Melibatkan psikolog yang menekuni bidang psikologi kesehatan sangat penting untuk meningkatkan upaya promosi dan prevensi di hulu. Peran psikologi amat penting untuk mencapai derajat kesehatan terbaik.
Oleh
EUNIKE SRI TYAS SUCI
·3 menit baca
HERYUNANTO
Ilustrasi
Tulisan dr Zainal Abidin dalam Kolom Opini Kompas pada 21 Januari 2023 tentang ”Mencari Peta Jalan Indonesia Sehat” menegaskan pentingnya peran hulu kesehatan melalui kerja sama dengan kader kesehatan dan agen pemberdaya kesehatan lain. Pertanyaan utama yang diajukan adalah, hulunya apa dan mau diserahkan kepada siapa? Dengan tegas beliau katakan bahwa hulu dari kesehatan adalah program promotif-preventif, termasuk di dalamnya upaya meningkatkan perilaku hidup sehat.
Zainal juga merekomendasikan untuk melibatkan para pemangku kepentingan atau mitra utama dan komponen masyarakat. Dalam upaya meningkatkan perilaku sehat, salah satu pemangku kepentingan yang perlu dirangkul tentu saja para ahli perilaku, yaitu psikolog. Khususnya psikolog yang mempunyai peminatan dalam bidang kesehatan. Sayangnya dalam konstelasi sistem layanan kesehatan nasional, psikologi kesehatan tidak dikenal.
Masyarakat dan sejawat kedokteran umumnya lebih mengenal bidang psikologi klinis karena dalam UU No 36/2014 tentang Tenaga Kesehatan Pasal 11 (1) menyebut kelompok ”tenaga psikologi klinis” yang selanjutnya kelompok ini diisi oleh psikolog klinis. Persisnya psikolog dengan peminatan klinis (merujuk UU No 23/2022 tentang Pendidikan dan Layanan Psikologi). Dalam struktur keorganisasian Kemenkes, tenaga psikologi klinis ini masuk dalam ranah kesehatan jiwa sehingga memberi kesan bahwa psikolog (klinis) yang menjadi tenaga kesehatan hanya mengurusi masalah gangguan jiwa saja.
Salah satu bidang psikologi lain yang perlu dikenal di lingkungan kesehatan adalah psikologi kesehatan. Baru-baru ini Penebit Buku Kompas (PBK) menerbitkan buku Psikologi Kesehatan: Konsep, Masalah, dan Pemikiran untuk Indonesia yang ditulis oleh sejumlah psikolog yang tergabung dalam Asosiasi Psikologi Kesehatan Indonesia (APKI).
Buku yang komprehensif tersebut membahas berbagai masalah kesehatan, tidak hanya kesehatan jiwa, dari kacamata psikologi. Ada promosi dan prevensi, mengelola penyakit kronis, masalah lansia, dukacita, disabilitas, adiksi, dan berbagai masalah kesehatan lainnya yang ditinjau dari perspektif biopsikososial.
Selain ahli kesehatan masyarakat, melibatkan psikolog yang menekuni bidang psikologi kesehatan untuk meningkatkan upaya promosi dan prevensi di hulu adalah sebuah keniscayaan.
Merujuk definisi American Association of Psychology (APA), psikologi kesehatan ”…examines how biological, social and psychological factors influence health and illness. Health psychologists use psychological science to promote health, prevent illness and improve health care systems.” Maka, selain ahli kesehatan masyarakat, melibatkan psikolog yang menekuni bidang psikologi kesehatan untuk meningkatkan upaya promosi dan prevensi di hulu adalah sebuah keniscayaan. Prof dr Tjandra Yoga Aditama SpP(K) dalam sambutannya menegaskan bahwa peran psikologi amatlah penting untuk mencapai derajat kesehatan terbaik.
Pengalaman sehat-sakit bagaikan garis kontinum dengan titik tengah netral di mana individu tidak merasa sakit, tetapi juga tidak ada upaya untuk memelihara kesehatannya. Maka, perlu ada upaya promosi perilaku sehat, misalnya berolahraga, untuk mencapai derajat kesehatan maksimal. Ini dinamakan sebagai model Salutogenesis. Sementara itu, upaya prevensi untuk menurunkan keparahan orang yang sudah sakit disebut sebagai model Pathogenesis (upaya prevensi agar penyakit atau patogen tidak menjadi lebih buruk).
Hulu-hilir kesehatan: sebuah piramida
Arsitektur kesehatan nasional yang dipaparkan oleh Gatot Soetono dalam Opini Kompas tanggal 30 Desember 2022 menunjukkan adanya kecenderungan pelayanan kesehatan yang berorientasi ke spesialis sehingga memicu defisit setiap tahun. Layanan primer yang diharapkan sebagai tempat penapisan masalah kesehatan akhirnya menjadi layanan rujukan ke fasilitas layanan kesehatan (fasyankes) yang berbiaya lebih mahal.
Untuk bisa membayangkan bagaimana hulu dan hilir arsitektur kesehatan nasional, barangkali kita bisa mengadopsi piramida kesehatan jiwa rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Bagian dasar piramida adalah paling luas, artinya kebutuhannya paling banyak dan berbiaya paling murah, yaitu perawatan diri. Model Salutogenesis bisa diterapkan di sini, dan inilah hulu kesehatan nasional.
Pada lapis berikutnya adalah upaya kesehatan berbasis komunitas dan masyarakat, misalnya kelompok senam ibu-ibu RT. Bisa juga komunitas pemerhati masalah kesehatan tertentu, misalnya Alzheimer’s Indonesia (Alzi) dengan moto kerennya, ”Jangan Maklum dengan Pikun”. Jika membutuhkan bantuan lebih lanjut, barulah mereka datang ke layanan kesehatan primer. Pada situasi yang lebih serius perlu dirujuk ke layanan spesialis di rumah sakit. Makin ke atas, diharapkan kebutuhan spesialis makin kecil karena biayanya juga makin tinggi.
Berbeda dengan pendidikan kesehatan lainnya (kedokteran, kebidanan, dan keperawatan), program pendidikan psikologi tidak hanya menghasilkan profesi psikolog, tetapi juga sarjana psikologi yang telah dibekali dengan kemampuan dasar observasi, wawancara, dan konseling. Mereka yang mempunyai peminatan kesehatan bisa terlibat dalam konseling, perawatan diri, dan keluarga.
Layanan konseling telah dilakukan para psikolog dalam mendukung program BKKBN melalui Pusat Pelayanan Keluarga Sejahtera (PPKS) yang memberi layanan konseling dalam berbagai permasalahan keluarga, misalnya konseling pranikah, konseling lansia, dan konseling sebaya untuk remaja. Dalam Omnibus law RUU Kesehatan, BKKBN rupanya akan berada di bawah pengelolaan Kemenkes. Dengan demikian, diharapkan arsitektur kesehatan nasional mempunyai kekuatan besar dalam meningkatkan upaya kesehatan di hulu sebagaimana disampaikan oleh dr Zainal Abidin.
Selama ini upaya promosi dan prevensi kesehatan bukanlah prioritas karena tenaga kesehatan dididik untuk melakukan tindakan pengobatan (curing). Dengan jumlah nakes dan puskesmas yang terbatas dan tidak merata, menambah tugas melakukan promosi dan prevensi tentu sangat berat.
Namun, pandemi Covid-19 membuktikan bahwa pemerintah berhasil mengubah perilaku masyarakat untuk mematuhi protokol kesehatan. Health Belief Model (HBM)—salah satu pendekatan dalam psikologi kesehatan—bisa menjelaskannya. Secara umum perilaku baru bisa dicapai jika individu merasa terancam (percieved threat), jika penyakit tersebut sangat serius (perceived seriousness), dan individu rentan mendapatkannya (percieved susceptibility).
Individu akan mengadopsi perilaku baru kalau diuntungkan (perceived benefits) dan tidak banyak hambatan dalam merealisasikan perilaku baru (perceived barriers). Dalam pandemi, semua tahu bahwa Covid-19 sangat mematikan dan kelompok komorbid lebih rentan terinfeksi. Pemerintah pun bekerja keras untuk meniadakan hambatan individu untuk mendapat pengobatan dan vaksinasi.
Dari fakta ini, dapat disimpulkan kalau pemerintah serius melakukan upaya promosi dan prevensi dengan melibatkan berbagai agen pemberdaya kesehatan lain, maka hulu dari masalah kesehatan bisa dilaksanakan. Membangun arsitektur kesehatan nasional dengan fondasi yang kuat adalah cita-cita bersama yang patut diwujudkan secara lintas sektoral dan lintas disiplin.
Eunike Sri Tyas Suci, Dosen Fakultas Psikologi Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Ketua Asosiasi Psikologi Kesehatan Indonesia 2018-2022