Kerugian akibat Polusi Triliunan Rupiah, Warga Gugat Pemerintah dan Industri
Berbagai kerugian, baik itu biaya perawatan maupun risiko kematian akibat polusi udara, dinilai tak terlepas dari peran pemerintah dan pelaku usaha.
Oleh
STEFANUS ATO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kelompok masyarakat sipil akan mengajukan gugatan perwakilan kelompok atau class action terkait polusi udara Jakarta. Kerugian warga akibat polusi udara ditaksir mencapai Rp 51,2 triliun tiap tahun.
Ketua Forum Udara Bersih Indonesia Ahmad Safrudin mengatakan, polusi udara telah menyandera Jakarta sejak 1992. Dari penelitian United Nations Environment Programme (UNEP) pada 1992 diketahui Jakarta merupakan kota dengan udara paling kotor di dunia, setelah Mexico City (Meksiko) dan Bangkok (Thailand).
”Jakarta dan kota-kota sekitarnya tidak pernah absen sebagai kota dengan polusi udara yang sudah parah dan kronis dalam tiga dekade terakhir. Sejak saat itu, dampak kesehatan telah membebani warganya,” kata Ahmad saat diskusi bertajuk ”Menggugat Kerugian Krisis Polusi Udara Jakarta”, pada Minggu (27/8/2023), di Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat.
Nilai kerugian yang diderita warga akibat polusi udara yang sudah menyandera Jakarta sejak tiga dekade silam pun nilainya bertambah setiap tahun. Berdasarkan kajian Komite Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB) bersama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 2010, kerugian ekonomi warga untuk perawatan kesehatan akibat polusi udara mencapai Rp 38,5 triliun. Nilai kerugian warga untuk perawatan kesehatan kembali meningkat menjadi Rp 51,2 triliun pada 2016.
”Ini biaya yang dihabiskan warga Jakarta hanya untuk berobat. Belum lagi beban sosial, misalnya karena sakit warga menjadi tidak nyaman atau karena sakit warga tidak bisa bekerja,” kata Ahmad.
Berdasarkan Penelitian Vital Strategies bersama KLHK, Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, serta Bloomberg Philanthropies, pada 2020, diperkirakan terdapat lebih dari 5,5 juta kasus penyakit yang berhubungan dengan polusi udara Jakarta pada 2010. Jumlah penyakit akibat polutan itu didominasi penyakit infeksi pernapasan akut (ISPA) sebanyak 2,4 juta kasus, jantung koroner (1,2 juta kasus), serta asma (1,2 juta kasus).
Estimasi biaya perawatan medis beragam penyakit yang berkaitan erat dengan polusi udara itu mencapai Rp 38,5 triliun. Jika inflasi jadi bagian dari perhitungan, biaya perawatannya membengkak menjadi Rp 60,8 triliun pada 2020. Jumlah biaya perawatan dari kajian Vital Strategies tersebut belum termasuk biaya kematian dini, cacat seumur hidup, hingga penurunan produktivitas tenaga kerja.
Dampak kesehatan bisa muncul kalau kita menghirup partikel atau gas dari polusi udara yang sifatnya akumulasi. Dampak kesehatan itu bisa terjadi pada semua orang, mulai dari anak kecil, bahkan bayi di dalam kandungan, remaja, dewasa, hingga orang lansia.
Guru Besar Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Agus Dwi Susanto mengatakan, tingkat polusi udara yang terjadi saat ini dinilai cukup tinggi dan berkepanjangan. Akibatnya, dampak dari polusi udara pun kian membesar.
”Dampak kesehatan bisa muncul kalau kita menghirup partikel atau gas dari polusi udara yang sifatnya akumulasi. Dampak kesehatan itu bisa terjadi pada semua orang, mulai dari anak kecil, bahkan bayi di dalam kandungan, remaja, dewasa, hingga orang lansia,” kata Agus dalam acara seminar web awam bertajuk ”Tinjauan Guru Besar FKUI: Dampak Polusi Udara pada Kesehatan”, pada Kamis (24/8/2023), seperti dikutip dari Youtube CME FKUI.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan 90 persen penduduk di dunia hidup di wilayah dengan kadar polusi udara yang melebihi nilai ambang batas aman. Tujuh juta kematian pun terjadi berkaitan dengan polusi udara dengan dua juta kematian di antaranya berasal dari Asia Tenggara.
Di Indonesia, kematian akibat polusi udara tertinggi ke-5 setelah hipertensi, darah tinggi, diabetes, dan merokok. Ada sekitar 123.000 kematian per tahun di Indonesia akibat polusi udara.
Warga menggugat
Berbagai kerugian, baik itu biaya perawatan maupun risiko kematian akibat polusi udara, dinilai tak terlepas dari peran pemerintah dan pelaku usaha. Sektor industri, baik itu industri yang bergerak di bidang transportasi, energi, maupun pembangkit listrik, dinilai mengabaikan ketentuan mengenai standar baku mutu kualitas udara.
”Ketidakpatuhan industri karena ada pembiaran dari pemerintah. Jadi, dua pihak ini yang akan kami gugat ke pengadilan,” kata Ahmad lagi.
Gugatan yang akan segera didaftarkan dua minggu ke depan itu merupakan gugatan perwakilan kelompok atau gugatan class action. Saat ini sudah ada 50 warga yang terdaftar sebagai korban kerugian ekonomi akibat polusi udara.
”Kami masih terus mengumpulkan para korban. Bukti-bukti yang kami ajukan adalah rekam medis beserta kuitansi pembayaran dari rumah sakit, klinik, atau puskesmas. Kami juga akan melampirkan bukti-bukti industri-industri yang terlibat pencemaran,” kata Ahmad.
Gugatan class action yang bakal diajukan ke pengadilan itu, kata Ahmad, didasarkan pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam undang-undang itu, masyarakat bisa mengajukan gugatan ganti rugi jika pencemaran lingkungan merugikan warga.