Kader, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan masyarakat pada umumnya adalah garda terdepan dalam mendeteksi terjadinya masalah-masalah kejiwaan warganya. Mereka perlu diberi pelatihan tentang masalah kejiwaan.
Oleh
EUNIKE SRI TYAS SUCI
·4 menit baca
Tulisan Aditya Putra Kurniawan berjudul ”Demokratisasi Psikoterapi” yang dipublikasikan Kompas.id di kolom Opini pada 10 Oktober 2023 menggelitik penulis untuk membalas lebih lanjut. Karena, ide demokratisasi psikoterapi untuk dilaksanakan oleh tenaga kesehatan nonpsikolog tentu sangat menarik untuk dibahas.
Aditya mengawalinya dengan masalah keterbatasan tenaga kesehatan jiwa, dalam hal ini psikolog dan psikiater, di Indonesia yang secara total tidak sampai 5.000 orang sehingga tidak seimbang dengan kebutuhan yang ada. Sebetulnya hal ini telah menjadi permasalahan bertahun-tahun. Dalam tulisan opini saya sebelumnya (11 Oktober 2021), saya pun menuliskan rasio seorang psikiater yang harus melayani 273.154 penduduk dan rasio seorang psikolog klinis yang harus melayani 81.287 penduduk.
Belum lagi bicara tentang pemerataan yang tentu jauh dari ideal mengingat Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Akan lebih runyam lagi kalau melihat anggaran nasional program kesehatan jiwa tidak sampai 1 persen dari anggaran nasional.
Jadi, saya setuju sekali bahwa masalah ketimpangan layanan kesehatan jiwa di Indonesia perlu mendapat perhatian pemerintah. Berdasarkan penelitian saya pada 2023 dan sumber lain, masalah yang sering menjadi kendala adalah ketersediaan obat bagi orang dengan gangguan kejiwaaan (ODGJ). Bisa akses dengan BPJS, tetapi kalau obat tidak ada maka akan tertunda lagi proses pemulihannya.
Selaras dengan tulisan Aditya, tulisan Opini saya (2021) menyebutkan pentingnya task-shifting (Teresa Hoeft dkk, 2017) sebagai alternatif untuk memenuhi kebutuhan tenaga kesehatan jiwa yang tentu sulit untuk menunggu lulusnya para profesional psikolog dan psikiater sehingga perlu ada penguatan pada level di bawahnya, yaitu nonprofesional dan layanan kesehatan jiwa berbasis masyarakat, sebagaimana direkomendasikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Dalam buku Jiwa Sehat, Negara Kuat: Masa Depan Layanan Kesehatan Jiwa di Indonesia (Pols dkk, 2019) telah diberikan contoh sukses task shifting saat Aceh menghadapi tsunami dan konflik politik, di mana para perawat dan kader mendapat pelatihan dasar tentang kesehatan jiwa dan penanganan awal pada pasien kejiwaan. Bukan psikoterapi. Mengapa?
Pertama, sesuai dengan rekomendasi WHO tentang Piramida Layanan Kesehatan Jiwa yang Optimal, layanan kesehatan jiwa perlu dilakukan secara berjenjang. Bagian piramida paling bawah merepresentasikan kasus yang paling banyak, yaitu masalah-masalah kesehatan jiwa ringan dan orangnya disebut sebagai orang dengan masalah kejiwaan (ODMK).
Yang dibutuhkan adalah self care atau perawatan diri. Ini adalah upaya paling dasar, berbiaya paling murah, dan bisa dilaksanakan oleh masyarakat dalam memelihara kesehatan jiwa masyarakat, misalnya melakukan olahraga bersama, saling kunjung memelihara silaturahmi, dan terlibat dalam kegiatan sosial.
Ada banyak komunitas kesehatan jiwa yang terdapat di Indonesia yang memberi dukungan kesehatan jiwa, termasuk di sekolah dan perguruan tinggi.
Pada tingat berikutnya, jika seseorang mengalami permasalahan kejiwaan, maka bisa berkunjung ke layanan berbasis masyarakat dan komunitas. Ada banyak komunitas kesehatan jiwa yang terdapat di Indonesia yang memberi dukungan kesehatan jiwa, termasuk di sekolah dan perguruan tinggi. Mungkin yang diperlukan adalah informasi tersebut diketahui oleh masyarakat agar tahu ke mana mendapat bantuan psikologis awal jika ia punya masalah.
Di sekolah, misalnya, ada guru Bimbingan dan Konseling yang bisa diharapkan bantuannya. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mempunyai Pusat Pelayanan Keluarga Sejahtera (PPKS) di seluruh Indonesia. PPKS ini memberi layanan konseling keluarga anak balita, konseling keluarga harmonis, konseling remaja, konseling pranikah, konseling kesehatan reproduksi, konseling lansia, dan lainnya.
Pada kondisi individu telah mengalami gangguan kejiwaan (ODGJ), tentu membutuhkan bantuan yang lebih profesional di institusi kesehatan, pada umumnya masyarat datang ke puskesmas karena sebetulnya puskesmas sudah diberi kemampuan untuk memberi pengobatan bagi ODGJ. Namun, jika kondisi pasien membutuhkan penanganan lebih lanjut, maka perlu dirujuk ke profesional, yaitu psikolog (klinis) atau psikiater. Di sinilah psikoterapi selayaknya diberikan.
Kedua, terkait dengan paparan di atas maka psikoterapi menjadi keahlian profesional. Salah satu yang membedakan profesional dari nonprofesional, ia mempunyai otonomi dalam melakukan asesmen klinis, menegakkan diagnosis dan bentuk psikoterapi yang direkomendasikan.
Ada setidaknya empat hal yang membedakan konseling dari psikoterapi: 1) konseling untuk kasus normal, sementara psikoterapi untuk kasus abnormal, 2) konselor membantu individu membuat perubahan, sementara psikoterapis membuat sesi terprogram yang harus diikuti agar individu berubah, 3) proses konseling adalah jangka pendek, bisa satu sesi pertemuan, sementara psikoterapi butuh proses jangka panjang kadang berbulan-bulan, dan 4) fokus konseling adalah pemecahan masalah, sementara fokus psikoterapi adalah kesembuhan klien (dari gangguan kejiwaannya). Dari sini bisa disimpulkan bahwa psikoterapi (Aditya menyebutkan sebagtai psikoterapi konvensional) membutuhkan kecakapan tertentu yang tidak bisa diberikan pada non-profesional.
Sampai saat ini pendidikan profesi psikologi yang tersedia di Indonesia adalah program profesi untuk mencetak psikolog (umum).
Ketiga, Aditya merujuk pada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 45 tahun 2017 dengan menegaskan bahwa ”hanya psikolog klinis yang diberikan wewenang melakukan psikoterapi, dan bukan psikolog bidang lainnya”. Pernyataan Aditya mungkin perlu diluruskan karena permenkes yang dirujuk adalah Permenkes tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Psikolog Klinis.
Tentu saja psikoterapi menjadi bagian dari kewenangan psikolog klinis. Pasal 17 Ayat (8) ditegaskan bahwa psikoterapi yang dimaksud dilakukan dengan pendekatan psikologi klinis. Apabila dicermati ulang tidak ada pernyataan bahwa psikolog klinis adalah satu-satunya profesi yang berhak memberi layanan psikoterapi. Selain psikolog (umum), psikiater juga punya kemampuan memberi psikoterapi.
Keempat, saya menuliskan psikolog (umum) karena pada permenkes yang sama, Pasal 1 Ayat (1) disebutkan bahwa psikolog klinis adalah setiap orang yang telah lulus pendidikan psikologi klinis sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Merujuk Undang-Undang Nomor 23 tahun 2022 tentang Pendidikan dan Layanan Psikologi, Pasal 8 Ayat (1) disebutkan pendidikan profesi terdiri dari program profesi, program spesialis, dan program subspesialis.
Sampai saat ini, pendidikan profesi psikologi yang tersedia di Indonesia adalah program profesi untuk mencetak psikolog (umum). Belum ada perguruan tinggi yang menyelenggarakan program pendidikan spesialis klinis.
Maka, secara umum saya simpulkan bahwa penggunaan istilah psikoterapi pada tulisan Aditya perlu diluruskan. Mungkin yang dimaksudkan adalah penguatan kader dan masyarakat untuk melakukan deteksi dini dan pendampingan kepada masalah kejiwaan pada kasus-kasus normal yang umumnya terjadi pada strata terbawah piramida layanan kesehatan jiwa di atas.
Saya sangat setuju bahwa ini perlu terus dikembangkan karena kader, tokoh masyarakat, tokoh agama dan masyarakat pada umumnya adalah garda terdepan dalam mendeteksi terjadinya masalah-masalah kejiwaan warganya. Mereka tidak perlu dibekali dengan pendidikan psikoterapi, tetapi pelatihan tentang bagaimana mendeteksi adalah masalah kejiwaan, bantuan psikologis apa yang dibutuhkan, konseling dasar pada masalah-masalah kejiwaan, dan tentu saja mempunyai jejaring untuk melakukan rujukan ke profesional jika diperlukan.