Jika ketentuan dalam UUD 1945 dicermati, maka pemilu, khususnya pilpres, memang dirancang untuk dua putaran. Dengan demikian, anggaran yang disediakan di dalam pilpres mestilah untuk dua putaran.
Kenapa? Karena ”simpang siur” berita calon presiden dan calon wakil presiden selama ini penulis lihat menggambarkan upaya tampilnya kecenderungan pasangan calon cukup dua pasangan. Dengan begitu, pemilu (khususnya pilpres) cukup satu putaran.
Kekeliruan seperti ini sesungguhnya sudah dimulai dari pemilu-pemilu sebelumnya, bahkan penyelenggaraan pemilu yang terpisah antara pileg (memilih DPR, DPD, dan DPRD) dengan pilpres. Padahal, sejak awal yang dirumuskan di Pasal 22E UUD 1945 adalah pemilu serempak. Setiap pemilih yang memasuki bilik suara menghadapi lima kotak suara, kotak itu terdiri dari pasangan capres-cawapres, anggota DPR, anggota DPD, serta anggota DPRD provinsi dan anggota DPRD kabupaten/kota.
Untunglah kemudian kekeliruan ini diluruskan oleh Mahkamah Konstitusi, dengan memutuskan pemilu serempak. Memang akan lebih menyulitkan pemilih, tetapi itulah langkah yang disepakati. Tentang bagaimana mendidik masyarakat agar lebih memahaminya, menjadi tugas bersama.
Pemilu diselenggarakan serempak, membuat presidential threshold yang 20 persen tidak berlaku lagi. Dan, inilah kekeliruan lain dalam pemilu yang berlangsung beberapa kali. Bahkan, ada yang menuduh rumus presidential threshold yang 20 persen akibat Perubahan UUD 1945.
Padahal, Perubahan UUD 1945 tidak merumuskan tentang presidential threshold, khususnya yang 20 persen. Rumusan itu dicantumkan di UU Pemilu. Lihat Pasal 222 UU Pemilu 2019 berdasarkan UU Nomor 7/2017 tentang Pemilihan Umum.
Dua putaran
Dalam sebuah diskusi yang diselenggarakan Forum Konstitusi bersama Bappenas, di Depok, pada 27–29 Juli 2023, pendapat tersebut tecermin. Bagian terbesar peserta diskusi mempertanyakan tentang presidential threshold yang 20 persen ini. Bahkan, salah seorang mengatakan kalau itu hanya akal-akalan partai politik.
Yang menarik, seorang tenaga ahli dari Mahkamah Konstitusi menanyakan tentang original intent pembahasan tentang presidential threshold di saat membahas Pasal 6A UUD 1945. Kenapa tidak ada, tanya dia.
”Bagaimana Anda bertanya tentang sesuatu yang tidak ada!” jawab penulis. Di dalam pembahasan di Panitia Ad Hoc (PAH) I Badan Pekerja MPR tidak pernah dibahas tentang presidential threshold itu. Berapa pun jumlahnya. Jangankan dibahas, dipikirkan pun tidak. Karena itu memang tidak ada.
Jika tidak ada, artinya tidak ada. Karena itu tidak perlu dipersoalkan berapa jumlahnya, apa 20 persen, kurang dari 20 persen, atau 0 persen. Apakah ini bisa menjadi open legal policy? Apakah yang tidak ada, bisa dijadikan kebijakan yang terbuka?
Di dalam pembahasan di Panitia Ad Hoc (PAH) I Badan Pekerja MPR tidak pernah dibahas tentang presidential threshold itu.
Tampaknya perlu dipikirkan para hakim di Mahkamah Konstitusi agar uji materi RUU Pemilu yang menyangkut tentang presidential threshold dapat diterima. Lebih-lebih setelah pemilu serempak diputuskan MK.
Yang dirumuskan di Pasal 6A Ayat (2), bahwa capres dan cawapres diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum. Dengan jumlah partai politik yang ”banyak”, maka akan muncul calon yang ”banyak”. Berapa? Bisa dua, bisa tiga, atau bisa lebih pasangan capres-cawapres. Katakanlah tiga pasangan capres-cawapres.
Jika ada pasangan calon yang mendapat suara lebih dari 50 persen dari jumlah suara dan sedikitnya 20 persen suara di lebih dari setengah jumlah provinsi yang ada, dilantik menjadi presiden dan wakil presiden. Kini di Indonesia terdapat 38 provinsi. Jika tidak ada calon pasangan yang mendapatkan suara seperti yang dirumuskan di atas, maka dilaksanakan pilpres putaran kedua.
KOMPAS
Komisi II DPR menyetujui pagu anggaran Pemilu 2024 hanya untuk pilpres satu putaran. Hal ini disetujui dalam rapat dengar pendapat Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat dengan Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu, Selasa (12/9/2023).
Semua uraian itu tertulis di Pasal 6A UUD 1945. Jika dicermati, maka pemilu, khususnya pilpres, memang dirancang untuk dua putaran. Jika pada satu putaran sudah ada pasangan capres-cawapres yang terpilih sesuai dengan syarat keterpilihan, maka pilpres dianggap selesai.
Jika belum ada yang terpilih, maka diselenggarakan pilpres putaran kedua, dengan peserta capres dan cawapres yang mendapat suara terbanyak pertama dan kedua. Dalam pilpres putaran kedua ini, niscaya akan ada capres dan cawapres yang memenuhi syarat keterpilihan tersebut. Dan, itulah yang dilantik sebagai presiden dan wakil presiden.
Dengan demikian, anggaran yang disediakan di dalam pilpres mestilah untuk dua putaran. Akan terasa aneh jika hanya disediakan anggaran untuk satu putaran. Tentang penggunaan sisa anggaran yang tidak terpakai, tentu ada mekanisme sendiri.
Soal menghemat uang negara, dapat ditempuh dengan cara lain. Akan tetapi melalui cara yang sesuai dengan Undang-Undang Dasar.