Kesehatan Jiwa Bagi Semua, Antara Asa dan Realita
Kesehatan jiwa patut mendapat perhatian besar baik oleh pemerintah juga masyarakat. Menilik definisi kesehatan yang mecakup aspek fisik, mental, dan sosial, maka kesehatan individu tak lepas dari kesehatan jiwanya.
Hari Kesehatan Jiwa Sedunia (HKJS) yang jatuh pada tanggal 10 Oktober 2021 mengambil tema “Mental Health in an Unequal World." Kesehatan Jiwa di Dunia yang Tidak Setara.
Kementerian Kesehatan RI menambahkan sub tema nasional “Kesetaraan Dalam Kesehatan Jiwa Untuk Semua.” Artinya, kesetaraan dalam kesehatan jiwa bagi seluruh rakyat Indonesia di dunia yang tidak setara. Sebuah cita-cita mulia dan perlu diperjuangkan, meski dalam kenyataan sangatlah sulit untuk diraih, bahkan mendekati “mission impossible.”
Kesetaraan dalam kesehatan secara umum masih menjadi pekerjaan rumah besar pemerintah mengingat indikator utama kesehatan Indonesia masih memprihatinkan dibanding negara-negara tetangga ASEAN. Bahkan dengan Vietnam yang baru menata diri setelah Perang Vietnam tahun 1970-an, beberapa indikator kesehatan Indonesia masih di bawah Vietnam.
Misalnya, pada 2017 angka kelahiran Indonesia 18,5 per 1000 penduduk, sementara Vietnam mampu menekan menjadi 14,9 per 1.000 penduduk. Angka kematian bayi di Indonesia adalah 25.1 per 1000 kelahiran hidup, dan Vietnam berhasil menurunkan 14.4 per 1000 kelahiran hidup (ASEAN Statistical Yearbook 2020).
Transisi demografi dan epidemiologi menunjukkan pergeseran dominasi beban penyakit, dari penyakit menular ke penyakit tidak menular (Kementerian PPN/Bappenas, 2019). Berada dalam transisi mengindikasikan Indonesia menanggung beban ganda, di mana masalah penyakit menular belum terselesaikan secara tuntas, sudah disusul oleh beban penyakit tidak menular. Lalu bagaimana dengan kesehatan jiwa?
Kesehatan jiwa sering secara sempit dimaknai sebagai terbebasnya individu dari gangguan jiwa berat seperti skizofrenia.
Data bicara realita
Apabila perhitungan angka prevalensi Riset Kesehatan Dasar (Riskedas) 2018 dilakukan pembobotan ulang ke level individu, maka indikator kesehatan jiwa di Indonesia mengalami stagnasi. Prevalensi gangguan jiwa berat (skizofrenia) pada Riskesdas 2013 dan 2018 relatif sama, yaitu 1,7 dan 1,675 per 1000 penduduk (Suci, 2021).
Laporan peningkatan jumlah kasus terjadi akibat peningkatan jumlah penduduk selama lima tahun. Proporsi pasung yang dilaporkan di kedua data itu juga tak jauh berbeda, 14,3 persen (2013) dan 14 persen (2018). Padahal, gerakan Indonesia Bebas Pasung telah dicanangkan sejak 2010.
Kesehatan jiwa sering secara sempit dimaknai sebagai terbebasnya individu dari gangguan jiwa berat seperti skizofrenia. UU No 18 Tahun 2014 tentang kesehatan jiwa mendefinisikan kesehatan jiwa sebagai “kondisi di mana seorang individu dapat berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan sosial sehingga individu tersebut menyadari kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif, dan mampu memberikan kontribusi untuk komunitasnya.” Dengan demikian cakupan masalah kesehatan jiwa sangat luas, merentang dari orang dengan masalah kejiwaan (ODMK) sampai orang dengan gangguan jiwa (ODGJ).
Masalah ODMK lebih sulit diketahui besarannya karena kita tak bisa menghitung jumlah penduduk yang mengalami stres jika mereka tak lapor dan mencari pertolongan. Data Riskesdas menunjukkan peningkatan prevalensi gangguan mental emosional dari 6 persen (2013) menjadi 9,8 persen (2018). Jika ODMK tidak mendapat bantuan, mereka berisiko menjadi ODGJ.
Realita yang tak setara
Ketidaksetaraan dalam kesehatan jiwa di Indonesia disebabkan oleh berbagai faktor. Pertama, kondisi geografis dan demografis Indonesia yang merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan lebih dari 17.000 pulau di mana penduduknya tersebar di 6.000 pulau. Dari total 275 juta penduduk, 66 persen tinggal di Pulau Jawa yang luasnya tidak sampai 7 persen dari seluruh daratan Indonesia. Kondisi geografis dan demografis ini menyulitkan upaya kesehatan jiwa yang merata.
Kedua, rasio dan sebaran tenaga kesehatan jiwa di Indonesia masih jauh dari harapan. Saat ini diperkirakan di Indonesia terdapat 987 psikiater, 7.000 perawat jiwa dan 3.349 psikolog klinis (Suci 2021; ipkindonesia.or.id). Dengan demikian, seorang psikiater melayani 273.154 penduduk, sementara seorang perawat jiwa melayani 38.515 penduduk, dan seorang psikolog klinis melayani 81.287 penduduk. Angka ini jauh dari ideal, apalagi sebarannya tak merata.
Sebagai contoh, di DKI Jakarta terdapat 418 psikolog klinis dengan rasio seorang psikolog klinis melayani 25.301 penduduk. Sementara di NTT hanya ada 11 psikolog klinis, di mana setiap psikolog klinis melayani 501.218 penduduk.
Ketiga, stigma dan diskriminasi. Individu yang mengalami masalah kejiwaan enggan mencari pertolongan ke layanan kesehatan karena merasa tak butuh, jauh, atau takut akan stigma, perundungan dan diskriminasi. Masyarakat, para pekerja media (koran, majalah, TV dan sosial media), bahkan tenaga kesehatan masih ada yang menggunakan kata ‘gila’ kepada ODGJ.
Masyarakat, para pekerja media (koran, majalah, TV dan sosial media), bahkan tenaga kesehatan masih ada yang menggunakan kata ‘gila’ kepada ODGJ.
Keempat, anggaran kesehatan jiwa yang terbatas, sekitar 1 persen dari total anggaran kesehatan (Pols 2020). Kesehatan jiwa berada di bawah Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza. Artinya anggaran untuk kesehatan jiwa berbagi dengan napza. Di kabupaten/kota, otonomi daerah membuat pemerintah daerah berwenang mengalokasikan anggaran daerah sesuai dengan apa yang dianggap perlu. Artinya, pemerintah daerah yang tak peduli kesehatan jiwa bisa saja merancang anggaran yang amat terbatas.
Kesehatan jiwa di masa pandemi
Pandemi Covid-19 yang berlangsung hampir 20 bulan mengubah rencana-rencana yang telah disusun sebelumnya. Pemerintah pusat maupun daerah perlu melakukan realokasi anggaran dengan prioritas penanganan pandemi. Alhasil, anggaran kesehatan jiwa yang sedikit berisiko berkurang. Padahal, pandemi berkepanjangan ini mengubah tatanan dan perilaku masyarakat.
Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) memberikan layanan daring swaperiksa terkait cemas, depresi, dan trauma di laman utamanya. Terdapat 2.364 pengguna layanan yang tersebar di 34 provinsi. Sejumlah 69 persen mengakui adanya masalah psikologis, 68 persen kecemasan, 67 persen depresi, dan 77 persen trauma psikologis. Sekitar 49 persen yang depresi sempat berpikir kematian (http://pdskji.org/home).
Tak hanya masyarakat yang mengalami masalah kejiwaan, namun tenaga kesehatan juga. Asosiasi Psikologi Kesehatan Indonesia (APKI, 2020) melakukan survei secara daring kepada 213 tenaga kesehatan dan menemukan bahwa 27,3 persen membutuhkan dukungan keluarga dan 25,6 persen butuh dukungan dari sesama profesi. Kebutuhan konseling profesional atau psikolog hanya berkisar 11-13 persen saja. Stigma jadi klien konselor atau psikolog.
Kesehatan jiwa berbasis masyarakat
Badan Kesehatan Dunia (WHO) telah memperbarui Mental Health Action Plan 2013-2020 menjadi Comprehensive Mental Health Action Plan 2013-2030. Empat sasaran utama rencana aksi (action plan) yang tak berubah mengindikasikan keempat sasaran itu belum tercapai sehingga perlu diperpanjang sampai 2030, yaitu: (1) penguatan kepemimpinan dan tata kelola; (2) layanan kesehatan jiwa dan kesejahteraan sosial berbasis masyarakat yang komprehensif, terintegrasi dan responsif; (3) implementasi promosi dan prevensi; serta (4) penguatan sistem informasi, bukti dan penelitian.
Pelaksanaan rencana aksi perlu menjunjung enam prinsip dasar antara lain cakupan kesehatan semesta, hak asasi manusia (HAM), pendekatan sepanjang hayat, dan pelibatan lintas sektor.
Di Indonesia, pelaksanaan rencana aksi layanan kesehatan jiwa dan kesejahteraan sosial melibatkan Kementerian Kesehatan dan Kementerian Sosial. Dengan adanya otonomi daerah, pelaksanaan layanan kesehatan jiwa dan kesejahteraan sosial perlu melibatkan pemda setempat, sehingga penguatan kepemimpinan dan tata kelola adalah mutlak agar layanan kesehatan jiwa dan kesejahteraan sosial bagi penyandang disabilitas mental mendapat penanganan yang komprehensif. Dalam hal ini, penguatan sistem informasi dan koordinasi antara pemda, dinas kesehatan, dan dinas sosial amat diperlukan.
Keterlibatan komponen masyarakat, baik tokoh agama, tokoh masyarakat, komunitas pemerhati kesehatan jiwa, dan media lokal maupun media sosial mempunyai daya ungkit yang luar biasa dalam menggugah pemda untuk meningkatkan layanan kesehatan jiwa. Akses internet dan media sosial selama pandemi menjadi makin intens karena masyarakat diharapkan untuk tetap di rumah dan melakukan kegiatan harian (bekerja, sekolah, kuliah, belanja, dan lain-lain) secara daring.
Masalah kesehatan jiwa tidak melulu tentang gangguan jiwa berat seperti skizofrenia, namun juga mereka yang hidup dalam masyarakat yang mengalami masalah-masalah kejiwaan (ODMK).
Masalah kesehatan jiwa tidak melulu tentang gangguan jiwa berat seperti skizofrenia, namun juga mereka yang hidup dalam masyarakat yang mengalami masalah-masalah kejiwaan (ODMK). Oleh karena fungsi sosial mereka masih bisa dilakukan, maka jumlah kasus orang yang terlapor mengalami masalah kejiwaan bagaikan fenomena puncak gunung es, karena jumlah yang sesungguhnya sulit diketahui dan mungkin jauh lebih besar.
Rencana aksi nomor 4, yaitu implementasi promosi dan prevensi, menjadi suatu keniscayaan. Gangguan jiwa berat tidak terjadi tiba-tiba, ia adalah produk dari permasalahan psikososial individu yang tak terselesaikan. Faktor genetik dan biologis (misal cedera otak) juga penyumbang kasus gangguan jiwa berat, namun jumlahnya lebih kecil.
Apabila gangguan jiwa berat membutuhkan bantuan profesional (psikiater, psikolog klinis, perawat jiwa), upaya promosi dan prevensi pengelolaan masalah psikososial perlu melibatkan ahli sosial (sarjana psikologi, psikolog, antropolog, sosiolog, ahli hukum, pekerja sosial, dan lain-lain), serta seluruh komponen masyarakat (kader, LSM, tokoh agama dan tokoh masyarakat).
Baca juga : Perh masyakuat Layanan Kesehatan Jiwa Berbasis Masyarakat
Dalam Piramida Layanan Kesehatan Jiwa yang Optimal Rekomendasi WHO, tampak nyata bahwa kebutuhan kelompok kedua ini berada di dua tahap paling bawah piramida, di mana jumlah layanan kesehatan jiwa secara informal yang dibutuhkan amatlah besar namun berbiaya rendah.
Perawatan diri menjadi sokoguru kesehatan jiwa karena ia menjadi upaya dasar prevensi dan melintas pada seluruh layanan kesehatan jiwa baik formal maupun informal. Sebaliknya, layanan kesehatan formal di setting Puskesmas, rumah sakit, dan Rumah Sakit Jiwa sangat diperlukan bagi mereka yang mengalami gangguan jiwa lebih berat.
Kebutuhannya lebih rendah, namun biaya yang perlu dibelanjakan lebih tinggi. Dengan demikian upaya prevensi dan promosi yang bisa dilakukan seluruh komponen masyarakat dan pemerhati kesehatan jiwa jadi ujung tombak dari layanan kesehatan jiwa yang paripurna.
Asa itu ada
Piramida layanan kesehatan jiwa yang mengintegrasikan komponen masyarakat dapat diharapkan mampu menutup kekurangan tenaga kesehatan jiwa profesional dalam waktu relatif cepat, ketimbang menunggu para mahasiswa menyelesaikan pendidikannya. Pelibatan komponen masyarakat juga memberi ruang pada tenaga kesehatan jiwa profesional untuk bersama keluarganya dan memelihara kesehatan jiwanya. Teresa Hoeft dkk (2017) menyebutnya task-sharing atau task-shifting.
Buku Jiwa Sehat, Negara Kuat: Masa depan layanan kesehatan jiwa di Indonesia (Pols dkk, 2019) memaparkan dengan jelas bagaimana task-sharing berhasil diimplementasikan di Aceh saat tsunami meluluhlantakkan provinsi ini. Keberhasilan “Model Aceh” ini diharapkan bisa diterapkan oleh provinsi lainnya tentu dengan mempertimbangkan kondisi demografis wilayah setempat.
Kesehatan jiwa patut mendapat perhatian lebih besar baik oleh pemerintah pusat dan daerah, juga oleh komponen masyarakat. Menilik definisi kesehatan yang mencakup aspek fisik, mental, dan sosial, maka kesehatan individu tak lepas dari kesehatan jiwanya. “There is no health without mental health”, kata Prince dkk. (2007). Menyadari bahwa akar masalah kejiwaan sering bersumber dari masalah psikososial, maka motto ini perlu dilengkapi dengan “There is no mental health without social health.”
Eunike Sri Tyas Suci Ketua Asosiasi Psikologi Kesehatan Indonesia, Dosen Unika Atma Jaya