Setelah buntu tiga bulan, Thailand memiliki perdana menteri. Ia dari koalisi yang beberapa anggotanya dulu saling bermusuhan. Akankah pemerintahannya bertahan lama?
Oleh
Redaksi
·1 menit baca
Tidak ada lawan atau kawan abadi dalam politik. Adagium populer itu menjadi gambaran paling sederhana wajah politik di Thailand saat ini. Perdana menteri (PM) baru Srettha Thavisin datang dari Partai Pheu Thai, yang membentuk koalisi 11 Partai, termasuk partai promiliter. Dua PM—dua bersaudara—sebelumnya dari Pheu Thai atau partai pendahulunya, Thaksin dan Yinluck Shinawatra, digulingkan dalam kudeta militer.
Selama hampir satu dekade sejak 2006, pertarungan politik di negeri itu memasuki salah satu babak paling berdarah, diwarnai dengan kekerasan jalanan. Selama beberapa tahun, pendukung dua kutub politik utama, yang dikenal ”Kaus Merah” dan ”Kaus Kuning”, bentrok. Tahun 2010, hampir 100 orang tewas.
Setelah hampir satu dekade di bawah pemerintahan militer pascakudeta pada 2014, Thailand tahun ini memasuki babak baru. Awal babak baru ini bergulir seperti cerita ”film drama”, istilah yang digunakan koran negeri itu, Bangkok Post, dalam catatan editorialnya, Selasa (22/8/2023).
Didahului dengan ironi terpentalnya partai pemenang pemilu, Partai Bergerak Maju (MFP) pimpinan politikus muda Pita Limjaroenrat dari koalisi penguasa parlemen—mereka kini menjadi oposisi—ketegangan drama politik di Thailand dalam tiga bulan ini berakhir, Selasa lalu, dengan terpilihnya Srettha sebagai PM. Ia naik ke kursi PM hasil bulan madu dua rival yang selama bertahun-tahun bermusuhan, Pheu Thai di satu sisi dan dua partai promiliter, United Thai Nation (UTN) dan Palang Pracharath Party (PPRP), di satu koalisi.
Pada hari terpilihnya Srettha, pendiri Pheu Thai, Thaksin Shinawatra, pulang kampung dari pengasingannya 15 tahun di luar negeri. Sulit untuk tidak mengaitkan kepulangan Thaksin dengan drama politik itu. Spekulasi menyebutkan, terpilihnya Srettha (61), pengusaha properti yang baru sembilan bulan terjun ke politik, adalah hasil kesepakatan rahasia Pheu Thai dan kubu militer-konservatif. Srettha menepis spekulasi itu.
Wanwichit Boonprong, pengajar politik pada Universitas Rangsit, mengatakan, kepulangan Thaksin serta aliansi Pheu Thai-UTN-PPRP mengirim pesan politik bahwa dua kubu utama elite politik Thailand—yang dulu berseteru—kini bersatu padu melawan MFP (Bangkok Post, 23/8/2023). MFP diposisikan sebagai ancaman bersama, yang dinilai membahayakan monarki, institusi paling sakral di negara itu.
Kemelut politik di Thailand mereda. Kini saatnya Srettha membuktikan diri mampu mengurus negara. Tantangan terbesarnya, apakah ia bisa memerintah demi kepentingan rakyat Thailand, lepas dari pengaruh tangan-tangan di balik layar, baik dari Thaksin maupun dari ”tiga bersaudara satu senjata”, merujuk pada tiga jenderal: Prayuth Chan-ocha, Prawit Wongsuwan, dan Mendagri Anupong Paojinda, yang selama ini menancapkan pengaruh kuat di ranah politik Thailand.