Tumpeng Segara Giri Merunut Jalan Kemakmuran
Sebuah tumpeng sebenarnya sesaji yang disusun dengan cita rasa estetik sebagai penerjemahan dari doa.
Pakar kuliner William Wongso dalam banyak kesempatan selalu ngotot menyajikan menu Nusantara menyerupai tumpeng. Bagian nasinya dicetak berbentuk kerucut, mirip sebuah gunung yang berdiri di tengah-tengah hamparan lauk-pauk di sekitarnya. Oom Will selalu bilang, food plating (penataan) semacam itu, akan menjadikan kuliner Nusantara unik dari sisi bentuk serta mengandung spirit kegunaan dan keagungan.
“Kita kan punya kekayaan estetik seperti tumpeng, mengapa harus lari ke luar untuk food plating?” ujar Oom Will kepadaku dalam berbagai kesempatan jalan bareng.
Pada sisi dan semangat yang sedikit berbeda Laxmi Resto di kompleks NuArt Sculpture Park Bandung, mempresentasikan makanan Bali dalam bentuk tumpeng. Anya Madiadipoera, pengelola Laxmi, mengatakan ia ingin memperkenalkan budaya leluhurnya di Bali. Lagi pula, katanya, tumpeng tak sekadar bentuk, tetapi memiliki konsep ajaran spiritual yang dalam. Dalam banyak upacara di Bali, tumpeng direpresentasikan sebagai simbol keagungan, kemakmuran, dan keselarasan hidup manusia dengan alam semesta.
Tumpeng berkaitan erat dengan konsep Segara-Giri atau laut dan gunung. Dalam terminologi lokal (kosmologis) diterjemahkan dengan istilah kaja dan kelod. Sering kali kaja dan kelod disamakan dengan utara (kaja) dan selatan (kelod) sebagaimana wilayah geografis yang ditunjuk dalam kompas. Padahal konsep kaja dan kelod berorientasi secara kosmologis dan bahkan magis, di mana gunung menjadi titik pusat perhitungan spiritual dan material. Gunung selalu diorientasikan sebagai kaja, karena ia merupakan simbol dari luan atau kepala. Sedangkan kelod adalah teben di mana laut menjadi wilayah penyangga sebagaimana kaki pada makhluk hidup.
Baca juga: Tumpeng dan Senandung di Alun-alun Eropa
Dalam tatanan kosmologi Bali terdapat perbedaan yang berbalik 360 derajat antara Bali utara (Buleleng) dan Bali selatan (Badung). Orang-orang Buleleng tetap berorientasi bahwa gunung adalah wilayah kaja, padahal menurut kompas, arah itu tak lain adalah selatan. Sebaliknya orang-orang Badung kebetulan memiliki arah yang sama dengan penunjuk arah di kompas. Bahwa kaja itu terletak di bagian utara wilayah mereka dan kelod itu tetap di selatan.
Pemetaan wilayah kosmologis ini sebenarnya memiliki landasan Tattwa (ajaran) tentang gunung dan laut sebagai sumbu dari kehidupan. Barangkali itu pulalah sebabnya mengapa Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat menarik garis lurus sumbu Gunung Merapi, Tugu Yogya, Keraton, dan Pantai Parangkusumo. Garis lurus itu sudah pasti tak berpisah jauh dari ajaran Segara-Giri di Bali.
Pulau Jawa dan Bali, serta pulau-pulau lain di wilayah Nusantara memiliki anugerah bentang alam di mana jarak gunung dan laut “berdekatan”. Denys Lombard seorang antropolog dari Perancis dalam Nusa Jawa: Silang Budaya menyebut tidak ada satu pantai pun di Pulau Jawa yang berjarak lebih dari 100 kilometer dari titik puncak sebuah gunung. Bahkan, katanya, Gunung Semeru (3676 m), gunung tertinggi di Jawa, terletak di daerah sempit bernama tapal kuda Jawa Timur, dengan jarak ke pantai utara dan selatan hanya 40 kilometer.
Bandingkan dengan Puncak Mount Everest di Pegunungan Himalaya (India) yang tingginya mencapai 8848 m, namun berjarak ribuan kilometer dari pantai terdekat, yaitu di Teluk Benggala.
Topografi alam Nusantara ini yang kemudian melahirkan Tattwa Segara-Giri di Bali, dan kemudian diturunkan dalam bentuk Susila (etika) dan Acara (upacara). Susila berhubungan dengan pola pembagian ruang hidup sehari-hari masyarakat, yang nanti akan melahirkan apa yang disebut Asta Kosala Kosali (pedoman pembagian ruang). Kita akan mengenal ruang-ruang seperti wilayah suci, ruang sehari-hari, dan dapur. Sedangkan Acara tak lain berupa berbagai rentetan upacara, termasuk perwujudan sesaji bernama tumpeng.
Tahun 2013, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Indonesia telah menobatkan nasi tumpeng sebagai salah satu dari 30 ikon kuliner Indonesia. Cara penyajian nasi tumpeng identik dengan kebiasaan masyarakat Jawa ketika melakukan kenduri seperti bersih desa. Bahkan ada yang menerjemahkan tumpeng singkatan dari yen metu kudu mempeng. Artinya, ketika kita keluar haruslah secara bersungguh-sungguh dan penuh semangat.
Semangat ini kemudian diadaptasi ke wilayah urban yang memiliki karakter lebih profan. Kita sering kali mendengar sebutan tumpengan sebelum agenda shooting sebuah film dimulai. Di belakang panggung aku selalu menemukan produser sekelas Happy Salma, menyelenggarakan tumpengan sebelum sebuah pentas digelar. Ia sering meminta sutradara atau seseorang yang dipercaya untuk memimpin doa sambil berdiri melingkar mengitari tumpeng.
Tumpeng dalam tradisi Nusantara, terutama Jawa dan Bali, terdiri dari nasi berbentuk kerucut, dikelilingi oleh lauk-pauk seperti ayam suir, telur rebus bumbu Bali, bakwan jagung atau perkedel, sambal tempe teri atau tahu, dan sayur urap. Khusus tumpeng Bali, urap diganti dengan lawar dan sambal tempe/tahu diganti sate lilit.
Nasi kerucut mengasosiasikan bentuk gunung, yang selama ini menjadi sumber penghidupan segala makhluk. Binatang liar hidup di lereng-lereng gunung di tengah hutan, sementara manusia umumnya memadati wilayah sepanjang aliran sungai sampai ke muara. Di dalam ruang hidup itu terdapat flora dan fauna, yang tak lain menjadi sumber kehidupan utama seluruh makhluk. Sebelum sampai ke laut, tumpeng dihiasi oleh lauk-pauk berupa ayam dan telur yang bisa diinterpretasi sebagai simbol pengendalian diri.
Ayam, terutama ayam jantan, memiliki sifat suka berkelahi dan berebut makanan dengan sesamanya. Dalam tradisi yang lebih ketat seperti di wilayah pedesaan Jawa, jenis masakan seperti ingkung ayam yang dimasak utuh dan berasal dari ayam pejantan, biasanya menjadi syarat yang mutlak. Sifat-sifat seperti ayam itulah yang harus dikendalikan agar tumbuh kebersamaan dan keharmonisan di antara warga atau kelompok yang sedang menjalankan aktivitas tertentu.
Sedangkan telur memberikan kesadaran tentang asal mula. Bahwa segala makhluk berasal dari Zat yang sama, sebelum akhirnya berada dalam tataran dan kemampuan yang berbeda-beda. Jika manusia memiliki bayu (tenaga), sabda (suara), dan idep (pikiran), hewan memiliki bayu dan sabda, sedangkan tumbuhan hanya memiliki bayu. Meski begitu, ketiga makhluk Tuhan ini dipercaya berasal dari sumber yang sama: telur!
Jika di dalam tumpeng terdapat urap atau lawar, itu tak lain sebagai representasi dari beragam kesuburan yang diberikan alam untuk kemakmuran manusia. Tumbuh-tumbuhan sebagai sumber urap atau lawar, menjadi perlambang keanekaragaman hayati yang dilimpahkan alam semesta untuk keberlangsungan hidup semua makhluk.
Ketika nanti kau menemukan ikan (walau sekadar teri), maka itu adalah simbolisasi dari isi laut. Sebagai wilayah teben atau kaki, laut tak hanya memberi kehidupan, tetapi ia menjadi tempat untuk membasuh segala leteh (cemar) atau mala dunia. Barangkali karena ajaran ini pula, orang tua kita selalu meminta membasuh kaki dengan air sebelum memasuki rumah. Secara logika, kaki kita pasti dikotori debu saat beraktivitas di luar rumah. Oleh sebab itu harus dibersihkan sebelum benar-benar ke area pribadi kita.
Simak juga: Kirab 1.000 Tumpeng Meriahkan Peringatan Seabad Desa Selo
Sebuah tumpeng sebenarnya sesaji yang disusun dengan cita rasa estetik sebagai penerjemahan dari doa. Jika doa berasal dari mantra atau sari kata-kata seperti puisi, maka tumpeng adalah sesaji visual sebagai perwujudan rasa syukur atas segala nikmat dan berkah dari Semesta. Akhirnya kemudian bisa dimengerti bahwa tumpeng merupakan perpaduan rasa bakti manusia dan citraan alam semesta yang selama ini menjadi latar sehari-hari manusia Nusantara. Ia terlahir sebagai “produk” kearifan lokal, karena berangkat dari pengamatan dan pengalaman manusia selama bersahabat dengan alam.
Tattwa Segara-Giri yang selama ini menjadi landasan moral dalam seluruh tatanan kehidupan dan ritual masyarakat Bali, merupakan hasil permenungan manusia untuk mencapai sesuatu yang hakikat. Dan tumpeng sesungguhnya telah lama menjadi medium utama untuk mengantarkan keinginan mencapai hakikat itu.
Pertanyaannya, apakah sesuatu yang hakikat itu?
Secara sederhana ajaran agama menjawabnya, bahwa hakikat menjadi manusia adalah menggunakan segala akal budi untuk berbuat kebajikan. Di dalamnya terdapat hal-hal mulia seperti budi pekerti yang luhur serta cinta kasih kepada sesama makhluk. Ajaran Buddha merumuskan ini dalam secuil mantra yang berbunyi:
Sabbe satta bhavantu sukhitatta
Semoga semua makhluk berbahagia. Tidak hanya diri sendiri atau manusia yang memetik kebahagiaan sebagai hasil dari kebajikan, tetapi juga seluruh makhluk hidup di dalam alam semesta. Rumusan ini meletakkan makhluk memiliki cikal-bakal yang satu, yang dalam ajaran Hindu disebut sebagai telur Brahmananda atau telur ketuhanan.
Sangat luar biasa kemudian para leluhur kita menerjemahkan telur Brahmananda itu menjadi telur berbumbu merah (Bali) dalam suguhan nasi tumpeng. Jika nanti kau melihat buah-buahan atau apa saja yang disuguhkan dalam gunungan (tumpeng besar) untuk ritual bersih desa misalnya, direbut oleh warga, itu tak lain dari nukilan bahwa masyarakat ingin ngalap berkah. Mereka ingin mendapatkan berkah dari gunung yang sejauh ingatan mereka telah lama menjadi simbol dari kesejahteraan dan kemakmuran.
Dengan demikian jika Oom Will dan Laxmi Resto mempresentasikan food plating dalam bentuk tumpeng, itu pertanda mereka memahami bahwa makanan tak hanya soal mengisi perut dengan sesuatu yang bergizi. Makanan juga soal estetika yang bersangkut-paut dengan kearifan lokal. Ajaran leluhur tentang konsep Segara-Giri, membentangkan dasar-dasar moralitas manusia untuk menghargai alam semesta; hidup rukun bersama sesama; serta menghormati keberadaan makhluk hidup, seperti hewan dan tumbuhan. Keberadaan merekalah yang justru menjadi kunci keberlanjutan kehidupan manusia dari generasi ke generasi.
Baca juga: Hidangan Simbol Kehidupan