembang secara liar dalam memberitakan aksi kekerasan tersebut, baik di media sosial maupun media daring ( online).
Patologi informasi
Situasi pelik di Papua berakar dari masyarakat yang dibiarkan melakukan interpretasi, baik secara individual maupun kolektif, terhadap aksi kekerasan. Ini disebabkan pihak yang bertikai cenderung tidak berupaya memverifikasi informasi yang beredar.
Selain itu, terhadap kasus-kasus tersebut jarang dilakukan investigasi yang memadai sehingga tidak menghasilkan informasi yang dapat mengedukasi publik.
Hal ini menciptakan kesan bahwa terjadi ’pembiaran informasi’ sebagai bagian dari ’perang informasi’ (cyber-war) yang terkait dengan konflik antara TPNPB dan aparat keamanan. Dalam konteks ini, informasi digunakan baik sebagai ’senjata kaum lemah’ maupun ’senjata kaum kuat’ dalam perang informasi (information warfare). Bahayanya adalah ada potensi terjadi penyebaran informasi yang belum diverifikasi secara akurat, yang justru memperdalam konflik.
Verifikasi informasi menjadi sulit di Papua karena adanya pembatasan terhadap aktivitas jurnalistik, kendala teknologi dan konektivitas, isolasi geografis, dan upaya yang memang disengaja untuk memanipulasi informasi demi kepentingan pihak tertentu.
Dengan demikian, diperlukan penelitian terhadap patologi informasi yang mendalam, yang mencakup analisis konten informasi dari sudut pandang aktor, motivasi, strategi, dan dampak dari penyebaran informasi di masyarakat tersebut dalam konteks perang informasi.
Para aktor yang terlibat disebut sebagai ’bad actors’ karena mereka sengaja menciptakan dan mempropagandakan informasi yang bersifat manipulatif serta membingungkan masyarakat.
’Bad actors’ bisa berasal dari entitas negara, perusahaan, kelompok sosial, individu, atau dari beberapa aktor sekaligus. Meskipun informasi tersebut memiliki kebenaran substansial, namun jika motifnya tidak benar, informasi tersebut bisa dianggap manipulasi.
Dalam konflik vertikal, motifnya adalah upaya untuk mencemarkan nama baik pihak yang terlibat dalam konflik, seperti TPNPB dan aparat keamanan. Motif lainnya adalah pihak yang bertikai mencari dukungan kolektif sekaligus pembenaran terhadap aksinya, termasuk ke publik internasional.
Sementara ’pembiaran’ terhadap informasi, serta pembuatan dan penyebaran akun palsu, adalah strategi yang ditujukan kepada individual ataupun media daring yang dianggap sebagai oposisi.
Sebagai contoh, banyak kasus yang mencakup akun-akun aktivis Papua yang mendukung referendum, tetapi kemudian diduplikasi menjadi pendukung Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dampaknya adalah fragmentasi dalam masyarakat dengan potensi yang memicu konflik internal yang semakin memburuk, baik secara vertikal maupun horizontal.
Multi-interpretasi
Penyebaran informasi yang tidak diverifikasi cenderung menghasilkan beragam penafsiran. Sebagai contoh dalam kasus pembunuhan Michelle Kurisi. TPNPB telah mengakui sebagai pelakunya. Namun, pengakuan tersebut tidak langsung meruntuhkan citra TPNPB.
Sebagian masyarakat justru menginterpretasikan bahwa Kurisi, yang dituduh sebagai agen BIN, dibiarkan telantar di hutan tanpa perlindungan dari aparat keamanan. Hal ini kembali membuat aparat keamanan menjadi tersangka karena dianggap telah gagal melindungi ’warga sipil’.
Dalam kasus pembunuhan lima warga Papua di Yahukimo, narasi tersebut bergantung pada filosofi universal bahwa membunuh warga sipil merupakan suatu kejahatan dan pelanggaran hak asasi manusia.
Setiap pihak yang bertikai akan menggunakan strateginya sendiri. Aparat keamanan akan membenarkan tindakannya dengan merujuk pada ’profiling’ yang cermat untuk menghindari penangkapan atau penyerangan yang salah.
Sebagai contoh, banyak kasus yang mencakup akun-akun aktivis Papua yang mendukung referendum, tetapi kemudian diduplikasi menjadi pendukung Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Sementara itu, strategi TPNPB adalah menyembunyikan senjata yang dimiliki oleh anggotanya pada saat mereka tewas. Tanpa senjata, anggota TPNPB secara praktis dianggap sebagai warga sipil.
Terkait dengan peristiwa ini, sebuah kantor berita nasional melaporkan bahwa lima korban tersebut tidak dikenal oleh masyarakat Yahukimo.
Pertanyaannya, apakah pernyataan masyarakat Yahukimo didorong oleh kepentingan elite desa setempat untuk mencegah agar masyarakat tidak distigma sebagai anggota atau simpatisan dari TPNPB oleh aparat keamanan, ataukah ’paksaan’ dari pihak tertentu untuk melegitimasi bahwa korban tersebut adalah benar dari anggota kelompok separatis?
Hal yang tidak kalah menarik di sini adalah target dari informasi itu sendiri. Mengapa masyarakat Papua mudah menerima informasi yang berkembang? Hal ini tidak terkait anggapan bahwa masyarakat di Papua mudah teperdaya hoaks karena status sosial mereka.
Ada asumsi telah terjadi ’bias penalaran’ terhadap informasi yang diterima sebagai bagian dari trauma kekerasan berkepanjangan yang memicu emosi negatif seperti rasa takut, kebencian, dan kemarahan.
Karena pengalaman traumatis, segala jenis informasi yang menuduh pihak lain di luar aparat keamanan sebagai pelaku kekerasan tidak akan mudah dipercaya, karena ada juga persepsi bahwa konflik di Papua penuh dengan rekayasa.
Solusi
Fenomena patologi informasi harus dilakukan dengan cara yang lebih terbuka dan transparan. Pihak yang terlibat, baik dari pemerintah maupun kelompok separatis, harus lebih terbuka dalam memberikan informasi yang dapat diverifikasi oleh pihak berwenang.
Ilustrasi
Verifikasi informasi yang akurat harus menjadi prioritas, dan sumber informasi yang dapat dipercaya juga harus dilembagakan.
Selain itu, keterlibatan masyarakat sipil dan pemangku kepentingan lainnya dalam menyelesaikan perang informasi sangat penting.
Di samping itu, mendorong kebebasan pers dan jurnalisme independen di Papua akan membantu dalam mengatasi patologi informasi yang cenderung manipulatif dan mendukung terbentuknya informasi yang berdasarkan fakta.
Literasi digital yang mendukung pendidikan masyarakat mengenai bahaya penyebaran informasi yang belum diverifikasi dan bagaimana cara mengidentifikasi sumber informasi yang dapat dipercaya penting untuk dilakukan. Tidak kalah penting dan yang harus menjadi prioritas tentu saja mengurai dan menyelesaikan akar permasalahan di Papua yang sangat kompleks.
Baca juga : Mengembalikan ”Orientasi-orientasi Papua”
Baca juga : Perlunya Kendalikan Banjir Misinformasi Jelang Pemilu 2024
Vidhyandika D PerkasaPeneliti Senior Departemen Politik dan Perubahan Sosial, CSIS Jakarta