Upaya pengendalian polusi perlu menerapkan mekanisme kompensasi populasi rentan dengan pendekatan yang lebih manusiawi. Ini akan membentuk kebijakan yang holistik dan berkelanjutan.
Oleh
IRVAN MAULANA
·4 menit baca
Tahun ini, peringatan Hari Udara Bersih Internasional yang jatuh pada 7 September mengusung tema ”Together for Clean Air”, menyoroti urgensi kemitraan yang solid dan tanggung jawab bersama dalam melawan polusi udara. Tema ini menggarisbawahi pentingnya mencari solusi holistik untuk menyelesaikan masalah polusi udara, termasuk upaya untuk memastikan bahwa tidak ada masyarakat yang tersisih dalam setiap kebijakan, termasuk kelompok masyarakat yang paling rentan.
Kebijakan mengurangi dampak polusi udara sering kali hanya terpusat pada upaya peningkatan kualitas udara di wilayah-wilayah yang paling tercemar. Perlu ada pergeseran fokus dari hanya menargetkan tempat-tempat dengan tingkat polusi tinggi ke arah pelayanan bagi mereka yang paling rentan. Pendekatan konvensional dalam perbaikan kualitas udara telah lama berfokus pada daerah-daerah yang tingkat polusinya tinggi, tetapi sering kali mengabaikan pertanyaan penting, bagaimana biaya dan manfaat (cost-benefit) masyarakat yang terdampak polusi dapat terdistribusi secara adil?
Menurut Hsiang (2018), manfaat dari upaya perbaikan kualitas udara perlu didistribusikan secara adil kepada seluruh masyarakat, terutama yang berada di wilayah rentan atau terpinggirkan. Kita perlu memperhitungkan kesejahteraan dan kesehatan seluruh warga sehingga tidak ada yang tertinggal dalam upaya perbaikan lingkungan. Menariknya, penelitian Bento (2014) mengungkapkan bahwa kebijakan lingkungan sebenarnya bersifat progresif, yang berlawanan dengan pandangan lama seakan-akan komunitas miskinlah yang paling menderita akibat kepatuhan terhadap regulasi lingkungan.
Padahal, kebijakan lingkungan memberikan manfaat yang lebih besar kepada komunitas atau individu dengan pendapatan atau kondisi ekonomi yang lebih rendah daripada kepada komunitas atau individu yang lebih kaya. Artinya, dampak dari kebijakan tersebut, baik positif maupun negatif, lebih besar dirasakan oleh komunitas atau individu dengan pendapatan atau kondisi ekonomi yang lebih rendah. Hal ini menunjukkan perlunya eksplorasi lebih lanjut dalam merancang kebijakan lingkungan yang dapat memberikan manfaat lebih besar bagi masyarakat secara keseluruhan.
Dalam upaya mengendalikan polusi, pemerintah sering mengadopsi tiga pendekatan berbeda. Pertama, pendekatan command and control (CAC, atur dan awasi), di mana pemerintah menetapkan aturan ketat yang harus diikuti oleh perusahaan atau individu dalam aktivitas yang menghasilkan polusi. Masalahnya, meskipun regulasi CAC ini merupakan yang paling sering digunakan pemerintah, pendekatan ini sering dikritik karena belum optimal melindungi hak-hak masyarakat dari dampak negatif polusi yang dihasilkan oleh perusahaan atau individu lainnya.
Bahkan, pendekatan ini rentan terhadap praktik kapitalisme kroni (crony capitalism), di mana kelompok industri yang berkepentingan khusus dapat memengaruhi birokrasi untuk mewajibkan teknologi tertentu yang akan menghalangi pesaing-pesaing mereka melakukan ekspansi pasar.
Kedua, pendekatan pajak emisi (emissions taxes), di mana pemerintah memberikan insentif ekonomi bagi perusahaan untuk mengurangi emisi mereka. Ketiga, skema cap and trade atau sering disebut tradable permit (izin emisi yang dapat diperdagangkan), di mana pemerintah menetapkan batas maksimum polusi yang diizinkan dan memberikan hak kepada pemegangnya untuk melepas emisi dalam jumlah tertentu, membeli izin jika emisi meningkat, dan menjual izin jika emisi menurun.
Jika pada akhirnya pemerintah memberlakukan pajak emisi atau skema cap and trade, tetap saja kedua sistem tersebut tidak memiliki mekanisme yang terukur untuk mengompensasi para korban polusi atas kerugian yang terus mereka alami secara berulang. Pajak, denda, atau hasil lelang izin emisi masuk ke pemerintah, bukan kepada mereka yang menderita dampak polusi.
Selain itu, mekanisme cap and trade berpotensi memindahkan emisi di antara penghasil polusi di wilayah yang berbeda, tentu polusi akan berpindah tanpa ada kompensasi bagi warga yang terkena dampak di daerah baru. Perpindahan polusi akan menyebabkan disparitas sosial dan ekonomi kian melebar.
Pajak, denda, atau hasil lelang izin emisi masuk ke pemerintah, bukan kepada mereka yang menderita dampak polusi.
Untuk itu, beberapa negara kini mulai mempertimbangkan mekanisme kompensasi populasi rentan dengan pendekatan yang lebih manusiawi. Selama ini, belum ada mekanisme memadai yang memihak pada masyarakat di sekitar situs-situs industri, seperti pabrik kimia, kawasan industri, atau pembangkit listrik batubara.
Uni Eropa (UE), misalnya, mulai merespons peningkatan dampak polusi udara dengan memperbarui instruksi (directive) terkait polusi udara untuk pertama kali sejak 2008, yang dijadwalkan mulai berlaku pada akhir 2023 atau awal 2024. Revisi ini bertujuan untuk mengakhiri impunitas yang dilakukan oleh para pencemar di seluruh UE yang melanggar batas polusi udara.
Pengadilan Administratif Paris juga menegakkan putusan historis pada 16 Juni 2023, memerintahkan Pemerintah Perancis untuk membayar ganti rugi kepada orangtua dua anak yang menderita bronkiolitis dan infeksi telinga akibat polusi udara. Ini adalah pengakuan pertama oleh pengadilan terhadap hubungan sebab-akibat antara penyakit dan polusi udara, didukung oleh data statistik yang menunjukkan dampak signifikan polusi terhadap kesehatan anak (Le Monde, 20/6/2023).
Di Indonesia, meski belum ada aturan khusus tentang kompensasi finansial akibat polusi udara, pada 17 Oktober 2022 masyarakat berhasil memenangi perkara atas gugatan polusi udara di Jakarta setelah Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Sayangnya, hingga kini pemerintah belum juga mengimplementasikan amanah putusan pengadilan untuk memperbaiki kualitas udara di Jakarta. Ini karena pihak pemerintah mengajukan kasasi yang ditanggapi pihak penggugat dengan mengajukan kontrakasasi, tetapi sampai hari ini belum juga diketuk palu oleh Mahkamah Agung.
Kekosongan dalam perlindungan masyarakat rentan ini perlu dievaluasi agar warga yang terkena dampak buruk dari polusi udara atau pencemaran industri juga mendapatkan perlindungan hukum dan memperoleh kompensasi yang sesuai. Lemahnya perlindungan masyarakat terdampak polusi disebabkan pemerintah sering kali sulit untuk menentukan besaran biaya lingkungan yang timbul akibat polusi udara (marginal social cost/MSC) (Terrell, 2023).
Dalam konteks lingkungan, MSC merujuk pada biaya tambahan yang ditanggung masyarakat karena aktivitas yang menciptakan polusi atau dampak lingkungan, termasuk dampak pada kesehatan manusia, kerusakan lingkungan, dan dampak sosial. Konsep MSC penting dalam ekonomi lingkungan karena membantu mengukur dampak penuh aktivitas ekonomi terhadap masyarakat, termasuk dampak yang bersifat eksternal atau tidak langsung.
Minimnya data dan informasi MSC membuat pemerintah sulit menentukan kebijakan kompensasi dan perlindungan masyarakat yang sebanding dengan kerugian yang ditimbulkan. Dengan kata lain, selama perumusan aturan terkait polusi, pemerintah tidak memiliki cukup referensi dan dorongan politik untuk mengukur sejauh mana polusi berdampak dan bagaimana masyarakat harus dijamin kompensasi. Dalam jangka panjang, jika tidak ada internalisasi efisiensi sosial (MSC), maka kebijakan pemerintah, peraturan lingkungan, ataupun putusan pengadilan terkait polusi udara akan cenderung bias.
Meskipun cukup rumit menetapkan kompensasi berdasarkan konsensus tentang kuantifikasi biaya sosial marginal (MSC), secara sederhana hal itu dapat diterjemahkan dalam beberapa langkah konkret.
Pertama, perluasan layanan kesehatan yang terjangkau di daerah-daerah berpolusi tinggi (pollution haven) dengan proporsi pendapatan per kapita yang rendah. Masyarakat berpendapatan rendah sering kali terpapar tingkat polusi yang lebih tinggi, dan disparitas ini semakin meningkat seiring waktu. Kelompok ini cenderung lebih rentan terhadap dampak polusi karena pekerjaan dengan bayaran rendah lebih cenderung memerlukan pekerjaan fisik di luar ruangan, yang meningkatkan paparan polusi.
Kedua, perlu memperkuat transparansi terkait dampak lingkungan dan kesehatan yang dapat mengalihkan polusi dari komunitas berpendapatan rendah. Maka, penting mempertimbangkan karakteristik lingkungan dan sosial ekonomi penduduk lokal sebagai dasar ganti rugi atas berkurangnya kesejahteraan mereka akibat polusi udara.
Ketiga, merumuskan peraturan pengenaan denda dan kompensasi yang sebanding dengan perputaran keuangan perusahaan yang melanggar batas kualitas udara untuk mengimbangi manfaat ekonomi yang diperoleh dari pelanggaran tersebut. Usulan ini selanjutnya bisa merujuk pada model collective redress (ganti rugi kolektif) yang memungkinkan individu dan organisasi publik untuk mencari penyelesaian kolektif atas nama konsumen.
Dalam konflik lingkungan dengan berbagai kepentingan, merumuskan kebijakan yang berpihak kepada masyarakat rentan tidaklah mudah. Namun, menangani dampak polusi berdasarkan hak-hak individu daripada perhitungan efisiensi sosial yang rumit merupakan pilihan terbaik, baik secara praktis maupun etis. Ini akan membentuk kebijakan yang holistik dan berkelanjutan dengan menyasar akar masalah, bukan sekadar kebijakan kuratif, parsial, dan temporer.
Irvan Maulana, Direktur Center of Economic and Social Innovation Studies (CESIS)