Kasus Basarnas dan Urgensi Reformasi Peradilan Militer
Reformasi peradilan militer adalah tanggung jawab konstitusional yang harus dijalankan pemerintah dan DPR. Jika tidak, polemik yurisdiksi penanganan prajurit TNI yang terlibat tindak pidana umum akan terjadi.
Tarik-menarik antara Komisi Pemberantasan Korupsi dan Pusat Polisi Militer TNI terkait penanganan perwira TNI yang terlibat kasus korupsi di Badan Nasional Pertolongan dan Pencarian (Basarnas) menimbulkan kontroversi berkepanjangan di publik. Pimpinan KPK yang memiliki kewenangan untuk memproses kasus ini justru mundur di tengah jalan dan meminta maaf kepada TNI serta menyerahkan Kepala Basarnas yang terlibat dalam kasus korupsi ini kepada Puspom TNI.
Jika mencermati kasus korupsi di Basarnas yang melibatkan perwira TNI, setidaknya ada dua persoalan utama yang dapat digarisbawahi. Pertama, penuntasan kasus hukumnya. Kedua, urgensi reformasi peradilan militer. Sudah hampir 25 tahun sejak reformasi bergulir, agenda reformasi peradilan militer tidak kunjung tuntas.
Penuntasan kasus
Penyelesaian kasus korupsi di Basarnas yang melibatkan anggota TNI aktif seharusnya tidak menjadi sebuah perdebatan yang tanpa ujung. Penyelesaian kasus di Basarnas utamanya bertujuan mengungkap kebenaran dan keadilan dari kejahatan yang terjadi.
Banyak dasar hukum dan asas hukum yang dapat dijadikan dasar bagi KPK untuk mengungkap kebenaran dan keadilan dari kasus korupsi di Basarnas. Dalam konteks itu, semestinya KPK tidak perlu menyerahkan Kabasarnas kepada Puspom TNI dan terus melakukan pengungkapan kasus tersebut.
Baca juga: Koneksitas Kasus Basarnas
Dalam negara hukum, pijakan utama kita dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tentu berpijak kepada konstitusi. Di dalam konstitusi di kenal prinsip persamaan di hadapan hukum (equality before the law): semua warga negara sama kedudukannya di hadapan hukum sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 27 Ayat (1) dan Pasal 28 Huruf d Ayat (1) UUD 1945.
Berdasarkan konstitusi tersebut, tentu tidak boleh ada pembedaan dan diskriminasi di hadapan hukum dengan dasar status sosial. Baik itu presiden, anggota DPR, menteri, polisi, maupun anggota TNI harus diperlakukan sama di hadapan hukum. Mereka harus tunduk dalam peradilan yang sama ketika melakukan kejahatan, yakni peradilan umum (juga di dalamnya peradilan tindak pidana korupsi).
Tidak boleh ada yang diistimewakan dalam negara hukum karena keistimewaan itu melanggar konstitusi. Dalam konstruksi negara hukum, semua warga negara harus diadili dalam sebuah mekanisme peradilan yang sama, yang bersifat independen, tak memihak, dan tidak dipengaruhi oleh suatu kekuasaan atau kekuatan apa pun, serta harus menjamin due process of law.
Pada prinsipnya, tidak boleh ada pembedaan perlakuan dalam penanganan korupsi atas dasar perbedaan status sipil atau pun militer, apalagi tindak pidana korupsi termasuk dalam tindak pidana yang bersifat khusus yang pengaturannya tunduk pada Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) dan UU KPK. Hal ini sesuai dengan asas hukum lex specialist derogate lex generalis bahwa aturan hukum yang lebih khusus mengesampingkan aturan hukum yang lebih umum.
Dalam logika negara hukum dan konstitusi itu, maka seharusnya tidak ada keraguan bagi KPK untuk mengendalikan dan memproses kasus korupsi di Basarnas. Walaupun Puspom TNI juga menetapkan Kabasarnas sebagai tersangka, hal itu tidak bisa menegasikan kewenangan KPK untuk mengendalikan proses hukum kasus tersebut, mulai dari penyelidikan, penyidikan, hingga penuntutan sebagaimana perintah Pasal 42 UU KPK.
Dengan demikian, KPK sudah seharusnya tetap melanjutkan penanganan kasus tersebut terlepas dari latar belakang tersangkanya baik sipil maupun militer. KPK tidak boleh takut dan lari dari tanggung jawab konstitusionalnya dengan menyerahkan kasus korupsi di Basarnas ke Puspom TNI.
Pada prinsipnya, tidak boleh ada pembedaan perlakuan dalam penanganan korupsi atas dasar perbedaan status sipil ataupun militer.
Lebih dari itu, dasar kewenangan hukum KPK untuk mengendalikan penyelesaian kasus Basarnas dalam peradilan umum sesungguhnya ditegaskan dalam KUHAP. Pasal 89 Ayat (1) KUHAP menyatakan apabila terjadi suatu tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh para subyek hukum yang masuk ke dalam lingkungan peradilan umum dan peradilan militer, maka lingkungan peradilan yang mengadilinya adalah lingkungan peradilan umum.
Dalam UU Peradilan Militer juga ditegaskan bahwa jika terhadap kejahatan yang pelakunya sipil dan militer, maka mekanisme hukum yang digunakan adalah peradilan umum. Pasal 198 Ayat (1) UU Peradilan Militer menyebutkan, ”Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk yurisdiksi peradilan militer dan yurisdiksi peradilan umum, diperiksa dan diadili oleh Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum kecuali apabila menurut keputusan Menteri Pertahanan dengan persetujuan Menteri Kehakiman perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.”
Lebih lanjut, kontroversi kasus Basarnas ini sebenarnya tidak perlu terjadi dan dapat diselesaikan dengan jernih dan mudah jika Menteri Pertahanan mengoordinasikan dan meminta pada Panglima TNI dan Danpuspom TNI agar kasus tersebut diselesaikan melalui peradilan umum di mana KPK-lah yang harus memproses hukum kasus itu.
Upaya menarik kasus kejahatan dari yurisdiksi peradilan umum ke peradilan militer dengan pelakunya anggota militer dan warga sipil hanya bisa dilakukan oleh Menteri Pertahanan dan bukan oleh Panglima TNI, apalagi Danpuspom TNI. Hal itu ditegaskan dalam KUHAP dan UU Peradilan Militer.
Berdasarkan tiga aturan hukum tersebut, maka dapat dikatakan kasus Basarnas harus masuk peradilan umum, kecuali Menteri Pertahanan menarik kasus itu ke peradilan militer dengan persetujuan Menkumham. Dalam konteks itu, sikap Menteri Pertahanan yang diam membuat penyelesaian kasus ini menjadi berlarut dan menimbulkan perdebatan di publik serta mengganggu upaya KPK dalam menuntaskan dugaan kasus korupsi di Basarnas ini.
Baca juga: Menanti Ujung Perkara Rasuah di Basarnas
Reformasi peradilan militer
Tarik-menarik kewenangan antara KPK dan Puspom TNI sesungguhnya tidak dapat disalahkan sepenuhnya kepada dua institusi tersebut. Dalam polemik tersebut tidak boleh dilupakan akan adanya andil pemerintah dan DPR yang selama ini membiarkan tidak tuntasnya pembahasan agenda revisi UU Peradilan Militer. Dengan kata lain, buah dari kegagalan untuk menuntaskan agenda tersebut adalah terjadinya polemik KPK dan Puspom dalam penanganan perwira yang terlibat korupsi di Basarnas.
Sejatinya, upaya untuk mendorong reformasi sistem peradilan militer sudah mulai sejak awal era reformasi. DPR periode 2004-2009, misalnya, pernah mengajukan RUU Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Namun, proses pembahasan RUU tersebut buntu, terutama menyangkut dua substansi utama: yurisdiksi peradilan militer dan peradilan koneksitas. Ada resistensi yang cukup tinggi dari pemerintah untuk menolak perubahan tersebut sehingga menyebabkan proses pembahasan menemui jalan buntu atau deadlock.
Berpijak kasus Basarnas, tidak ada alasan untuk tidak melanjutkan pembahasan RUU Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Ada banyak argumen yang menegaskan urgensi pembahasan RUU yang menjadi salah satu agenda reformasi 1998 khususnya reformasi militer. Karena itu, adanya pernyataan Menko Polhukam yang terbuka terhadap revisi UU Peradilan Militer menjadi penting untuk segera ditindaklanjuti dengan mengajukan RUU Revisi UU Nomor 31 Tahun 1997 dan segera dibahas sebelum berakhirnya periode DPR tahun 2024.
Pentingnya reformasi sistem peradilan militer didasarkan atas sejumlah alasan. Sistem peradilan militer di Indonesia diatur berdasarkan UU Pengadilan Militer. UU ini merupakan salah satu regulasi warisan pemerintahan Orde Baru yang sarat akan dimensi pemanfaatan militer (dahulu ABRI, kini TNI) sebagai pilar utama penopang kekuasaan Orde Baru. Karena itu, setelah jatuhnya Soeharto dan reformasi politik dijalankan, maka pilar-pilar penopang kekuasaan Orde Baru tersebut pun perlu direformasi, termasuk reformasi institusi TNI, di mana salah satunya reformasi sistem peradilan militer.
Berpijak kasus Basarnas, tidak ada alasan untuk tidak melanjutkan pembahasan RUU Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
Pemerintahan otoriter di belahan dunia mana pun selalu menggunakan institusi militer sebagai alat memperoleh, memperbesar, sekaligus melindungi kekuasaan. Untuk itu, militer diberi hak-hak istimewa untuk menjalankan perannya itu. Keistimewaan yang diberikan untuk militer itu salah satunya di bidang hukum dan peradilan di mana setiap anggota militer yang melakukan tindak pidana militer dan tindak pidana umum diadili di peradilan tersendiri yang dikenal dengan peradilan militer. Peradilan militer bukan hanya mengatur sistem peradilan untuk tindak pidana yang dilakukan oleh prajurit dalam ruang lingkup tugas kemiliteran, tetapi juga semua tindakan pidana di luar fungsi dinas kemiliteran atau tindak pidana umum.
Tidak salah jika dikatakan bahwa peradilan tersebut memberi ruang eksklusivitas dan keistimewaan bagi anggota militer. Sebab, institusi militer (TNI saat ini) memiliki rezim peradilan sendiri untuk mengadili anggotanya, termasuk ketika melakukan tindak pidana umum.
Karena itu, selain model pengaturan yang ada bertentangan dengan prinsip negara hukum, ekslusivitas itu cenderung menjadikan peradilan militer menjadi instrumen bagi anggota militer yang melakukan tindak pidana umum untuk menghindar dari pertanggungjawaban hukum (impunity). Hal itu dibuktikan dari kecenderungan kasus-kasus yang diadili dalam peradilan militer cenderung bermasalah; kasus pembunuhan tokoh Papua, Theys Eluay, yang hukumannya tidak adil; kasus serangan terhadap lembaga pemasyarakatan di Cebongan yang hukuman para pelakunya ringan: penanganan kasus korupsi AW 101 dihentikan melalui SP3 oleh TNI, dan lainnya.
Baca juga: Pemerintah Siapkan Naskah Akademik Revisi UU Peradilan Militer
Dengan demikian, reformasi peradilan militer melalui revisi UU No 31/1997 adalah tanggung jawab konstitusional yang harus di jalankan pemerintah dan DPR. Selain itu, reformasi peradilan militer merupakan mandat Ketetapan MPR No VII Tahun 2000 dan mandat UU TNI No 34/2004.
Jika pemerintah dan DPR tidak segera mereformasi peradilan militer melalui revisi UU No 31/1997, polemik yurisdiksi penanganan prajurit TNI yang terlibat tindak pidana umum, seperti dalam kasus Basarnas, akan terulang lagi di masa depan. Tidak hanya dalam isu korupsi, tetapi juga kasus-kasus pidana umum lainnya. Dalam konteks itu ini akan menjadi ironi dalam negara hukum kita karena masih ada pembedaan dalam negara hukum.
Al Araf, Peneliti Senior Imparsial; Ketua Centra Initiative; Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya