Berkaca pada putusan MA terhadap Ferdy Sambo, satu dari sejumlah terdakwa pembunuhan berencana Brigadir J, tampak bahwa kejutan kerap muncul pada lorong gelap dalam pasar keadilan. Suatu gambaran kerusakan dunia hukum.
Oleh
BUDIMAN TANUREDJO
·3 menit baca
”…Dalam gelapnya ketertutupan, segala jenis kepentingan jahat berada di puncak kekuatannya. Hanya dengan keterbukaanlah pengawasan terhadap segala ketidakadilan di lembaga peradilan dapat dilakukan. Selama tidak ada keterbukaan, tidak akan ada keadilan. Keterbukaan adalah roh keadilan. Keterbukaan adalah alat untuk melawan serta penjaga utama dari ketidakjujuran. Keterbukaan membuat hakim ’diadili’ saat ia mengadili.”(Jeremy Bentham 1748-1832)
Saya teringat ucapan filsuf sekaligus yuris Inggris, Jeremy Bentham (1748-1832), saat membaca putusan diskon Mahkamah Agung atas kasus pembunuhan berencana Nofriansyah Yosua Hutabarat. Putusan kasasi itu mengejutkan, meski bisa ditebak. Majelis hakim agung menolak kasasi, tetapi memperbaiki putusan dari vonis mati menjadi vonis seumur hidup untuk Ferdy Sambo.
Samuel Hutabarat, ayah almarhum Yosua, seperti dikutip Kompas, 10 Agustus 2023, mengatakan, ”Kami sekeluarga terpukul. Kenapa putusannya disunat kami tidak tahu,” katanya. Majelis kasasi yang dipimpin Suhadi memutuskan mendiskon hukuman semua terdakwa dalam pembunuhan Yosua. Ferdy Sambo dikurangi hukumannya dari hukuman mati ke seumur hidup, Putri Candrawathi dari vonis 20 tahun penjara menjadi 10 tahun penjara, Kuat Ma'ruf dari hukuman 15 tahun menjadi 10 tahun penjara, Ricky Rizal dari 13 tahun menjadi 8 tahun penjara.
Putusan MA harus dihormati. Vonis mati memang kontroversial. Vonis mati kerap dianggap bertentangan dengan hak asasi manusia, khususnya hak untuk hidup. Apalagi, jika hukuman mati diterapkan dalam sistem peradilan yang tidak steril dari berbagai pengaruh. Bahkan dalam KUHP yang akan berlaku tahun 2026 diperkenalkan masa transisi atau semacam hukuman percobaan selama sepuluh tahun. Jika terpidana mati berkelakuan baik, vonis mati bisa dikoreksi jadi seumur hidup.
Namun, yang menjadi penasaran Samuel Hutabarat adalah ratio decidendi atau pertimbangan hukum tiga anggota majelis kasasi yang menolak kasasi, tetapi mengurangi hukuman. Jika merujuk pada Pasal 253 KUHAP, peran majelis kasasi terbatas. Pertama, apakah hukum diterapkan benar atau tidak. Kedua, apakah cara mengadili telah sesuai dengan undang-undang atau tidak. Ketiga, apakah pengadilan melampaui kewenangan atau tidak. Majelis kasasi yang terdiri dari lima orang, Suhadi (ketua), Suharto, Jupriyadi, Desnayeti, dan Yohanes Priyana terpecah. Dua hakim, Jupriyadi dan Desnayeti, menolak kasasi dan tetap menghukum Sambo dengan hukuman mati. Tiga hakim Suhadi, Suharto, dan Yohanes Priyana menolak kasasi, tetapi mendiskon menjadi seumur hidup. Bukan hanya Sambo, tetap juga terdakwa lainnya.
Sistem peradilan Indonesia menempatkan Mahkamah Agung sebagai kekuasaan kehakiman tertinggi. Dan itu harus dihormati. Namun, jika ditelusur ke pengadilan lebih rendah, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (Wahyu Iman Santoso, Morgan Simanjuntak, dan Alimin Ribut Sujono) bulat memvonis mati Sambo. Majelis PN Jakarta Selatan inilah yang memeriksa fakta, memeriksa saksi, memeriksa terdakwa, melihat barang bukti.
Di tingkat banding, lima hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, yakni Singgih Budi Prakoso, Ewit Soetriadi, Mulyanto, Abdul Fattah, dan Tony Pribadi, secara bulat menguatkan putusan majelis PN Jakarta Selatan menjatuhkan Sambo dengan hukuman mati. Artinya, dari pengadilan pertama hingga banding, delapan hakim memeriksa dan menjatuhkan vonis yang sama. Namun, baru di tingkat kasasi, vonis itu berubah oleh tiga hakim agung. Dengan pendekatan kuantitatif, sebenarnya sepuluh hakim (pengadilan negeri, pengadilan tinggi, Mahkamah Agung) yang merasa yakin Sambo pantas dijatuhi hukuman mati dan hanya tiga hakim agung yang mendiskon putusan. Tetapi, putusan terakhirlah yang berlaku.
Sistem peradilan pidana tidak mengenal putusan didekati dengan kuantitas hakim secara berjenjang. Sistem pengadilan bangsa ini menempatkan Mahkamah Agung sebagai pengadilan tertinggi sehingga meski hanya tiga hakim yang mendiskon putusan, putusan itulah yang berlaku. Padahal, Mahkamah Agung tidaklah memeriksa fakta, melainkan menjadi judex juris, memeriksa penerapan hukum.
Wajar jika rasa perasaan Samuel Hutabarat terguncang. ”Kenapa hukuman itu dikurangi,” tutur Samuel. Harian Kompas menulis, ”Putusan MA meruntuhkan kepercayaan…”
Lorong gelap dalam pasar keadilan memang bisa memunculkan apa saja. Lorong gelap keadilan dalam ruang musyawarah adalah ruang tertutup. Publik tak pernah tahu bagaimana kualitas perdebatan hakim sebelum sampai putusan. Atau, sebenarnya putusan sudah diambil lebih dahulu baru pertimbangan dicari. Kejutan kerap muncul dalam kamar-kamar ketertutupan. Ada terdakwa kasus korupsi yang divonis 11 tahun di pengadilan pertama dibebaskan di MA.
Seorang advokat senior Otto Hasibuan dalam buku Mimpi tentang Indonesia (2023) mengatakan, kerusakan dunia hukum negeri sudah luar biasa. Dan, penyelesaiannya membutuhkan komitmen bersama untuk sama-sama membenahinya. Rasanya benar yang dikatakan Menko Polhukam Mahfud MD, ”Dulu, Bung Karno menyatakan, jembatan emas adalah kemerdekaan. Apakah kita tidak mau menyeberangi jembatan itu? Cara menyeberangi jembatan itu adalah penegakan hukum, menjaga persatuan dan kesatuan. Jika penegakan hukum masih lemah, mustahil Indonesia bisa mencapai keemasannya,” kata Mahfud (Kompas, 23 Juli 2023)
Tapi, apakah masih ada yang peduli dengan pembangunan hukum, pembangunan budaya hukum? Membangun budaya hukum, membangun sistem hukum membutuhkan imajinasi luar biasa karena menyangkut pembangunan manusia yang mungkin abstrak. Membangun budaya hukum adalah membangun sesuatu yang imajiner. Namun, jika hukum dipahami instrumen rekayasa sosial dengan kepemimpinan yang punya komitmen mengenai ideologi negara hukum, pembangunan hukum niscaya bisa saja dilakukan.
Kerusakan dunia hukum membutuhkan gagasan dan ide untuk mewujudkan teks konstitusi bahwa Indonesia adalah negara hukum, bukan negara kekuasaan. Publik membutuhkan gagasan dari siapa pun yang berkompetisi memimpin bangsa ini untuk mewujudkan teks konstitusi Indonesia adalah negeri hukum dan bukan negara kekuasaan.