Saatnya pemerintah berinvestasi di sektor kesehatan mental dengan mengembangkan model psikoterapi yang efektif dan merakyat, serta menguatkan peran kader dengan memberikan mereka wewenang melakukan psikoterapi.
Oleh
ADITYA PUTRA KURNIAWAN
·3 menit baca
Indonesia dihadapkan pada beban yang besar dalam mengatasi kesenjangan layanan kesehatan mental. Riset Kesehatan Dasar tahun 2018 menunjukkan lebih dari 19 juta penduduk usia dewasa mengalami gangguan mental emosional, termasuk depresi dan kecemasan.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa psikoterapi sebagai metode yang dianjurkan untuk menangani permasalahan kesehatan mental. Meskipun demikian, sebagian besar masyarakat yang membutuhkan belum dapat mengaksesnya karena keterbatasan jumlah tenaga profesional yang memiliki wewenang memberikan psikoterapi. Jumlah psikolog dan psikiater di Indonesia bahkan tidak sampai mendekati angka 5.000 personel sehingga tidak sebanding dengan jumlah permintaan.
Psikoterapi konvensional
Psikoterapi umumnya diberikan oleh psikolog. Bahkan, dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 45 Tahun 2017 pun hanya psikolog klinis yang diberikan wewenang melakukan psikoterapi dan bukan psikolog bidang lainnya. Tentu jumlah psikolog klinis yang ada tidak dapat memenuhi kebutuhan tersebut. Kondisi ini juga tidak akan terkejar hanya dengan menunggu satu universitas meluluskan psikiater atau psikolog karena membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk lulus.
Sampai hari ini kita masih mengandalkan bentuk psikoterapi konvensional. Psikolog akan memeriksa dan mengklasifikasikan secara spesifik keluhan klien ke dalam jenis-jenis gangguan sesuai dengan pedoman diagnosis dan selanjutnya menentukan psikoterapi apa yang sesuai. Proses ini sangat kompleks dan hanya mungkin dilakukan oleh tenaga spesialis. Model psikoterapi konvensional ini tentu sangat akurat, tetapi membutuhkan pertemuan yang intens dengan spesialis sehingga tidak banyak yang sanggup dalam hal waktu dan biaya.
Selain itu, terminologi yang ada dalam diagnosis rentan menimbulkan stigma terhadap diri sendiri, misalnya keluhan klien akan diklasifikasikan sebagai gangguan ”depresi”, ”kecemasan”, atau ”bipolar”. Terminologi ini akan mempengaruhi bagaimana klien melihat dirinya sendiri dan proses psikoterapi.
Dalam perkembangannya, terminologi dalam diagnosis jiwa telah dikonsumsi masyarakat umum sehingga menyebabkan stigma terhadap layanan kesehatan mental. Kata ”psikolog”, ”psikiater”, dan ”psikoterapi” menjadi berkonotasi negatif, dekat dengan makna tidak waras atau lemah sehingga masyarakat malu mengaksesnya.
Pada masyarakat perdesaan atau kelompok marjinal, bertemu psikolog dan psikiater juga membawa kesan yang sangat formal dan berat sehingga mereka merasa inferior dan tidak percaya diri. Maka, layanan psikoterapi pada akhirnya hanya dapat diakses oleh kalangan terbatas dan belum merepresentasikan layanan yang merakyat.
Psikologi kerakyatan
Sudah banyak penelitian di mayoritas negara berkembang bahwa psikolog dan psikiater bukan first contact yang dipilih masyarakat ketika mengalami masalah. Masyarakat lebih memilih datang pertama kali ke tokoh agama, penyembuh tradisional, guru spiritual, sahabat dekat, atau orang-orang tua di komunitas. Sayangnya para figur tersebut tidak memiliki kompetensi memberikan psikoterapi karena memang tidak pernah dilatih.
Dalam perkembangannya, terminologi dalam diagnosis jiwa telah dikonsumsi masyarakat umum sehingga menyebabkan stigma terhadap layanan kesehatan mental.
Padahal, perkembangan saat ini, beberapa negara berkembang telah menjalankan model intervensi psikologi kerakyatan, yaitu psikoterapi yang telah dirancang dalam versi lebih ringkas dan telah mengalami pengujian (evidence based treatment) serta dapat dilatihkan pada orang awam (kader jiwa) yang tidak memiliki pendidikan formal psikologi. Psikoterapi jenis ini tidak membutuhkan diagnosis formal dari psikolog atau psikiater, lebih inklusif, aksesibel, dan hemat biaya dengan memanfaatkan sumber daya manusia yang tersedia di satu wilayah.
Model intervensi ini dikenal dengan istilah low intensity intervention. Model intervensi kerakyatan ini membutuhkan pendelegasian wewenang dari profesional ke nonprofesional (task shifting) sehingga terjadi distribusi pengetahuan dan keterampilan dari kalangan terlatih kepada masyarakat awam.
Kader jiwa biasanya dilatih metode sederhana mengenali keluhan klien dan selanjutnya memberikan terapi sesuai manual yang dilatihkan. Bahkan dalam proses pengembangannya melibatkan kader lokal sebagai konsultan agar treatment sesuai dengan kultur budaya masyarakat setempat. Hal ini membuat jenis psikoterapi ini sangat sarat dengan nuansa kelokalan dan sedikit menggunakan terminologi diagnosis formal.
Zimbabwe telah mempraktikkannya, dengan nama friendship Bench, bahkan dengan merekrut nenek-nenek sebagai kader. Mereka dilatih mengenali gejala depresi dan melakukan intervensi psikologi dengan supervisi psikiater. Program intervensi yang dilakukan terbukti efektif menurunkan kasus depresi tingkat sedang dan angka bunuh diri. Di India ada program serupa dengan nama MANAS dan di Pakistan dengan thinking healthy. Semua itu dilakukan oleh masyarakat awam terlatih.
Indonesia tentu memiliki sumber daya yang melimpah, mulai dari ibu rumah tangga hingga tokoh agama. Beberapa di antaranya telah terlibat sebagai kader jiwa. Namun, pelibatan mereka sebatas petugas administrasi, perujuk, dan penyuluh, dan belum mampu memberikan psikoterapi. Belum ada pula satu model low intensity intervention yang dikembangkan secara paripurna hingga tingkat real world setting, dengan melibatkan sumber daya manusia di komunitas. Jika pun ada, hanya berhenti sebatas program pilot oleh beberapa peneliti di universitas.
Maka, sudah saatnya pemerintah berinvestasi secara serius di sektor kesehatan mental dengan mengembangkan model psikoterapi yang efektif dan merakyat, serta menguatkan peran kader dengan memberikan mereka wewenang melakukan psikoterapi. Hal ini akan membuat layanan psikoterapi menjadi lebih demokratis dan berkelanjutan karena para kader inilah yang sebenarnya sehari-hari hidup di tengah masyarakat.