Beranikah Pemerintah Tuntut Ganti Rugi kepada Pencemar Udara?
Yang menjadi trustee dan berwenang melakukan gugatan terhadap kerugian lingkungan hidup adalah pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Mengapa kementerian dan pemda tidak menuntut ganti rugi kepada pencemar udara ?
Polusi yang terus memburuk di Jakarta dan sekitarnya mengakibatkan kerugian materi yang cukup fantastis. Angka kerugian akibat polusi udara sepanjang 2023 ini saja, menurut Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbal Ahmad Safrudin, lebih dari Rp 60 triliun. Angka ini diprediksi akan terus naik.
Di Indonesia, UU Nomor 32/ 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) tak mendefinisikan secara khusus kerugian lingkungan. Namun, kerugian lingkungan ini dapat ditemukan dalam Pasal 90 UUPPLH tentang Hak Gugat Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
Disebutkan dalam Ayat (1): Instansi pemerintah dan pemerintah daerah yang bertanggung jawab di bidang lingkungan hidup berwenang mengajukan gugatan ganti rugi dan tindakan tertentu terhadap usaha dan/atau kegiatan yang menyebabkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang mengakibatkan kerugian lingkungan hidup.
Dalam penjelasan pasal ini disebutkan, kerugian lingkungan hidup adalah kerugian yang timbul akibat adanya pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup yang bukan merupakan hak milik privat.
Berdasarkan ketentuan ini, dapat dilihat UUPPLH mengartikan kerugian lingkungan adalah kerugian yang tidak termasuk ke dalam hak milik privat. UU ini kemudian memberikan hak kepada pemerintah—dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan/atau pemerintah daerah—untuk mengajukan gugatan guna meminta ganti rugi serta dilakukannya tindakan tertentu.
Namun, menurut Guru Besar Hukum Lingkungan UI Andri Wibisana, tak ditemukan keterkaitan antara kerugian lingkungan yang diatur dalam UUPPLH dan kerugian yang diatur dalam hukum perdata.
Di Indonesia, UU Nomor 32/ 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) tak mendefinisikan secara khusus kerugian lingkungan.
Kerugian lingkungan juga diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup (Permen LH) No 7/2014 tentang Kerugian Lingkungan Hidup akibat Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup.
Dalam Pasal 1 Angka 2, kerugian lingkungan diartikan sebagai kerugian yang timbul akibat adanya pencemaran dan/ atau kerusakan lingkungan, yang tak termasuk ke dalam hak milik privat. Selanjutnya, dalam Pasal 3 disebutkan, kerugian lingkungan bisa dibagi menjadi empat kelompok.
Pertama, kerugian karena dilampauinya baku mutu lingkungan hidup (BML) sebagai akibat tidak dilaksanakannya semua atau sebagian kewajiban pengolahan air limbah, emisi dan/atau pengelolaan limbah bahan bahaya dan beracun (B3).
Kedua, kerugian untuk penggantian biaya pelaksanaan penyelesaian sengketa lingkungan hidup yang meliputi biaya verifikasi lapangan, biaya analisis laboratorium, biaya ahli, biaya pengawasan pelaksanaan pembayaran kerugian lingkungan hidup.
Ketiga, kerugian untuk pengganti biaya penanggulangan pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup, serta pemulihan lingkungan hidup.
Terakhir, keempat, adalah kerugian ekosistem.
Pemulihan lingkungan
Pemulihan lingkungan juga tak didefinisikan secara detail di UUPPLH. Namun, ketentuan mengenai pemulihan ini bisa ditemukan dalam Bab V yang mengatur tentang pengendalian, khususnya bagian keempat bab ini, yakni tentang pemulihan.
Pasal 13 UUPPLH menyebutkan bahwa pengendalian terhadap pencemaran dan/atau kerusakan dilakukan dalam rangka pelestarian lingkungan hidup. Salah satu bentuk dari pengendalian ini adalah pemulihan.
Pasal 13 Ayat (3) kemudian mengatur bahwa pihak yang bertanggung jawab melaksanakan pengendalian, termasuk pemulihan, adalah pemerintah, pemerintah daerah, dan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan, sesuai dengan kewenangan, peran, dan tanggung jawab tiap-tiap pihak tersebut.
Adapun pemulihan fungsi lingkungan hidup dilakukan dengan tahap berupa, pertama, penghentian sumber pencemaran dan pembersihan unsur pencemar. Kemudian, kedua, remediasi. Ketiga, rehabilitasi. Keempat, restorasi; dan/atau, kelima, cara lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Ketentuan mengenai kewajiban pemulihan juga dapat ditemukan dalam Pasal 82 UUPPLH, yakni pada bagian pengaturan sanksi administrasi, di mana Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Menteri LHK) dan juga kepala daerah provinsi dan kabupaten/kota memiliki wewenang untuk memaksa penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang menimbulkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup untuk melakukan pemulihan.
Menteri LHK, gubernur, bupati, dan wali kota, juga memiliki wewenang atau dapat menunjuk pihak ketiga untuk melakukan pemulihan dimaksud, dengan biaya dari penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan.
Ketentuan ini diubah melalui UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja, di mana pihak yang berwenang memaksa penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan, ataupun menunjuk pihak ketiga, untuk melakukan pemulihan atas biaya penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan, hanyalah pemerintah pusat.
Dalam Pasal 55 UUPPLH ditentukan kewajiban penyediaan dana penjaminan pemulihan bagi setiap pemegang izin lingkungan, yang kemudian akan disimpan di dalam bank pemerintah yang ditunjuk Menteri LHK, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan kewenangannya.
Selain itu, Menteri LHK, gubernur, atau bupati/wali kota memiliki wewenang untuk menetapkan pihak ketiga untuk melakukan pemulihan dengan menggunakan dana jaminan.
Pasal 55 UUPPLH tersebut kemudian juga mengalami perubahan setelah diundangkannya UU Cipta Kerja. Pihak yang wajib memiliki dana jaminan pemulihan, menurut UU ini, adalah pemegang persetujuan lingkungan, di mana dana tersebut disimpan di dalam bank pemerintah yang ditunjuk oleh pemerintah pusat.
Dalam hal ini dapat dilihat adanya penarikan kewenangan ke pusat, dari yang sebelumnya diberikan sebagian kepada pemerintah daerah provinsi dan atau kabupaten/kota.
Selain itu, penetapan pihak ketiga yang akan melakukan pemulihan dengan menggunakan dana jaminan yang disetor oleh pemegang persetujuan lingkungan juga hanya dilakukan oleh pemerintah pusat.
Ketentuan ini menunjukkan bahwa yang menjadi trustee di Indonesia dan berwenang untuk melakukan gugatan terhadap kerugian lingkungan hidup adalah pemerintah pusat dan pemerintah daerah semata.
Ketentuan mengenai pemulihan dan dana jaminan pemulihan juga diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 46/ 2017 tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup (PPIE). Dalam Pasal 21 Ayat (1) PP ini disebutkan bahwa dana jaminan pemulihan digunakan untuk melakukan kegiatan penanggulangan keadaan darurat lingkungan hidup di wilayah usaha dan/atau kegiatan yang disebabkan oleh usaha dan/atau kegiatannya, dan kegiatan pemulihan lingkungan pascaoperasi di wilayah usaha dan/atau kegiatan yang disebabkan oleh usaha dan/atau kegiatannya.
Pelaksanaan pemulihan diatur dalam Pasal 21 Ayat (3). Tindakan ini terdiri dari, pertama, pembersihan unsur pencemar dan atau perusak lingkungan hidup. Kedua, remediasi. Ketiga, rehabilitasi. Keempat, restorasi; dan/atau, kelima, upaya penanganan lain yang sesuai dengan iptek atau peraturan perundang-undangan.
Gugatan ganti rugi
Sementara itu, Pasal 90 UUPPLH menyatakan bahwa instansi pemerintah, dalam hal ini Kementerian LHK, dan pemerintah daerah yang bertanggung jawab di bidang lingkungan hidup, berwenang mengajukan gugatan ganti rugi dan tindakan tertentu terhadap usaha dan/atau kegiatan yang menyebabkan pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup yang mengakibatkan kerugian lingkungan hidup.
Ketentuan ini menunjukkan bahwa yang menjadi trustee di Indonesia dan berwenang untuk melakukan gugatan terhadap kerugian lingkungan hidup adalah pemerintah pusat dan pemerintah daerah semata.
Lantas, mengapa kementerian dan pemda tidak menuntut ganti rugi terhadap pemulihan lingkungan hidup kepada pencemar udara di Jakarta?
Laura Astrid H PurbaKandidat Doktor Hukum Lingkungan Universitas Indonesia, Pegawai Negeri Sipil di Sudin Lingkungan Hidup Jakarta Selatan