Di era modern, hidup kita ditandai dengan kompetisi di segala bidang. Padahal, untuk dapat hidup sehat mental dan bahagia, harus menerima diri, termasuk keterbatasan dan perbedaannya.
Oleh
KRISTI POERWANDARI
·4 menit baca
Saat ini hidup kita banyak ditandai oleh kompetisi. Agar dapat memperoleh nilai yang baik dalam pendidikan dan demi memperoleh pekerjaan yang baik, kita harus bersaing dengan yang lainnya. Satu paket dengan kompetisi adalah pembandingan. Mau tidak mau, manusia yang satu selalu dibandingkan dengan yang lain. Kampus dan lingkungan kerja membandingkan diri kita dengan orang-orang lain, dan kita sendiri pun membandingkan diri dengan orang-orang lain.
Keluarga atau orang terdekat, yang idealnya diharapkan memiliki peran untuk dapat menjadi sistem dukungan bagi individu, kadang akhirnya juga tidak menjalankan peran tersebut. Hal ini karena mereka—dengan berbagai alasan—juga terjebak kecemasannya sendiri dan akhirnya menghadirkan tekanan tambahan bagi individu.
Kompetisi dan pembandingan dalam dunia yang sangat cepat berubah seperti sekarang menjadi tantangan yang cukup sulit dilalui oleh remaja dan orang muda. Sesuai dengan tugas perkembangannya, remaja dan orang muda sedang dalam fase mencari jati diri. Artinya, banyak yang masih perlu melakukan penjajakan dan eksplorasi untuk dapat menemukan dan lebih mengerti minat, bakat, dan bidang, khususnya.
Karena itu, tidak semua anak muda telah mampu menunjukkan unjuk kerja yang prima. Dan, bahkan dari yang telah memiliki prestasi tinggi pun mungkin masih ada yang bertanya-tanya apakah bidang yang ditekuninya memang merupakan bidang yang paling sesuai dengan karakteristik dirinya.
Daripada menunjukkan penerimaan dan memberikan dukungan, orangtua yang sudah lelah dengan masalahnya sendiri mungkin memberikan pesan agar anak cepat selesai sekolah dengan nilai baik. Lalu dapat segera bekerja di tempat yang membanggakan dan menghasilkan banyak uang.
Berbareng dengan itu, keluarga membandingkan anaknya dengan remaja-remaja sebayanya. Menuntut anak menjadi seperti temannya yang terlihat mampu memilih bidang yang menjanjikan, dapat membanggakan orangtua, sekaligus dapat memberikan rasa aman akan keberlangsungan hidup keluarga di masa depan.
Kompetisi dan pembandingan dalam dunia yang sangat cepat berubah seperti sekarang menjadi tantangan yang cukup sulit dilalui oleh remaja dan orang muda.
Di atas kita bicara mengenai kompetensi. Sementara manusia utuh, untuk dapat hidup sehat mental dan bahagia, harus diterima dan menerima diri bukan hanya berdasarkan kompetensi atau unjuk kerjanya, melainkan dengan keseluruhan jati dirinya, termasuk keterbatasan dan perbedaannya. Contohnya, terkait dengan disabilitas, kebutuhan khusus, dan ciri-ciri pribadinya yang unik, yang mungkin dianggap berbeda dengan norma di masyarakat.
Dengan gambaran itu, kita mengerti bahwa seseorang mungkin tak nyaman dengan dirinya sendiri. Ia menganggap dirinya gagal, tidak sesuai standar masyarakat, belum dapat membanggakan diri dan keluarga, dan tidak mengerti bagaimana cara membuat diri sendiri bahagia.
”Self-compassion”
Dengan situasi di atas, menjadi sangat relevan untuk membahas konsep dan intervensi yang dikembangkan oleh Kristin D Neff (2023) sejak hampir 20 tahun lalu. ”Self-compassion” lebih tepat diterjemahkan menjadi belas kasih pada diri. Mengacu pada cara-cara sehat yang dilakukan individu terhadap diri sendiri ketika ia sedang mengalami tekanan, masalah, atau berada dalam kesulitan hidup.
Kita perlu memahami belas kasih secara umum terlebih dulu. Adapun yang dimaksud adalah perasaan yang muncul saat kita menyaksikan orang lain sedang dalam kesulitan dan penderitaan, dan kita termotivasi memberi pertolongan. Kita ikut merasakan penderitaan itu, mengakuinya, bahkan terkoneksi dengannya. Ada kehangatan dan kepedulian, bukan sekadar perasaan kasihan, dan bukan pula penilaian negatif atau sikap menyalahkan.
Hal ini pula yang perlu kita rasakan saat kita sedang mengalami masalah. Kita perlu mengakuinya, menerimanya, dan selanjutnya menunjukkan kepedulian serta kasih sayang pada diri sendiri untuk dapat melalui situasi sulit tersebut.
Adapun hal yang penting untuk disadari bahwa kesulitan hidup dan penderitaan tidak hanya kita yang mengalaminya, tetapi juga menjadi tantangan hidup bagi banyak orang lain. Mengalami kesulitan itu adalah bagian dari tantangan hidup sebagai manusia.
Karena itu, kita tidak perlu mengambil sikap identifikasi berlebihan, seolah-olah hidup kita paling bermasalah, paling menyakitkan, paling menderita dibandingkan dengan hidup orang lain. Sebaliknya, lebih baik melihat yang kita alami sebagai hal sementara, sesuatu yang sedang terjadi saat ini, bukan selamanya, bukan permanen.
Belas kasih diri ada perbedaannya dengan harga diri. Harga diri memerlukan evaluasi pada diri sendiri, yang kembali akan membandingkan diri dengan standar tertentu. Belas kasih diri tidak memerlukan perasaan bahwa kita ”lebih” daripada orang lain. Sebaliknya, hal tersebut tetap kita rasakan meskipun kita menyadari kekurangan atau ketidaksempurnaan diri kita.
Maka, ketika sedang menghadapi tantangan atau masalah hidup, jangan bicara buruk pada diri sendiri. Kita justru perlu bersikap sabar pada diri sendiri, dan menerima keterbatasan kita sebagai hal manusiawi. Kita perlu menerima masalah yang sedang kita alami sebagai bagian dari kehidupan, sama seperti orang lain juga memiliki tantangan hidupnya sendiri.
Dengan demikian, kita dapat menjaga emosi agar tidak jatuh dalam kondisi terlalu buruk. Meski sedang menghadapi masalah, kita dapat tetap berpikir tenang untuk menemukan berbagai alternatif penyelesaian masalah. Menulis surat pada diri sendiri mungkin dapat membantu kita menemukan perspektif lebih positif, sekaligus membukakan mata mengenai jalan keluar mengatasi tantangan.
Mengingat tekanan hidup dapat menurunkan imunitas atau kekebalan tubuh, jangan lupa untuk tetap menjalani gaya hidup sehat agar kesehatan tubuh terjaga. Semoga kita dapat berbelas kasih pada diri sendiri dan melewati masa-masa sulit yang sedang kita alami.